Search
Close this search box.

Seandainya Presiden Saya Adalah Gay

Oleh: Ni Loh Gusti Madewanti*

Suarakita.org- Desas-desus siapa bakal calon presinden dan bakal calon wakil presiden sudah terkuak. Orang- orang itu adalah Joko Widodo sebagai bakal calon presiden yang akan berpasangan dengan bakal calon wakil presiden Jusuf Kalla. Kedua pasangan ini diusung oleh empat partai politik PDIP, NasDem, PKB dan Hanura. Untuk mendukung pemenangan pasangan, mereka menunjuk Khofifah Indarparawangsa sebagai salah satu tim pemenangan.

Sedangkan pasangan bakal calon presiden Prabowo Subianto yang berpasangan dengan bakal calon wakil presiden Hatta Rajasa diusung oleh enam partai, Partai Gerindra, PKS, PPP, PAN, dan Partai Golongan Karya. Bakal pasangan capres dan cawapres ini menunjuk Mahfud MD tokoh Nahdlatul Ulama sebagai ketua tim pemenangan.

Kapabilitas kedua pasangan itu semakin jelas terbaca. Rekam jejak mereka tidak bisa ditipu muslihat. Ada jutaan pasang mata yang melihat gerak-gerik mereka. Ada jutaan pasang telinga yang mendengar celotehan suara mereka. Baik melalui kampanye terbuka dan pemaparan visi dan misi.

Dalam palagan tanpa darah menuju RI 1 dan RI 2 tersebut, Jokowi-JK, menelurkan gagasan utama melalui revolusi mental dan pendidikan jika pasangan ini terpilih sebagai presiden. Dilain pihak, program Prabowo-Hatta menawarkan gagasan utama program ekonomi kerakyatan jika dirinya menang dalam pemilihan presiden tahun ini.

Hingar- bingar euphoria ikon tokoh ‘ratu adil’ seperti merasuki kedua pasangan bakal calon presiden maupun bakal calon wakil presiden. Kedua-nya mempunyai visi dan misi yang revolusioner. Mempunyai keingininan untuk memberdayakan masyarakat Indonesia agar berdaulat, makmur dan sejahtera. Retorika adu strategi melalui kata-kata selalu dilontarkan dalam empat kali Debat Capres-Cawapres selama ini. Rakyat Indonesia, diminta untuk menelaah, dengan logika dan nurani. Mana pemimpin yang belingsat. Mana pemimpin yang bijak.

Namun ada tanda tanya yang begitu besar mengukir pada setiap wajah pasangan tersebut. Tanda tanya berwarna hitam yang memenuhi kedua wajah mereka. Tanda tanya itu adalah sebuah simbol pertanyaan tanpa akhir yag diajukan oleh kami, bagian dari komunitas rentan dan terpinggirkan.

Salah satu yang masih menjadi pertanyaan, bagaimana soal Hak Asasi Manusia sebagai hal yang paling hakiki dimiliki oleh setiap individu manusia Indonesia?

Dua bulan lalu, Mei 2014 ini, masih segar dalam ingatan kita, bahwa Mei adalah masa untuk mengenang peristiwa berdarah sepanjang masa. Setiap bulan Mei hadir, ingatan kita dipaksa kembali kilas balik, mengenai sejarah yag terjadi pada Mei 1998. Kala itu, masa dimana berbagai bentuk kekerasan terjadi. Kekerasan ekonomi akibat krisis moneter, dan kurs dollar melambung tinggi, diikuti sembilan bahan pokok yang tidak mampu terbeli. Kekerasan fisik berupa penembakan mahasiswa dan pemukulan kepada para demonstran. Serta peristiwa penjarahan Departemen store Jogja di Klender yang mengakibatkan ratusan korban mati terpanggang yang sampai kini masih menjadi misteri.

Kekerasan psikologi berupa penculikan tiga belas orang aktifis yang menyisakan trauma kehilangan yang mendalam bagi mereka yang hingga kini tidak jelas kuburnya. Bagi keluarga yang tak pernah tahu dimana letak kubur sanak keluarganya yang hilang. Kekerasan seksual terorganisir terjadi terhadap ribuan perempuan. Khususnya perempuan dari kalangan etnis Tionghoa yang mati sia-sia atau hidup tanpa arti akibat perkosaan massal yang terjadi.

Mei 1998, kekerasan-kekerasan yang terjadi adalah kekerasan multi dimensi. Membuat hati tercengang dan mulut menganga lebar. Meninggalkan perih dalam dalam tubuh ini, apakah presidenku nanti peduli?

Masih pada bulan yang sama, Mei juga menjadi tonggak peristiwa haru biru, meski secara aklamasi badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan World Health Organization telah menyatakan keberpihakannya pada orientasi seksual selain heteroseksual dan konstruksi gender yang berganti (transgender). Kemenangan aklamasi ini, dirayakan setiap 17 Mei. Namun kontra dengan apa yang telah menjadi kesepakatan resolusi PBB, kenyataannya hingga Juni 2014, masih ada lebih dari 78 negara di dunia menjadikan homoseksualitas dan transgender sebagai penyakit sampar. Kaum berdosa tak bermoral yang dihakimi secara sepihak bahwa mereka ‘layak’ menerima perlakuan diskriminatif atau kekerasan.

Saudara dan kawan sejawat, yang mempunyai orientasi seksual dan ekspresi jender yang berbeda, secara timpang semena-mena menjadi subjek kriminalisasi hukuman yang tak adil dan tidak manusiawi. Bukankah hal ini juga menjadi pelanggaran yang paling dasyat terhadap hak dasar sebagai manusia?

Para calon presiden dan wakil presiden itu akan menanggung pekerjaan rumah yang teramat besar. Ada sikap-sikap apatis yang terlontarkan. Apakah mereka mampu mengatasi, memecahkan, mencari sumber permasalahan kasus- kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang sampai sekarang tidak mampu terjawab dan terpecahkan? Kasus-kasus Mei 1998, masih terserak bagai kepingan puzzle yang tidak lengkap. Kepingan-kepingan ini tercerai berai hingga mendekati muara pemilihan RI1 pada Juli 2014 ini.

Apakah bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden itu peduli? Bukah hanya janji-janji palsu tak berarti?

Kaum marjinal dan rentan, seperti perempuan dan anak, individu difabel dan berkebutuhan khusus, individu lesbian, gay, biseksual, transeksual-transgender, interseksual, kaum miskin terpinggirkan. Masih saja diangap sebagai kaum bawah meja. Kerap dibasmi seperti kecoa. Kerap disingkirkan, ditempatkan dibawah kolong yang berdebu. Ditaruh dipojok terdalam dan tentu saja dengan mudah dilupakan.

Ada pepatah yang menyebutkan, pengalaman adalah guru yang terbaik. Hanya pada Presiden dan Wakil presiden yang berpengalaman dan berasal kaum marjinal dan rentan, kerap mengalami diskriminasi dan kekerasan, kepada merekalah dengan lantang diterapkan Hak Asasi Manusia menjadi instrumen terdepan dalam mengadili dan memberi pertimbangan. Kepada mereka, pengalaman buruk yang tidak semestinya terjadi, dapat dipahami secara holistik tanpa kehilangan sejarah dan melupakan peristiwa.

Pun, apabila calon-calon pemimpin besar negeri ini, minim sekali pengalaman terpinggirkan dan termajinal atau diskriminasi dan kekerasan. Perlu kesadaran kritis melampaui dimensi tubuh dan dimensi psikologi. Perlu kebesaran hati dan nalar logika yang mumpuni untuk mampu hidup dan meresapi jiwa-jiwa tersakiti kelompok rentan dan terpinggirkan tersebut.

Barang kali kita semua mempunyai kebutuhan dasar yang sama. Berkeinginan, Indonesia tidak hanya makmur dan sejahtera secara fisik, demi memenuhi perut-perut untuk menghindari dari bahaya kelaparan. Barang kali kita semua mempunyai keinginan yang serupa, penerapan keadilan yang sebenar-benarnya. Rasa aman hidup sebagai manusia yang bebas bertanggung jawab di bumi Indonesia. Hukum, bukan hanya berpihak untuk segelintir elit-elit tertentu yang dominan berkuasa. Barang kali kita semua – atau secara khusus saya. Menginginkan seorang Presiden yang benar- benar berpikiran terbuka, berupa-rasa manusia sejatinya. Melindungi, menghormati, menghargai serta mendedikasikan seluruh hidup, energi dan daya untuk menginspirasi semua orang. Lantang menolak kepentingan penguasan golongan dan berani melawan arus kuasa dominasi. Menjadi pejuang keadilan hak asasi manusia. Hak hidup aman, nyaman dan beragam. Secara tegas memposisikan melindungi perempuan, anak, difabel-berkebutuhan khusus, dan kelompok LGBTI. Menjadi garis terdepan yang lantang melawan kekerasan. Menjadi suar yang memberikan acuan, mana yang baik dan benar.

Kita perlu mengambil sikap tegas. Memilih presiden yang benar – benar seorang manusia. Bukan robot yang amnesia. Yang kadang melupakan, kalau dirinya juga manusia yang kotor, penuh dosa dan tak mengakui kekotoran dan dosa-dosanya.

Sikap tegas ini adalah perlawanan. Perlawanan kami, kaum yang selalu dibuang. Seandainya saja, Presiden saya, seorang gay, dengan orientasi seksual yang berbeda. Memiliki perpektif yang berbeda keluar dari mainstream dominasi. Memahami perasaan dan kondisi yang welas asih kepada mereka yang terbuang dan terpinggirkan. Merasakan betapa pedihnya selalu dianggap hina dan dihakimi hidup sebagai layaknya binatang. Jika Presiden saya seorang gay, tentu Indonesia, akan jaya sebenar-benarnya

***

*Penulis adalah seorang perempuan dengan dua anak perempuan yang hebat. Hobi bersekolah dan memilih lulus dari program studi Sarjana dan Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Lari dari Jakarta dan menghabiskan waktu dengan bercumbu pada buku, berdebat dengan angin lalu, dan mengusahakan diri untuk tetap sadar serta mengedepankan akal sehat.