Suarakita.org- Fundamental dari kebenaran, dosa dan normal menjadi bahasan dalam Diksusi “Dasar-Dasar Pemikiran Foucault”, Minggu 6 Juli 2014 di sekretariat Suara Kita. Ully Damari Putri, kandidat PhD dari Universitas Colorado Amerika Serikat, memaparkan materi secara interaktif selama 90 menit.
Michel Foucault, lelaki asal Perancis yang lahir pada tahun 1926 dikenal sebagai filsuf, sejarahwan, kritikus sastra dan dosen. Menurut Ully, pemikiran Foucault penting dalam gerakan perempuan dan LGBT, karena “Memberi ruang pada kelompok yang tertindas untuk melawan”, ungkapnya.
Ully pun menjabarkan bahwa pemikiran Foucault dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Althusser dan Nietzche. Pengalaman Foucault sebagai gay dan hidup di masa orang-orang menga ggap homoseksualitas adalah suatu dosa juga mempengaruhi pemikiran Foucault.
Foucault menolak adanya Grand Theory, suatu teori besar yang dianggap sebuah kebenaran yang dengannya semua bisa dijelaskan. Bagi Foucault tidak ada kebenaran. Semuanya adalah bentuk intepretasi manusia yang berkonteks. Foucaoult melihat dalam klaim kebenaran ada sebuah sistem yang bekerja sehingga kebenaran itu memiliki konteks. “Benar adalah benar pada saat itu”, kata Ully.
“Kalau tidak ada yang benar lalu kita berpegangan ke mana dan ke siapa?” tanya salah satu peserta.
Kemudian Ully menjabarkan bahwa, pertanyaan itu adalah kritik dari pemikiran Foucault. Namun bukanlah tugas teoris untuk menentukan ini benar dan ini salah. Teoris ada untuk memaparkan pores dari suatu fenomena.
Menurut Ully, pemikiran Foucault mendorong orang untuk berpikir kritis,” Foucault member sumbangan kepada kita untuk tidak mengambil sesuatu mentah mentah”.
Foucault pun terkenal dengan pemikirannya bahwa knowledge is power. Di mana kuasa menentukan pengetahuan.
Ully menjelaskan bahwa kuasa itu bisa berubah-ubah tergantung konteks. Bagi Foucault, pola kekuasaan bukanlah top-down, dari atas ke bawah, melainkan sejajar dan bisa bertukar,”Saya berkuasa karena jadi pembicara, teman-teman mendengarkan namun mungkin nanti mungkin saya jad pendengar dan teman-teman jadi pembicara” kata Ully.
Ully pun menyebutkan bahwa kekuasaan itu tidak stabil, di mana ada kuasa di situlah ada perlawanan.
Panopticon adalah ilustrasi yang diberikan Foucault untuk menggambarkan bagaimana kuasa menggunakan pengetahuan untuk mengontrol tindak-tanduk populasi. Panopticon adalah model penjara yang bentuknya melingkar dan di tengah-tengah lingkaran itu ada menara pengawas yang diisi oleh sipir penjara. Akibatnya, para tahanan akan tetap merasa diawasi dengan atau tanpa sipir dalam menara pengawas tersebut.
“Bila gay merasa ketakutan oleh FPI, selalu merasa FPI mengawasi padahal mah FPI-nya entah di mana, itu artinya sistem panopticon bekerja” sela Hartoyo.
Setelah itu, Ully menjabarkan bagaimana dalam dunisa psikiatri kekuasaan itu bergeser. Sebelum tahun 1972, homoseksualitas dianggap sebagai penyakit mental. Namun setelah tahun 1972, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) mencabut homoseksualitas sebagai penyakin jiwa. Jadi bila tahun 2014 APA masih menyatakan homoseksualitas bukan penyakin, bisa saja nanti di tahun 2060 APA memasukkan kembali homoseksualitas sebagai penyakit. “Jika nanti ada kontestasi homoseksual adalah penyakit maka kelompok LGBT harus melawan dengan pengetahuan” , ungkap Ully. (Gusti Bayu)