Suarakita.org- Ribuan bayi dan anak perempuan per hari di berbagai penjuru dunia melewati mutilasi alat kelamin. Dampaknya termasuk infeksi, inkontinensia dan trauma. Bahkan di Eropa, 180.000 anak terancam.
Pada mutilasi alat kelamin perempuan atau FGM, bagian luar klitoris dan acapkali bagian dari labia diambil. Lukanya kerap dijahit begitu rapat sehingga hanya menyisakan lubang kecil, yang menjadi tempat keluarnya air kencing dan aliran darah menstruasi.
Konsekuensinya termasuk infeksi, inkontinensia, sakit kronis dan trauma. Banyak bayi dan anak perempuan yang meninggal karena kehabisan darah akibat prosedur ini, yang masih secara meluas dilaksanakan di banyak negara Afrika dan Timur Tengah.
FGM juga terus terjadi di antara komunitas migran di Eropa. Termasuk di Belanda, di mana Zahra Naleie, seorang aktivis hak asasi perempuan asal Somalia bermukim.
Pendukung FGM mengedepankan keuntungan kesehatan dan higienitas – namun praktek ini berasal dari keyakinan religius dan tradisi. Mutilasi genital dianggap sebagai ritual yang meningkatkan kemungkinan mendapatkan suami dan status seorang anak perempuan dalam komunitasnya.
‘Membantu’ anak sendiri
Tugas Naleie sudah berat sejak awal. Ia menerima ancaman dan permusuhan dari orang-orang yang memandang FGM sebagai bagian integral budaya mereka. Juga dari perempuan yang telah melewati sendiri trauma ‘sunat perempuan,’ namun masih membiarkan anak mereka melalui proses yang sama – atas dasar kekhawatiran kalau anaknya tidak dapat menemukan suami.
“Mereka tidak bermaksud menganiaya anak mereka, namun memastikan masa depan anak mereka,” ujar Naleie, sembari menambahkan bahwa ada orang-orang yang menganggap perempuan yang belum dibelek ‘tidak bersih.’
FGM, yang oleh PBB didefinisikan sebagai pelanggaran hak asasi berat, telah dibuat ilegal di banyak negara. Di Jerman, pelanggarnya terancam hukuman penjara 15 tahun.
Kebanyakan di Afrika
Di Eropa, 180.000 anak perempuan berisiko menjadi korban, menurut studi Parlemen Eropa tahun 2009 yang masih merefleksikan realitas FGM di Eropa. Diperkirakan sekitar setengah juta perempuan yang tinggal di Eropa pernah mengalami FGM.
Cornelia Strunz dari pusat korban FGM di Rumah Sakit Waldfriede di Berlin merawat tiga sampai empat pasien setiap bulan. Pusat ini melakukan operasi untuk merekonstruksi klitoris. Kebanyakan pasiennya dimutilasi di negara-negara Afrika. “Ada juga yang khusus diterbangkan ke Jerman hanya untuk operasi di sini,” tambahnya.
“Kami akan menang”
Strunz mengatakan tidak ada justifikasi, yakinnya, karena mutilasi dilakukan untuk membuat perempuan tidak dapat menikmati seks dan “untuk membuat mereka santun.”
Naleie dengan bangga bercerita bahwa ibunya sudah berubah pikiran meski awalnya menentang perjuangan anaknya. Suatu hari, Naleie yakin, mutilasi alat kelamin perempuan akan berhasil dikalahkan. “Kami akan menang.”
Sumber : dw.de