Search
Close this search box.

[CERPEN]: Dasi Kupu Kupu

Dasi Kupu Kupu

Oleh : Sulfiza Ariska*

Suarakita.org- SUAMIKU menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit jantung. Menurut dokter, seorang perempuan cantik memapah dan mengantarnya. Seingatku, suamiku pamit kerja di luar kota. Bagaimana mungkin ia masuk rumah sakit jantung yang berada di depan rumah kami? Diantar perempuan cantik pula? Sumiku berselingkuh? Ah! Tiba-tiba, sebuah pintu waktu menganga di hadapanku, menyemburkan milayaran serpihan kaca yang bersiap melukaiku jiwaku.

Sebelum melangkah ke hadapan peti mati suamiku, aku menyempatkan diri mencari dasi favoritnya di kamar yang telah menjadi tempat kami bercinta selama dua puluh tahun.

“Papa telah berpakaian rapi,” tutur Lusiana dengan suara serak. Putri tunggal kami ini benci menangis. Airmatanya mahal. Tapi, tangis itu berhasil menemukan celah. Di pipinya, airmata membentuk dua lurik tipis yang berkilau ditimpa cahaya pagi.

“Apakah sudah memakai dasi kupu-kupu?”

“Belum, Ma.”

“Papamu tidak akan sempurna tanpa dasi kupu-kupu,” tuturku dengan suara serak.

Setelah Lusiana sudah berbalik dan menghilang di balik tirai sutra yang menyelubungi pintu kamar, aku kembali mencari dasi kupu-kupu tersebut. Dasi ini kubeli dalam sebuah lelang benda-benda antik di San Fransisco. Dari keterangan di katalog, dasi ini pernah dimiliki Ricky Martin. Memang, di katalog terdapat foto Ricky Martin yang memakai dasi yang sama. Tapi, bisa jadi katalog ini berisi keterangan palsu—sebagai sihir marketing.

Namun, suamiku sangat menyukai dasi kupu-kupu tersebut. Ia tak ubahnya anak-anak yang mendapatkan mainan yang dirindukan seumur hidup. Katanya, ia juga pernah melihat Ricky Martin mengenakan dasi yang sama.

Di kamar kami, dasi itu lebih sulit ditemukan daripada menemukan sebilah jarum yang tenggelam di tumpukan jerami. Aku membongkar lemari dan laci meja. Kalung mutiara, lingerie, kondom, paspor, album keluarga, daster, gaun pengantin, jas, pantalon, dan—.

Apa itu?
Puluhan foto jatuh dari buku harian suamiku. Jantungku berdebar keras memungutnya. Dari foto-foto kulihat seorang perempuan yang sedang meliukkan tari pendet dengan latar belakang para demonstran yang duduk rapi memegang spanduk.

Kemudian, roda waktu seolah berhenti berputar saat aku memegang foto terakhir. Terlihat suamiku—telanjang dada—merangkul seorang perempuan berkaca mata hitam yang memakai bikini two-piece. Angin pantai mempermainkan rambut mereka. Membuat beberapa helai rambut perempuan itu meliuk membentuk tirai yang menutupi separuh wajahnya.

Aku bisa merasakan betapa cantiknya perempuan dalam foto itu. Garis pinggul serupa gitar Spanyol. Payudaranya membukit indah. Ia tersenyum ke arah kamera. Senyum lebar dan mempertontonkan gigi yang berbaris rapi serupa biji-biji mentimun. Entah mengapa. Aku merasa pernah mengenal senyum yang sama. Ia dan suamiku terlihat sangat bahagia. Hatiku diiris sembilu.

“Apa kurangnya diriku, Mas?” tanyaku hampa. Airmataku luruh dan membasahi foto itu.

“Tamu sudah banyak, Ma!” seru Lusiana menyentak galauku. “Eyang Putri dan Eyang Kakung sudah datang.”

“Iya, Lusiana,” sahutku. “Mama masih mencari dasi favorit Papamu.”

“Jangan lama-lama, Ma,” tutur Lusiana. Lalu menghilang di balik tirai.

Aku menghembuskan nafas berat. Dan kembali mencari dasi kupu-kupu tersebut, sambil menangis.
***
Perempuan itu memanggilku Cinta. Ia sahabat karibku di masa lalu. Ia menerima diriku apa adanya. Ia pun tak keberatan dengan hobiku menari yang sering disebut kebanci-bancian. “Aku percaya, suatu saat nanti kamu akan menjadi penari terkenal!”

Memang, kadang aku menarikan tari perempuan, seperti tari Gambyong dan tari Srikandi. Mau bagaimana lagi? Guru tariku yang memilih diriku. Katanya, diriku penari terbaik yang pernah ia jumpai. “Apapun tarinya, kamu selalu bisa menarikan dengan sempurna,” tutur beliau. Dan memang, aku sering mewakili sekolah untuk mengikuti kompetisi seni tari dan memenangkannya. Berkali-kali, aku diutus sebagai duta budaya ke luar negeri. Dengan menari, aku telah menjelajahi empat benua.

Kendati demikian, aku tidak peduli dengan kesempurnaan atupun penghargaan. Aku hanya merasa: ketika menari diriku merasa ‘menjadi diri sendiri’. Seni tari adalah hadiah yang paling berharga diberikan Kehidupan bagiku. Melalui seni tari pula, suami sahabatku itu masuk ke dalam duniaku.

Suaminya pengusaha puluhan biro wisata yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Kami bertemu seusai aku menarikan tari pendet—dalam demontrasi atas klaim negeri tetangga atas tari ini—dua bulan setelah diriku operasi kelamin. Dan tentunya, aku masih perawan. Suaminya menghadiahi diriku voucher wisata keliling Bali, bersamanya.

Laki-laki penuh teka-teki. Lebih mudah menemukan sebutir nasi di hamparan pasir yang menyelimuti pantai daripada mendapatkan lelaki yang bisa dipercayai. Padaku, berkali-kali teman perempuan—sesama penari—menumpahkan lara. Ada yang diperkosa manajernya. Ada yang kumpul kebo dengan penari laki-laki, setelah hamil dipaksa aborsi. Ada yang menjadi istri sirih polisi, lalu dicampakkan setelah tidak seksi lagi. Ada yang dijual sebagai gundik diplomat. Dan, banyak lagi peristiwa yang melukai hati.

“Kamu tidak takut diperkosa?” tanya seorang pengamen, ketika melepasku di Bandara Adi Sucipto. Ia berasal dari Gresik. Siang ia bernama Fatih, kalau malam menjadi Fatimah.

“Tidak, Fatih,” balasku menggodanya. “Dia suami sahabat karibku.”

“Nah, kamu tidak takut merusak rumah tangga sahabatmu?”

“Oh, justru aku ingin membuktikan, apakah sahabatku menikahi lelaki yang setia.”

Sebagaimana dugaanku, suaminya telah menungguku di Bandara Ngurahrai, Bali. “Di mana istrimu?” tanyaku.

Pria tampan berusia setengah baya itu seolah disambar petir. Tapi, ia cepat menguasai diri. “Istriku sibuk dengan disertasinya. Bulan Desember tahun ini, ia ingin segera meraih gelar doktoral. Jadi, tidak bisa menemaniku. Padahal, aku sudah tidak punya banyak waktu lagi.”

Alih-alih aku bercerita tentang persahabatanku dengan istrinya di masa lalu, dirinya-lah yang berbagi kisah dan nyaris tidak bisa kuberi celah. Suatu malam, di sebuah kamar hotel berbintang, sambil memelukku, suaminya membagi hidupnya padaku. “Hidupku sempurna,” tuturnya tanpa menyentuhku. “Sayang, istriku sibuk.”

“Dari dulu dirinya seperti itu,” ujarku.

“Betul,” sahut suaminya. “Ia sibuk di laboratorium dan terobsesi menemukan obat jantung untukku. Padahal, aku bertahan sampai sekarang sudah sebuah rahmat yang harus disyukuri. Sebab, dari hasil diagnosis dokter, semestinya aku sudah tutup usia lima belas tahun yang lalu.”

Keesokan harinya, suaminya mengajakku menyusuri Pantai Kuta. Nyaris sepanjang waktu ia menggenggam jemariku. Sebelum berpisah, ia menitipkan dasi kupu-kupu miliknya padaku. “Bila suatu saat aku menutup mata, kuharap kamu menyerahkan pada istriku. Katakan, aku sangat mencintainya.”

Maka, di sinilah diriku sekarang. Di hadapan peti mati suaminya. Mungkin mataku yang salah. Di hari kematiannya ini, suami sahabatku ini seolah bertambah tampan. Tapi di mana sahabatku?

“Mama masih di kamar, Tante,” jawab seorang gadis berkerudung hitam. “Entah apa yang dicarinya.”

“Panggillah, Mama,” ujarku dengan suara bariton yang mengguncang rumah duka. Beberapa pelayat mulai berbisik-bisik. “Tante membawa benda yang dicarinya dan sebuah pesan dari Papamu.”

“Baik, Tante,” sahut gadis berkerudung hitam itu. Lalu menghilang di sela-sela tubuh para pelayat. Lima menit kemudian, ia kembali mencuat bersama sahabatku.

“Cinta?” tanya sahabatku itu.

“Ya, ini aku!” sahutku kikuk. Aku sudah siap ia menggampar dan mengusirku. Salahku sendiri. Meski tidak sampai berhubungan seks, aku telah berselingkuh dengan suaminya. Agamaku boleh saja menghalalkan poligami, tapi perempuan sejati takkan merelakan lelakinya singgah ke lain hati.

Perempuan mana yang tidak cemburu bila suaminya berlibur dengan perempuan lain? Bahkan, aku pun tidur satu kamar dengan suaminya. Bila hal ini terjadi padaku, suamiku tidur dalam dekapan perempuan lain, aku tidak akan segan-segan membunuh perempuan itu, memotong-motong tubuhnya dengan pola berbentuk dadu, lalu memakannya mentah-mentah.

Jam pasir yang tak kasat mata seolah berhenti meneteskan butiran waktu. Perempuan itu terpana menatapku. Ia meraba wajahku. Lalu perlahan-lahan, jemari pipihnya turun ke jakun yang belum sempat kusingkirkan. Seluruh pelayat memandang kami.

“Bolehkah aku—,” tuturku serak sambil membentangkan jemariku, memperlihatkan dasi kupu-kupu.

“Silahkan.”

Keharuan meruah di dalam dadaku. Meskipun diriku telah berubah rupa, ia masih mengenaliku. Suaranya pun masih sehangat dulu.
“Waktu menitipkan dasi ini, suamimu berpesan padaku untuk menyampaikan,” ujarku sambil memasangkan dasi itu di krah kemeja putih yang membalut tubuh jenazah suaminya. “Ia sangat mencintai dirimu.”

Sahabatku terpana. Lalu menghembuskan nafas lega. Seolah-olah seribu ton batu terangkat dari dadanya. “Terimakasih, Cinta,” ujarnya sambil menggenggam jemariku di atas peti mati lelaki yang kami cintai.

*Sulfiza Ariska, pemenang unggulan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Tahun 2014, ia diundang sebagai salah seorang penulis dan pembicara Indonesia dalam festival sastra Internasional Ubud Witers and Readers Festival.

Bagikan