Search
Close this search box.

[CERPEN]: Bayang Nyata

Bayang Nyata

Oleh: Banyu Bening*

Suarakita.org- “Ira ingin berubah, ingin kembali normal dan bertobat. Jadi tante mohon sama kamu, jangan ganggu Ira lagi. Kalau kamu memang menyayanginya, biarkan ia hidup bahagia dengan calon suaminya dan keluarganya kelak.” Perempuan baya itu berbicara tanpa melihatku, seolah-olah aku ini adalah sesuatu yang sangat menjijikkan untuk sekedar dilihat. Tak panjang dan tak lama, setelah berkata itu ibunya Ira langsung beranjak dan pamit pulang. Tinggallah aku sendiri menatap kosong meja di depanku, apa yang mampu kulakukan? kata ibunya, Ira yang menginginkan ini. Ini untuk kebahagiaan Ira, bukankah dulu aku pernah berjanji untuk selalu membuatnya bahagia?

Malam pertama tanpa kekasih, aku diserang sesak yang menghentak, tanpa Ira. Semua kisah manis selama puluhan purnama yang kami lalui datang menghantui silih berganti. Di kamar ini, aku melihat Ira sedang bergaya nakal di depan cermin untuk menggodaku. Di dapur, aku melihat diriku sendiri sedang memeluknya dari belakang saat ia menyeduh kopi, meremangkan rambut-rambut halus di leher belakangnya. Di kamar mandi aku melihat tubuh basahnya, yang selalu mampu melambungkan libidoku hingga ke ubun-ubun. Di ruang tamu aku melihat ia sedang membaca sebuah novel kesukaannya, rambut halusnya jatuh satu dua di kening terkena hembusan angin dari jendela. Di teras, aku melihat dua perempuan dewasa yang saling mencintai seperti anak kecil, basah, riang, tanpa beban saat bersama-sama mencuci sepeda motor.

Ah…aku serasa gila jika terus berada di rumah. Maka sejak malam itu, sejak Ira memutuskan untuk menuruti keinginan ibunya. Sejak ibunya mengatakan bahwa Ira, kekasihku ingin bertobat dan kembali normal (hah memangnya kami selama ini tak normal? Gila?). Sejak Ira pergi, aku selalu merasa tersiksa di rumah. Ira selalu ada di tiap sudut rumah mungil peninggalan orang tuaku ini. Maka akupun lebih sering berada di luar, mencari yang tak ada, menghabiskan yang ada. Siang tetap bekerja seperti biasa, sedang malam melanglang tak tentu arah. Seringnya aku menghabiskan malam di pinggir jalan. Duduk memandangi langit, melihat kendara yang lalu lalang, melihat manusia-manusia yang lewat, mengutuki para pelacur yang sedang menjajakan diri tak jauh dari tempatku duduk.

“Hmm lalu aku sendiri apa? Apa bedanya aku dan mereka? Sama-sama pecundang” gumamku lirih.

Alih-alih menyampaikan langsung kutukanku pada pelacur-pelacur itu, aku malah bergantian menyewa mereka hampir tiap malam untuk menemaniku duduk memandangi langit. Persetan mereka menganggapku gila, mengutuki seperti aku juga pernah mengutuk mereka.

Dalam pandanganku ke langit, aku sedang melihat Ira waktu menulis surat untukku saat ia akan tidak lagi kembali:

Kekasihku Alika

Al, bertahun-tahun kita bersama, aku merasa kita sudah benar-benar menyatu. Aku tak pernah menyesali ini semua, dan aku tak pernah menganggap bahwa kita tidak normal atau sakit jiwa. Aku mencintaimu dengan penuh kesadaran, namun ada hal-hal di luar kemampuan kita yang tak mampu aku hadapi. Tentu saja kau tak juga mampu karena ini menyangkut keluargaku. Aku tak pernah peduli dengan orang lain, tapi aku peduli dengan orang tuaku. Masalah klise Al, ibuku sakit, dan ia menginginkan cucu, mau tidak mau aku mencintainya. Namun bantulah aku agar tak terlarut dalam dilema saat akan memilih cinta kita ataukah cinta ibuku. Maafkan aku Al, mungkin suatu saat nanti kau temukan perempuan lain yang lebih mencintaimu dari pada aku. Sekali lagi maafkan aku sayang.

Kekasihmu, Ira

“Lalu bagaimana denganku sayang?” gumamku, tanpa melepas pandang dari langit.

“Hah…?” jawab perempuan di sebelahku bingung, lalu kembali menghisap dalam, rokoknya yang tinggal setengah.
***
Empat puluh delapan purnama aku tanpa kekasihku, Al tanpa Ira. Yang juga empat puluh delapan purnama, kebersamaan Al dan Ira saat memadu kasih (dulu). Dan aku masih juga belum bisa melupakannya, belum mampu menghilangkannya dari hatiku, dari otakku, bayangannya masih saja gentayangan di tiap sudut rumah ini.

Ah…Ira, kekasihku. Kata-katamu tak terbukti, aku belum menemukan orang yang mencintaiku lebih dari dirimu. Dan mungkin tak akan pernah ada. Kalaupun ada, cintanya tak akan mampu melebihi cintaku padamu.

Dalam kesendirian ini, seringnya kulempar tanya pada malam, pada angin, pada hujan: sedang apa kau sekarang? Bahagiakah kau dengan pilihan ibumu, yang akhirnyapun jadi pilihanmu? Adakah sedikit saja kau pernah mengingatku? Mengingat malam-malam dingin yang segera membara atas penyatuan tubuh kita? atau sampai sekarang kaupun seperti diriku mengambang dalam kerinduan. Sendiri di tengah kegamangan, terkapar di lantai basah, sepi ditinggal harapan, menguap dan hilang. Selalu begitu, berulang di tiap harinya.

Entahlah, mungkin karena ingataku pada Ira selalu kupupuk. Jika tak di rumah, maka aku akan memburu bayangnya di tempat lain, pada tempat-tempat di mana dulu sering kami datangi. Taman pinggir kota, dulu kami sering ke sana saat sore tiba. Karena sudah jauh dari pusat keramaian, udara di sana sedikit lebih bersih. Taman itu sedikit menanjak. Ada sebatang beringin tua di sana, biasanya kami duduk menghadap deretan gedung di mana mentari senja akan tenggelam di balik gedung itu. Hampir tak ada yang berubah selama lebih kurang empat tahun sejak terakhir kami ke mari, hanya ada penambahan beberapa kursi panjang dan penataan bunga yang diganti.

Aku melihat seorang perempuan sedang duduk di bawah beringin tua, Ira. Aku tersenyum, bayangmu ternyata juga tertinggal di sini. Namun kali ini ia terlihat lebih matang, rambutnya sudah melebihi bahu, elegan sekali. Saat angin lembut menjilat helai-helai rambutnya dan menyibakkannya ke belakang, aku seakan sedang menikmati adegan lambat sebuah film. Aku tersenyum sendiri menyadari kegilaan ini. Seperti sadar diperhatikan, bayangan Ira memalingkan wajahnya ke arahku. Raut wajahnya kaget, “Al…”
***
Seperti orang asing yang baru kenal, kami sangat canggung. Padahal hanya duduk berdampingan dan saling bicara.

“Apa kabarmu Al?”

“Yah, seperti yang kau lihat.” Jawabku lirih.

Kami duduk sangat dekat, mungkin hanya berjarak tiga sentimeter saja. Tanganku yang bertumpu di papan kursi seakan ingin melompat meraih jemarinya yang sedang memainkan ujung rok di pahanya. Rambut halus di kudukku meremang menahan gejolak ini, sungguh aku merindukannya. Aku benar-benar tak menyangka akan berjumpa dengannya di sini yang awalnya hanyalah sebuah banyangan seperti yang dulu-dulu, setelah empat tahun lamanya. Jika saja tak malu dan gengsi, rasanya ingin aku mendekapnya melumat habis bibirnya. Bahkan aku sendiripun tak mampu menggambarkan betapa rindunya aku padanya.

“Pasti kau sudah bahagia sekarang bersama suamimu. Di mana dia?” tanyaku mengubur segala sakit hati. Pertanyaan yang sebenarnya justru akan membakarku sendiri. Sedang ia hanya tersenyum.

“Mama…” tiba-tiba gadis kecil berlari dan menghambur di pahanya.

“Hei sayang, kenapa?” jawab Ira.

“Haus” katanya lagi, aku benar-benar terbakar. Tapi aku menyukai raut anak ini, anak Ira. Cantik seperti ibunya, untuk membunuh nyeri yang ada di dadaku akupun menyapanya yang sedang terburu-buru menenggak minumnya.

“Hai sayang, kamu siapa namanya?”

“Alika….” teriaknya sembari berlari melanjutkan mainnya.

Dan aku terkejut mendengarnya, lalu kulempar pandang pada mata Ira. Sedang ia hanya senyum dan merunduk menghindari tatapanku. Seketika aku lumer, ia menamai anaknya dengan namaku. Ia masih selalu mengingatku dan selalu akan mengingatku dengan menamai anaknya Alika. Dan rasa-rasanya merah wajahku menahan kebahagiaan ini, meski hanya mengetahui bahwa Ira selama ini selalu mengingatku. Tak lepas tatapanku pada wajahnya yang sedang tersenyum dan merunduk itu.

Aku sudah tak peduli dengan pertanyaan yang selalu menghantui apakah ia bahagia dengan suami dan keluarga barunya selama ini. “Oh iya, bagaimana kabar tante? Apa kesehatannya sudah membaik? Ah sudah tentunya. Tak ada alasan untuk buruk kurasa, bukankah kau telah merelakanku demi dia.” Tiba-tiba perasaan senangku berkurang oleh kecewa lama yang kembali hadir.

“Mama, mama sudah meninggal enam bulan setelah aku meninggalkanmu Al.” Ira memulai cerita dan akhirnya mulai berani menatap mataku untuk pertama kalinya sejak tadi.

“Kok bisa?” tanyaku lagi, menyesali kesinisanku barusan.

“Yah, laki-laki yang akan kunikahi ternyata sama dengan kita Al. Ia juga tak pernah tertarik dengan perempuan. Dan kesempatan ini kami jadikan ajang kerja sama. Malam pertama kita dipertemukan, kita langsung saling jujur atas keadaan masing-masing. Lalu kami menyusun rencana, aku akan mengatakan pada mama bahwa laki-laki itu bajingan, ia hanya seorang lelaki hidung belang yang hanya ingin menikmati tubuhku. Sedangkan ia sendiri akan mengatakan pada keluarganya bahwa aku perempuan sundal, perempuan yang sudah hamil di luar nikah. Namun aku sadar, ini tak akan mampu membuat mama berhenti menyuruhku untuk menikah. Makanya aku meminta lelaki itu membuahi rahimku, bukankah mama hanya ingin cucu?” Ira berhenti sejenak lalu memandangku lagi. “Setelah itu lelaki itu pergi menyusul kekasihnya ke Belanda. Dan mama, belumlah sempat menggendong cucunya terkena stroke akibat jatuh di kamar mandi saat aku hamil lima bulan. Hampir dua bulan koma lalu meninggal, pembuluh darah di otaknya pecah.” Matanya lembab dan nanar.

“Lalu kenapa kau tak kembali padaku sayang? Tahukah kau setiap saat aku tersiksa? Tahukah kau aku selalu merindukanmu? Tahukah kau bahwa setiap saat aku menunggumu?” kutatap lekat matanya.

“Aku tak ingin menjadi pecundang Al, setelah pergi meninggalkanmu dengan luka, lalu kembali dengan tubuh yang mendua” jawabnya tanpa bisa lagi membendung airmata.

Plak…..”Bodoh!!” tamparanku mendarat mulus di pipinya yang juga mulus. Dan ia sama sekali tak menunjukkan kemarahan.“Pikiran kotor apa itu? Aku hampir gila sayang.” Tanpa pikir panjang aku langsung mendaratkan ciumanku di bibirnya, lama, seolah menagih hutang rindu yang selama ini ditimbun oleh Ira. Tanpa peduli akan diperhatikan orang atau tidak, tanpa peduli pada Alika kecil, tanpa peduli apapun kecuali Ira. Lalu aku memeluknya erat, takut sekali kehilangannya lagi.

“Aku juga merasakan siksaan yang kau rasakan selama ini Al, aku merindukanmu sayang. Hanya Alika kecil yang membuatku merasa selalu ada di dekatmu. Aku selalu menganggap bahwa ia adalah buah hati kita” bisiknya di dadaku.

“Tentu saja” jawabku melepaskan pelukan dan beranjak mencari Alika kecil. Turut bermain dengannya, mengejarnya, menangkapnya dan menggendongnya dengan kebahagiaan yang nyaris memenuhi dadaku. Kulihat Ira tersenyum manis sekali memandagi keakrabanku dengan Alika kecil, adegan lambat dalam film datang lagi. Angin lembut kembali menjilat dan menyibakkan rambutnya ke belakang, anggun dan elegan sekali. Dan ini bukan hayalan, ini bukan bayangan, ini nyata.

TAMAT

*Banyu Bening: menulis cerpen dan puisi-puisi satire, yang mengarah ke ranah-ranah sosial dan kemanusiaan.

Bagikan