Search
Close this search box.

Pemimpin Datang dan Pergi; Kaum Gay akan Selalu Ada

Oleh Julia Suryakusuma*

Suarakita.org- Di tengah panasnya, ketegangan dan kampanye hitam yang terkadang parah, selama pemilihan presiden (pilpres), ada satu momen menyentuh pada saat debat presiden kedua tanggal 15 Juni yang lalu.

Saat Joko “Jokowi” Widodo menyebut pengembangan industri kreatif sebagai bagian program ekonominya, Prabowo Subianto menyatakan dukungan atas ide lawan politiknya itu. Dengan suara seperti tersedak karena haru,  mantan letjen itu berujar, “Anak tunggal saya bergerak di ekonomi kreatif; dia desainer terkenal dunia,” dan kemudian berjalan menuju Jokowi yang tampak agak terkejut, seraya memeluknya. Ya, lebih mirip komedi daripada menyentuh hati, atau mungkin dua-duanya!

Memang, Didit Hediprasetyo, anak semata wayang Prabowo yang kini tinggal di Paris, adalah seorang desainer yang diakui secara internasional, meski relatif kurang dikenal di Indonesia. Desain adalah salah satu dari 14 sektor industri kreatif, yang berkontribusi hampir 5 persen terhadap pendapatan bruto nasional. Tidak mengherankan jika kedua kandidat presiden mendukung industri ini.

Lantas bagaimana dengan HAM, yang menjadi landasan dasar demokrasi? Apakah HAM didukung dengan semangat yang sama seperti halnya industri kreatif oleh kedua kandidat?

Eit, jangan cemas dulu Pak Prabowo, saya tidak sedang menuduh Anda atas pelanggaran HAM yang memicu pemecatan Anda dari TNI, dan yang masih menghantui Anda hingga sekarang!

Saya berbicara mengenai hak seksual! Ya, betul sekali, terutama bagi anggota komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Apakah hak-hak mereka terjaga? Mari simak dua studi kasus ini:

Firman, mahasiswa gay berusia 23 tahun yang sedang menempuh studi di salah satu sekolah perguruan Islam, dipermalukan di depan kelas karena kemayu. “Kalau masih terus kemayu, kita pukul saja hingga waras,” kata dosennya di hadapan para mahasiswa.

Kiki, 32, seorang aktivis lesbian Bandar Lampung, setelah dibuka identitas seksualnya di media, dipaksa “berobat” ke seorang ulama dan dukun agar “disembuhkan dari kelainannya”.

Kasus-kasus di atas hanyalah dua dari serangkaian studi kasus yang dipaparkan dalam Laporan Dialog Nasional Komunitas LGBT pada tanggal 17 Juni 2014. Sambil mempresentasikan laporan tersebut, aktivis hak azasi LGBT terkemuka Dede Oetomo sempat berkata: “Bagi sebagian kami, keluarga adalah neraka,” seraya mencontohkan kasus “seorang ayah yang menyuruh paman untuk memperkosamu karena kamu lesbian.”

Laporan ini merupakan hasil forum dialog yang berlangsung pada bulan Juni 2013 di Bali, sebagai bagian inisiatif regional “Being LGBT in Asia”, yang mencakup delapan negara peserta: Indonesia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Nepal, dan Mongolia.

Laporan tersebut merupakan yang paling komprehensif hingga saat ini, meliput sejarah LGBT di Indonesia, advokasi LGBT, kajian tentang HAM kaum LGBT (hukum, kebijakan, agama, desentralisasi, negara hukum, dan korupsi) dan perlindungan hak-hak LGBT (dalam bidang pekerjaan dan perumahan; pendidikan dan remaja; masalah keluarga dan sosial, juga persepsi budaya; media dan teknologi informasi; hukum, HAM dan politik; dan kasus khusus Aceh, yang memberlakukan syariah).

Laporan ini menyebutkan, kapasitas organisasi-organisasi LGBT telah berkembang signifikan, terutama sejak Dede mendirikan Lambda, organisasi pejuang hak-hak kaum gay pertama di Indonesia, pada tahun 1982. Pada akhir tahun 2013, sudah ada dua jaringan nasional organisasi LGBT, dan 119 organisasi di 28 dari 34 provinsi Indonesia. Wow!

Meski banyak organisasi LGBT bermunculan, laporan ini juga menyingkap, kaum LGBT masih menghadapi diskriminasi di berbagai bidang. Hal ini berlaku terutama bagi kalangan menengah ke bawah.

Jelas, persoalan ini menyangkut kelas sosial, yang tidak diulas oleh laporan tersebut sama sekali. Boleh dibilang ada puluhan tokoh penting Indonesia, beberapa di antaranya politisi besar atau selebritas terkenal, yang gay maupun lesbian, atau yang memiliki anggota keluarga gay atau lesbian. Uang dan kuasa bisa membeli ruang privasi bagi para individu tersebut yang tentu saja tidak bisa dinikmati mereka yang berasal dari kalangan menengah dan menengah ke bawah—yang senantiasa hidup dalam kecemasan karena takut ketahuan dan ditolak, atau mungkin malah lebih buruk lagi…

Salah satu kawan saya, gay, pebisnis kaya, pernah berujar sambil mengibaskan rambut dan memutar matanya ke atas, “Cyin, pasti kamu bakal gak percaya deh, betapa banyaknya orang-orang penting dari kalangan atas yang gay di negari ini! Pasti kamu terkaget-kaget!”

Don’t ask, don’t tell! (Jangan tanya, jangan bilang) [1]

Terutama dalam konteks pilpres sekarang ini, sangatlah relevan untuk menghubungkan identitas seksual dengan identitas nasional. Tidaklah berlebihan bila saya mengatakan, hak-hak LGBT bergantung pada bagaimana Indonesia sebagai negara mengatasi beragam dilema multidimensional dalam proses mencari jati diri kebangsaannya. Kita masih berada dalam situasi krisis identitas, dan ini benar-benar tercermin dalam pilpres sekarang, yang dipersonifikasikan oleh masing-masing kandidat.

Prabowo adalah pengejawantahan masa lalu, dominasi militer dan pelanggaran HAM. Ya, ia memang tokoh “baru” – tapi “Orde Baru”, yang selama rezim tersebut terlibat dalam pembungkaman efektif namun selektif atas lawan-lawannya—termasuk golongan Islam politis. Tidak ada desentralisasi selama era Orde Baru, apalagi perda yang berbau syariah, yang sering kali malah bertentangan dengan hukum negara, dan terkait dengan HAM, malah bertentangan dengan Konstitusi. Ironis memang koalisi Prabowo kali ini mencakup tiga partai Islam: Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Itulah politik!

Di lain pihak, Jokowi adalah pengejawantahan angin segar dan masa depan. Ia memegang tongkat politik hanya selama era Reformasi, beranjak dari bawah dan, dengan demikian, ia sangat populis dan pluralis. Tetapi Jokowi pun harus membuktikan keislamannya, terutama setelah dibombardir oleh ragam kampanye yang menuduhnya sebagai etnis Tionghoa dan Kristen (lantas kalau memang demikian kenapa?).

Katakanlah, seandainya seorang pemimpin memiliki anak gay, ada dua pilihan yang amat sulit: membela HAM bagi anaknya, atau tunduk pada dikte-dikte golongan Islam politis, agar tetap bisa berkuasa? Bukan pilihan yang mudah, ‘kan?

Nah, dalam konteks pertentangan besar ideologis dan politis ini, sejumlah rekomendasi yang terdapat dalam laporan LGBT tersebut mungkin tampak naif. Tetapi naif ataupun tidak, LGBT dan HAM tetap akan ada selamanya.

Perjuangan masih panjang.

 

*Penulis adalah pengarang buku “Julia’s Jihad”. Tulisan pernah dimuat di harian berbahasa inggris The Jakarta Post 25 Juni 2014.

 

 

Catatan Kaki

[1] Antara February 28, 1994 dan September 20, 2011,  kebijakan resmi Amerika Serikat bagi kaum gay dan lesbian adalah “don’t ask, don’t tell” (DADT), Kebijakan ini melarang staf militer melakukan diskriminasi atau pelecehan terhadap anggota militer atau pelamar ke korps militer yang homoseksual atau biseksual yang tidak terbuka, dan melarang LGBT yang terbuka untuk menjadi anggota militer. (lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Don’t_ask,_don’t_tell, dan http://www.hrc.org/resources/entry/the-repeal-of-dont-ask-dont-tell). Kebijakan ini dianggap diskriminatif  sehingga pada tahun 2010 dilakukan upaya pembatalan untuk pertama kalinya. Setelah mengalami berbagai hambatan, pembatalan itu terjadi pada September 20, 2011.