Oleh: Budi Larasati*
Suarakita.org- Apa hubungan dari olimpiade dengan hak asasi manusia?
Dapatkah olimpiade menjadi sarana advokasi?
Dalam artikel jurnal yang berjudul “Lighting the Torch,” Julie H. Liu menuliskan kemungkinan akan posisi tuan rumah sebagai titik awal bagi penghormatan hak asasi manusia suatu negara. Kehormatan, kebanggaan, dan sorotan internasional terhadap negara tuan rumah Olimpiade dianggap dapat memberikan insentif bagi reformasi hak asasi manusia secara suka rela dari negara tersebut.
Olimpiade, yakni pesta olahraga dunia yang diadakan setiap empat tahun sekali, tidak pernah lepas dari unsur-unsur politik. Pada Olimpiade 1920, Belgia, Austria, Bulgaria, Jerman, Hungaria, dan Turki menerima larangan berpartisipasi dikarenakan oleh keterlibatan dalam Perang Dunia I. Hitler berupaya untuk menggunakan Olimpiade 1936 sebagai bagian dari propaganda NAZI (National Socialist German Workers’ Party), dan Afrika Selatan mendapatkan larangan berpartisipasi selama 32 tahun sebagai bentuk protes terhadap kebijakan apartheid, atau segregasi ras. Terakhir, sebagai protes atas invasi terhadap Afghanistan, 50 negara memboikot Olimpiade Uni Soviet 1980, yang kemudian dibalas pula dengan boikot terhadap Olimpiade Amerika 1984. [1] Dengan demikian, jelas terlihat hubungan antara politik dan olahraga yang tertuang dalam sejarah Olimpiade.
Olimpiade kerap pula digunakan sebagai sarana bagi pemantik perubahan sosial – seperti yang terjadi pada Olimpiade 1988 Korea Selatan dengan turunnya junta militer dan penyelenggaran pemilu. [2] Kebanggaan nasional, perhatian dari dunia internasional, ketidakinginan untuk ‘mengecewakan,’ dan rasa malu atas rusaknya image, menyebabkan suatu negara kemudian berupaya untuk membuat komitmen dan menerapkan pelunakan dari suatu kebijakan.
Tetapi, apakah memang semudah itu? Beberapa kritik telah dilancarkan terhadap pandangan Liu yang dianggap terlampau utopis. Perhelatan olahraga internasional seperti Olimpiade memang merupakan ajang yang ideal bagi kampanye berbagai macam isu, dikarenakan oleh perhatian publik yang luas. Idealisme atas hubungan harmonis antar bangsa, fair play, kesetaraan, solidaritas, serta momen ikonik yang dihasilkan, membawa romantisme tersendiri. Kemenangan dari pelari Afrika-Amerika Jesse Owens pada Olimpiade 1936 dan salut kepalan tangan sebagai protes atas kebijakan segregasi ras oleh Tonny Smith dan John Carlos pada Olimpiade 1968 terus dikenang. [3]
Akan tetapi pada saat yang bersamaan, perhelatan international itu juga turut membawa kekhawatiran, terutama terkait dengan berbagai macam isu yang kerap berulang, seperti kerusakan lingkungan, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Perhelatan olahraga internasional memang memiliki permasalahan tersendiri, namun di sisi lain, juga merupakan suatu ajang yang ideal bagi kampanye. Diharapkan, melalui rentetan alasan normatif yang telah dikemukakan di atas, negara akan berupaya untuk bertindak menyesuaikan diri dengan membuat perubahan-perubahan.
Mari beralih pada Olimpiade Musim Dingin Rusia 2014
Seperti yang diketahui, Olimpiade diadakan pada Musim Dingin dan Panas, dengan interval tahun yang berbeda. Tulisan ini akan berfokus pada Olimpiade Musim Dingin tahun 2014 yang diselenggarakan di Kota Sochi, Rusia. Kota Sochi dinyatakan sebagai tuan rumah dari Olimpiade Musim Dingin ke-XXII yang diselenggarakan pada Bulan Februari 2014, oleh Komite Olimpiade Internasional. Seperti biasa, kekhawatiran atas kerusakan lingkungan, terorisme, serta pelanggaran hak asasi manusia, terkait dengan represi kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender), ekploitasi buruh migran, dan akuisisi lahan mewarnai semarak olimpiade. [4]
Setelah aksesinya menuju kepada tampuk kekuasaan, Putin menandatangani amandemen undang-undang mengenai ‘Perlindungan Anak dari Informasi Berbahaya bagi Kesehatan dan Perkembangan’ pada tahun 2013, dengan menambahkan hukuman bagi individu atau organisasi yang mempropagandakan ‘hubungan seksual nontradisional,’ – suatu hal yang dimaknai merujuk pada homoseksualitas. [5]
Hukum tersebut melarang penyebaran propaganda yang menampilkan maupun menyajikan ‘…ketertarikan dari hubungan seksual non-tradisional, gambaran atas kesetaraan atas hal tersebut dengan hubungan seksual tradisional, ataupun memberikan informasi yang dapat membuat seseorang tertarik,’ dengan hukuman denda dan pembekuan kegiatan, yang berlaku bagi media, individu, ataupun institusi. [6]
Amandemen yang melarang segala bentuk diskusi yang dinilai mempromosikan hubungan seksual ‘nontradisional’ tersebut, lalu membawa efek beruntun. Seperti represi kebebasan berekspresi dan berserikat, pelecehan, penangkapan, intimidasi, penahanan, tindak kekerasan, serta iklim intoleransi yang meluas di tengah masyarakat.
Apakah yang dimaksud dengan ‘propaganda’?
Bagaimana pula ‘propaganda’ tersebut termanifestasikan dan dimaknai?
Kembali dengan masalah represi dan pelanggaran hak asasi manusia yang berlandaskan pada retorika keagamaan dan moralitas yang ambigu, tidak ada yang baru dengan dunia. Tetapi tulisan ini akan mengarah pada upaya advokasi selama masa Olimpiade Musim Dingin 2014, dan tidak akan membahas mengenai perdebatan tersebut secara lebih lanjut.
Homoseksualitas dilarang selama era Uni Soviet sampai pada tahun 1993. Namun, hingga kini tidak terdapat kemajuan yang signifikan di Rusia. Menurut survei tahun 2013 terhadap hak-hak kelompok LGBT Eropa dari International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association, Rusia berada pada posisi terbawah dari 49 negara. [7] Amandemen memang tidak melarang tindakan homoseksual secara eksplisit, namun melakukan banyak pembatasan dan membawa konsekuensi atas peningkatan dari kejahatan berlandaskan kebencian di masyarakat – yang dapat dijelaskan oleh gagasan amandemen yang terkesan seperti mengesampingkan dan menetapkan kelompok LGBT sebagai kasta terbuang – dan juga dimaknai sebagai nota kosong atas tindak kekerasan serta kebencian. Hukum menyediakan kerangka bagi diskriminasi, yang ‘disponsori’ oleh negara.
Salah satu aspek dari prosedur penentuan negara kandidat tuan rumah oleh Komite Olimpiade Internasional melibatkan komitmen terhadap Piagam Olimpiade, yang terkait dengan hak asasi manusia, mengandung pernyataan akan ‘olahraga sebagai hak asasi manusia yang tidak boleh terdiskriminasi’ (Prinsip 4), dan ‘pelarangan dari setiap tindakan diskriminasi berdasarkan pada aspek ras, agama, politik, dan jender’ (Prinsip 6). [8]” Dua hal yang – sudah tentu – bertentangan dengan amandemen hukum baru Rusia.
Tidak heran bahwa amandemen tersebut mendapatkan kecaman internasional. Organisasi Amnesty International dan Human Rights Watch, serta Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon mengecam amandemen yang – secara gamblang – dianggap sebagai sebuah pelanggaran hukum internasional, sehubung dengan kewajiban Rusia untuk melindungi hak-hak warga negaranya – termasuk dengan kelompok LGBT.
Dalam kaitannya dengan praktek advokasi, Olimpiade Musim Dingin Rusia 2014 telah menjadi titik awal bagi reaksi internasional dalam menanggapi amandemen hukum baru Rusia. Amerika – dalam posisinya sebagai kampiun dari demokrasi dan kebebasan dunia – memberlakukan peringatan perjalanan dan menjalankan aksi protes ‘halus’ dengan mengikutkan beberapa figur LGBT seperti Billie Jean King, Brian Boitano, Bonnie Blair McFaul, Caitlin Cahow, dan Eric Heiden ke dalam tim prosesi Olimpiade. [9]
Oleh negara lain, boikot ‘halus’ dilakukan dengan ketidakhadiran dari Presiden Jerman Joachim Gauck pada upacara pembukaan dan penutupan. Selain itu, pernyataan anti-diskriminasi juga diberikan oleh berbagai perusahaan sponsor seperti Coca-Cola, McDonald, dan Visa – untuk menyebutkan beberapa. Google menampilkan ‘Olympic doodle’ di laman utama yang memberikan penekanan pada Prinsip 4 dari Piagam Olimpiade [10], dan Guardian, NBC, serta Channel 4 menggunakan logo pelangi selama masa olimpiade. [11] Iklan turut pula menampilkan pesan anti-diskriminasi, seperti pada video ‘The Games have always been a Little Gay’ oleh Canadian Institute for Diversity and Inclusion, [12] dan Channel 4 memiliki video ‘Gay Mountain’ – yang mungkin tidak terlalu ‘halus,’ tetapi menyampaikan pesan yang senada.
Tidak lupa pula kubu atlet, yang kerap mengutip Prinsip 6 Piagam Olimpiade dan menggunakan logo pelangi dalam setiap aksi protes yang dilakukan. Seperti timAustralia yang menampilkan tulisan Prinsip 6 di kereta luncur, tim Jerman yang mengenakan – secara literal – seragam pelangi, tim Yunani dengan desain sarung langan berujung pelangi, tim Ceko yang menggunakan motif hati – mengacu pada mantan Presiden Vaclav Havel yang berpikiran progresif [13]. Selain itu, salut enam jari yang mengacu pada Prinsip 6 dari Piagam Olimpiade serta dari penjualan merchandise anti-diskriminasi oleh kelompok non-profit All Out dan Athlete Ally [14] juga merupakan bentuk-bentuk protes yang populer.
Retorika, simbol pelangi, penggunaan prinsip-prinsip Piagam Olimpiade, dan boikot – apakah hal-hal tersebut efektif dalam menjadi titik awal bagi reformasi HAM Rusia untuk kelompok LGBT? Rusia telah melakukan beberapa konsesi seperti dengan pelepasan dari anggota kelompok musik Pussy Riot yang berpikiran progresif, [15] namun amandemen masih terus berlaku.
Selain itu, Wakil Perdana Menteri Rusia Dmitry Kozak memang telah menyatakan kepatuhan Rusia terhadap prinsip-prinsip dari Piagam Olimpiade, tetapi tetap saja ada aktivis yang tewas, terluka, dan tertangkap selama masa olimpiade. [16] Selama dan sesudah olimpiade, Rusia tidak berubah, dan retorika politikus tetap tidak dapat dipercaya.
Komite Olimpiade Internasional tidak bertindak tegas dalam menanggapi pelanggaran hak asasi manusia Rusia yang jelas-jelas bertentangan dengan Piagam Olimpiade, sehingga organisasi tersebut kemudian dinilai gagal dalam mendorong negara tuan rumah – Rusia – untuk melakukan reformasi. Selain itu, Piagam Olimpiade juga dinilai terlalu umum, dan tidak menyatakan secara spesifik mengenai kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, ataupun hak-hak atas kebebasan lain. Padahal dalam melakukan pembahasan mengenai diskriminasi, kebebasan berekspresi dan berserikat adalah merupakan komponen yang tidak dapat terpisahkan. Secara singkat, idealisme Liu tidak dapat dibuktikan dalam perhelatan Olimpiade Musim Dingin Rusia 2014. Lebih lanjut lagi, dukungan internasional yang diberikan selama periode Olimpiade terkesan seakan menghilang begitu saja setelah euforia upacara penutupan yang diadakan pada tanggal 23 Februari 2014.
Betapa tidak konsisten suatu hal yang disebut sebagai ‘perhatian internasional.’ Seperti layaknya demam yang akan langsung menghilang apabila dibiarkan begitu saja setelah beberapa waktu.
Rusia telah menjadi tuan rumah olimpiade, tetapi sama sekali tidak terlihat upaya-upaya apapun dalam melakukan perubahan. Tidak ada perubahan yang berkelanjutan, bahkan tidak ada lagi upaya advokasi internasional yang mencolok lagi setelah berakhirnya masa olimpiade, sehingga artikel ini mempertanyakan dengan serius pendapat dari Liu yang dituliskan pada bagian awal.
Apakah benar olimpiade efektif sebagai sarana advokasi hak asasi manusia?
* Penulis adalah mahasiswa UI yang memiliki ketertarikan dengan isu jender dan HAM. Memimpikan hidup bahagia bergelimang buku, koneksi internet berkecepatan tinggi, dan makanan manis.
[1] Julie H. Liu. “Lighting the Torch of Human Rights: The Olympic Games as a Vehicle for Human Rights Reform,” dalam Northwestern Journal of International Human Rights, Vol. 5, No. 2, Musim Semi 2007, hal. 216-217
[2] Ibid., hal. 221
[3] Institute for Human Rights and Business, “Striving for Excellence: Mega Sporting Events and Human Rights,” dalam Occasional Paper, No. 2, Oktober 2013, hal. 5-6
[4] Jim Nichol et.al, “The 2014 Sochi Winter Olympics: Security and Human Rights Issues,” dalam CRS Report for Congress, Januari 2014, hal. i
[5] Ibid., hal. 13
[6] Ibid., hal. 13-14
[7] Erik Jennische, “The Olympic Violations: The Winter Olympic Games in Sochi, the Swedish
Sponsors, and Human Rights,” dalam Report No. 68, Januari 2014, hal. 10
[8] Nichol et.al, op.cit., hal. 3
[9] Ibid., hal. 19
[10] http://www.abc.net.au/news/2014-02-06/russia-gay-rights-sochi-explained/5237926 pada tanggal 28 Mei 2014
[11] http://www.theguardian.com/sport/gallery/2014/feb/07/rainbow-logos-back-gay-rights-during-sochi-2014-in-pictures pada tanggal 28 Mei 2014
[12] “Video: The Games have always been a Little Gay,” diakses melalui http://globalnews.ca/news/1132480/luge-parody-ad-points-out-olympics-have-always-been-a-little-gay/ pada tanggal 28 Mei 2014
[13] http://www.huffingtonpost.com/2014/02/07/olympics-opening-ceremony-gay_n_4746760.html pada tanggal 28 Mei 2014
[14] http://www.nytimes.com/2013/12/02/business/media/merchandise-uses-olympics-principles-against-russian-anti-gay-laws.html?adxnnl=1&adxnnlx=1400080049-zXEtIurupSqb2k2yHlYUzA pada tanggal 28 Mei 2014
[15] http://www.abc.net.au/news/2014-02-06/russia-gay-rights-sochi-explained/5237926 pada tangga; 28 Mei 2014
[16] Jennische, op.cit., hal. 12