Lelaki yang Mengucurkan Airmata
Oleh: Aris Kurniawan*
Dia menelpon lagi. Malam-malam.
“Kenapa sih susah banget angkat telpon?”
“Hapeku ketinggalan.”
“Dia pulang hari ini,”
“Kamu pernah bilang ‘kan, biasa dia pulang saban akhir pekan?”
“Tapi kali ini dia tak akan kembali.”
“Lho, kenapa?”
“Dia resign dari tempat kerjaanya,”
“Kalian kan bisa teleponan, janji ketemuan.”
“Tapi aku sepi sekali. Aku pengin memeluknya sekarang.”
“Sabarlah. Kalo dekatan terus bosan juga kan?”
“Bukan itu.”
“Terus?”
“Aku benci kenapa aku jadi kangen begini.”
“Lho? Wajar kan, sama pacar?”
“Bukan itu,”
“Terus gimana?”
“Kenapa aku mencintainya, sakit sekali rasanya,”
Suarakita.org- Dia orang Minang yang pernah merantau ke mana-mana, bertahun-tahun. Jakarta, Kuala Lumpur, Brunai, Singapura, Thailand. Dia menulis apa saja—terutama kisah-kisah perjalanan— untuk sejumlah koran dan majalah di Jakarta. Kini dia menetap di Papua, bekerja di koran harian, melanjutkan pendidikan S2 psikologi, menikah dengan gadis Bugis, dan sekarang sedang mencicil rumah. Kupikir hidupnya telah lengkap. Nyatanya tidak.
Dia pernah ke Jakarta dua hari khusus untuk menemuiku, setelah hanya ngobrol melalui dunia maya selama di perantauan di berbagai tempat itu. Itulah kali pertama kami bertemu langsung. Memecahkan rasa penasaran yang menghantui perasaan masing-masing.
Seperti sahabat lama yang baru bertemu, dia menceritakan pengalamannya merantau di negeri negeri jiran. Beragam adat budaya. Kisah yang kerap diungkapkan dalam rangkaian chatting. Ketika berhadapan langsung jelas sekali bedanya. Kami bisa saling menakar diri masing-masing secara lebih nyata. Kisahnya berakhir dengan cucuran air mata, saat cerita berbelok ke kehidupan pernikahannya. Dia bilang, tidak pernah bisa mencintai istrinya. Setiap bertengkar dia menangis. Istrinya gemar membanting pintu, menggebrak meja, melempar gelas dan piring. Perempuan setan, dia bilang. Matanya memerah, ingusnya mengucur. Sesenggukan dia menangis. Aku menghiburnya. Dia memelukku.
Dua hari itu kami tak pernah lepas, berkeliling mengunjungi situs-situs sejarah di Jakarta. Dia tampan. Mata, hidung, bibir, semuanya serba berukuran mungil dan lentik. Sikapnya lembut. Seperti ada kehati-hatian yang agak berlebihan. Segalanya, seperti berkebalikan denganku.
“Kamu ternyata tidak seberangasan yang kubayangkan,” ujarnya. Aku tertawa.
“Apa pendapatmu tentang diriku?’
“Lebih lembut dari yang kupikirkan,”
Sejak itu dia makin kerap meneleponku. Dijadikannya aku tong sampah. Mengadukan semua perlakuan istrinya. Rekan rekan kerjanya. Dan juga masa kanaknya yang dia bilang kelam dan menjadi biang kerok semua penderitaannya. Ayahnya meninggal saat dia berusia dua tahun. Ibunya beberapa kali menikah lagi. Ayah-ayah tirinya gemar menganiaya. Ibunya yang diharapkan jadi benteng terakhir pertahanannya, malah membela suaminya. Bahkan salah seorang ayah tirinya pernah hampir memperkosanya. Kadang aku merasa agak terganggu, terutama saat aku dikejar-kejar deadline menulis naskah iklan. Tapi pada saat yang sama aku merasa rindu.
Beberapa lama kemudian dia tidak pernah menelpon lagi. Bahkan kirim e-mail dan pesan pun tidak. Berbulan-bulan. Tumben. Tapi aku biarkan saja. Kupikir hubungan dengan istrinya membaik dan tidak ingin diganggu. Padahal aku tak pernah mengganggu, selalu dia yang menelpon. Dinding Facebook-nya kosong, status terakhir ditulisnya 3 bulan lalu. Dia memang pernah bilang memiliki akun Facebook dengan nama lain yang dirahasiakannya.
Menjelang tiga bulan, barulah dia menelpon lagi. Kupikir ini kejutan.
“Gimana Tina? Sudah rukun kan? Tidak bertengkar lagi kan?”
“Sam, aku sudah tidak peduli dengan Tina!”
“Maksudmu? Kalian cerai?”
“Tidak. Ah sudahlah aku gak mau bahas itu,”
“Oke, oke,”
”Aku punya pacar sekarang.”
“Oh, jadi punya pacar. Pantes lama gak nelpon. Senang kamu sekarang?”
“Sam. Bukan itu.”
“Sudah berapa lama?”
“Sam, dengar dulu.”
“Ya, ya.”
Dia bilang, pacarnya santri. Rajin sekali ke masjid. Awalnya, si pacar menganggapnya gila. Di dinding Facebook si pacar menulis status: ‘cintamu salah alamat’.
“Shock sekali aku, Sam.”
Belakangan si pacar mau sekadar berteman. Dan tahap selanjutnya lebih dari sekadar teman seperti yang dia harapkan. Diberinya si pacar laptop. Mereka kerap jalan berdua, berboncengan naik motor. Berganti-ganti memeluk pinggang dari belakang. Tidur bersama. Tapi suatu hari si pacar mengatakan harus mengakhiri hubungan. Dengan alasan, takut ketahuan orang. Lagi pula, si pacar bilang, ini hubungan terlarang. Dia menangis di telepon, sesenggukan. Si pacar tak mau lagi bertemu. Dia berupaya keras melupakan sampai hatinya, dia bilang, berdarah-darah bagi dicabik-cabik duri. Dan ingin mati saja.
“Sam, akan kutarik lagi laptopnya,”
“Terserah kamu,”
“Sam, beri pendapat dong, aku harus bagaimana?”
“Terserah kamu, itu pendapatku,”
“Sam,”
“Lupakan dia, dan cari pacar lagi,”
“Tak semudah itu.”
Beberapa minggu kemudian si pacar menghubungi dia lagi. Padahal dia bilang dia hampir berhasil melupakannya. Dia tidak kuasa menolak. Akhirnya berhubungan lagi. Putus sambung seperti ini seingatku lebih dari dua kali.
“Sam, menurutmu, dia mencintaiku nggak sih? Apakah dia memikirkan aku seperti aku selalu memikirkannya?”
“Menurutmu?”
“Pendapatmu, Sam!”
“Mungkin sebenarnya dia juga mencintaimu,”
“Oh, benarkah, Sam? Kamu yakin, Sam?” Nada suaranya terdengar gembira. Selebihnya hampir tiada hari tanpa meneleponku. Kadang sengaja tak kuhiraukan. Tapi tidak sampai tiga hari. Entah kenapa aku senang mendengar suaranya, baik saat tertawa dan berbunga-bunga maupun saat menangis sesenggukan.
Pagi ini dia menelpon lagi. Kali ini langsung menangis. Pacarnya seminggu tak muncul-muncul, teleponnya tak aktif. Padahal dia sudah mengungkapkan kepada Tina, perihal hubungannya. Dia sudah siap bercerai dari istrinya jika perempuan itu tak menerima keadaannya. Di luar dugaan, Tina mau berbagi. Asal tidak ada perceraian.
“Aku sudah menghubungi semua teman-temannya. Tidak ada yang tahu. Sekarang aku akan mencari ke rumahnya di Batam,” katanya persis perkiraanku. Lalu aku menjawab dengan kalimat yang telah kusiapkan.
“Semoga pacarmu segera menghubungi kamu, sabar dan berdoalah.”
Telepon kututup. Aku tahu pacarnya tak akan pernah menghubungi dia lagi. Aku telah menyuruh orang membawanya ke Jakarta. Sekarang dia sedang ngorok di sampingku.
Relung Malam Pondok Pinang, Juni, 2014.
*Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1977. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Kumpulan cerpen, Logung Pustaka, 2005,) Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007). Ayah tiga anak ini sehari-hari bekerja sebagai wartawan freelance untuk sejumlah media Jakarta.