Search
Close this search box.

Diskriminasi masih menjadi momok bagi LGBT di Indonesia

Suarakita.org- Di Indonesia sebagian kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender LGBT masih banyak yang mengalami diskriminasi.

Sebuah laporan tentang kondisi Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia. Yang diinisiasi oleh Badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani pembangunan (United Nations Development Programme/UNDP), Diluncurkan pada Selasa (17/6/2014). di Menara Thamrin, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat. Yang dihadiri oleh, Komisioner Komnas Ham, Komisioner Komnas Perempuan, Pejabat Kementerian Hukum dan Ham, aktifis LGBT, akademisi dan media.

Beate Trankmann, Country Director UNDP Indonesia, mengatakan laporan yang telah dihasilkan ini mengkorfimasikan bahwa LGBT seringkali tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam menikmati pembangunan di Negaranya sendiri. Karena masih adanya perlakuan diskriminasi.

Dalam kesempatan yang sama Dede Oetomo, akademisi dan aktifis yang memperjuangkan kesetaraan bagi kelompok LGBT mengatakan bahwa laporan ini merupakan hasil dari dialog forum LGBTIQ se Indonesia tahun 2013 di Bali. Pada pertemuan tahun lalu itu, ada 71 peserta dari berbagai organisasi hadir untuk membahas permasalah-permasalah yang dialami oleh LGBTIQ di Indonesia, hingga kemudian jadilah laporan ini.

melalui pres rilisnya  UNDP Indonesia menuliskan beberapa temuan diantaranya :

Perundangan-undangan. Perundangan-undangan nasional umumnya tidak mengenali atau mendukung hak-hak kaum LGBT, meskipun homoseksualitas tidak dikriminaslisasi. Tidak adanya undang-undang anti-diskriminasi yang spesifik yang berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender (SOGI). Karena perundang-undangan Indonesia hanya mengakui jenis kelamin laki-laki dan perempuan, kaum transgender yang tidak memilih untuk menjalani operasi pergantian kelamin dapat menemui masalah dengan dokumen identitas dan hal-hal terkait. Homoseksualitas dikriminalisasi dalam peraturan daerah di mana hal itu digambarkan sebagai perilaku tidak bermoral, meskipun empat dari lima peraturan yang relevan tidak menyatakan hukuman secera eksplisit.

Diskriminasi. Diskriminasi terhadap kaum LGBT ditempat kerja tidak mendapatkan perhatian yang signifikan. Dan tidak ada undang-undang anti-diskriminasi maupun kebijakan atau pernyataan yang jelas yang melindungi hak-hak pekerja LGBT. Sebagian besar diskriminasi diarahkan pada perempuan transgender, yang menghadapai tantangan pekerjaan yang stabil, diskriminasi perumahan dan kartu identitas, baik untuk mendapatkan maupun untuk tidak menyatakan pilihan jenis kelamin.

Sikap sosial dan Budaya: Terdapat kesenjangan antara mereka yang progresif dan menerima kaum LGBT dan sebagian besar masyarakat yang tidak tahu tentang hal-hal yang berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender. Kaum transgender memiliki visiblitas yang tinggi. Kebanyakan orang tidak tahu tentang LGBT secara terbuka. Masyarakat menunjukan toleransi, bukan penerimaan, terhadap orang-orang dengan orientasi seksual dan identitas gender yang beragam. Meskipun demikan, hal ini tidak terjadi dalam satuan-satuan keluarga.

Keluarga: Penerimaan oleh keluarga dibatasi oleh tekanan tradisi dan budaya yang kuat untuk memasuki pernikahan heteroseksual dan membentuk keluarga, serta interprestasi konservatif dari teks-teks agama.

Kesehatan: Informasi dan sumberdaya kesehatan untuk kaum LGBT sebagian besar berkaitan dengan HIV dan infeksi menular seksual. Layanan seksual dan reproduksi ditujukan kaum heteroseksual. Terdapat kebutuhan untuk konseling dan perhatian terhadap permasalah-permasalahan psikoseksual dan kesehatan seksual bagi semua kaum LGBT, informasi dan dukungan bagi kaum transgender dalam kaitanya dengan terapi hormon, dan untuk memperluas dan membangun pelatihan bagi petugas kesehatan sensitivitas mereka terhadap permasalahan-permasalahan kaum LGBT.

Pendidikan dan Kaum Muda: Kurangnya pendidikan tentang seks dan seksualitas di sekolah-sekolah, dan hal-hal khusus yang berhubungan dengan seksualitas LGBT, dikombinasikan dengan kurangya informasi dan bimbingan dari orang tua, berbahaya bagi rasa percaya diri kaum LGBT muda. Pelecehan (Bullying) siswa LGBT juga menjadi perhatian.

Kapasitas Organisasi Akar Rumput: terdapat cukup banyak organisasi LGBT di Indonesia: dua jaringan nasional dan 119 organisasi di 28 dari 34 propinsi, dengan susunan, ukuran dan usia yang beragam. Mereka aktif dalam hal-hal kesehatan, publikasi dan penyelengaraan kegiatan-kegiatan sosial dan pendidikan. Organisasi-organisasi yang diservei berpendapat bahwa akses mereka terhadap sumber-sumber pendanaan pada umumnya lemah, dengan berbagai tantangan dalam manajemen sumber daya manusia dan organisasi. Mereka menghadapi tantangan dari segi pengetahuan untuk mendaftarkan organisasi secara hukum, menyelengarakan kegiatan dengan menghadapi oposisi keras, dan kurangnya dukungan dan perlindungan pemerintah.

Media: Kualitas media tentang isu-isu LGBT di Indonesia bervariasi, mulai dari mendukungg sampai bermusuhan. Teknologi komunikasi informasi digunakan kaum dan organisasi LGBT untuk menyebarkan informasi, dan mengembangkan dan mempublikasikan materi-materi budaya.

Yuli Rustinawati, sekjen Arus Pelangi. Mengatakan bahwa UNDP sebagai sebuah lembaga Internasional telah memberikan ruang bagi kelompok LGBTIQ untuk bersuara akan hak-haknya, dan ia berharap pemerintah Indonesia juga melakukan hal yang sama terhadap kelompok LGBT, karena walau bagaimanapun LGBTIQ adalah warga negara yang wajib mendapatkan hak yang sama seperti warga negara yang lainya. (YatnaPelangi).