Suarakita.org- Di Papua isu transgender atau biasa disebut waria belum menjadi isu yang utama. Namun dalm rangka IDAHOT 2014 teman-teman komunitas film di Wamena melakukan pemutaran film “Tales of Waria” yang dilaksanakan di Rumah Bina Kompleks Misi Distrik Wamena Kota yang juga merupakan kantor Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP).
Pemutaran dilaksanakan Jumat 09 Mei 2014 pukul 18:00 WP. Pemutaran dilakukan secara terbatas. Ada 18 orang orang yang hadir dalam pemutaran ini. Mengingat sebagian baru bergabung dalam komunitas film dan sedang memulai belajar membuat film dokumenter, pemutaran “Tales of Waria” diawali dengan diskusi tentang pentingnya film untuk mengubah cara berpikir penonton tentang satu isu. “Minat baca tong pu masyaraat ini masih rendah sekali. Jadi film ini bisa jadi cara untuk kita pengaruhi dorang. Tong lihat kalo ke kampung dan putar film, itu masyarakat pu banyak apa” ungkap Dorkas Kossay, salah seorang filmmaker yang juga menggagas terbentuknya komunitas film ini. Ia mengungkapkan betapa banyak persoalan di Papua yang menarik untuk diangkat menjadi film dokumenter tetapi kebanyakan diangkat oleh filmmaker dari luar Papua. Saatnya anak-anak Papua mengangkat sendiri persoalan di Papua lewat film.
Film “Tales of Waria” yang berdurasi kurang lebih 56 menit ini, ditonton dengan sangat antusias. penonton dengan seksama menyaksikan karakter-karater unik yang ada dalam film tersebut. Pemutaran sempat dua kali terhenti karena gangguan pada CD yang dikirim panitia dari Jakarta. Film yang menarik membuat semua tetap setia menunggu untuk diputar kembali. Pemutaran diakhiri komentar-komentar dari penonton yang kemudian membuat diskusi mejadi cukup hangat.
“Lihat waria dalam film tadi saya timbul rasa kasihan. Jika lihat waria itu seringkali kita mengejek. Menjadi waria itu serba salah. Mau punya pasangan ditolak, tidak punya juga tersiksa” ungkap Dorkas. Patricio yang merupakan aktivis perempuan di Wamena juga member komentar. Menurutnya menjadi waria tidak bisa dipersalahkan atau juga dipaksakan “Mungkin saja di sini ada banyak waria tapi tersembunyi. Masyarakat tidak boleh membenci atau mengejek. Itulah kehidupan mereka” ungkapnya.
Penonton yang lain yang bernama Jackson berkomentar soal laki-laki yang berpenampilan seperti waria hanya untuk mencari uang. “Ada yang banci buat-buat untuk memenuhi kebutuhan. Yang tadi ini dorang tidak buat-buat tapi dari lahir. Yang begini ini kasihan” ungkapnya. Jackson juga sempat mengungkapkan pertanyaan “Manusia diciptakan laki-laki dan perempuan. Yang jadi pertanyaan, apakah Tuhan tidak marah? Dia kawin lagi dengan laki-laki itu bagaimana?”
Di antara penonton ada juga yang belum bisa menerima keberadaan waria. “Saya paling benci banci. Menurut saya film begini jangan diputar bebas. Kalau nonton film begini, mereka nanti menjadi-jadi” ungkap tea yang disambut tawa teman-teman yang lain.
Dalam cerita ada 4 karakter waria yaitu waria yang punya pacar, waria yang sulit punya pacar, waria yang jadi istri kedua dan waria yang kemudian menikah dan memiliki anak. Menurutnya yang perlu ditonjolkan dalam film adalah waria yang kemudian menikah dan punya anak. Yang kemudian ditanggapi oleh penonton lain bernam Susan. Menurut Susan, Film ini justru penting untuk diputar di masyarakat agar masyarakat tidak memperlakukan waria dengan buruk. “Dalam film tadi tong lihat pribadinya. Secara lahiria mereka terbentuk begitu. Saya sangat mendukung mereka. Mereka juga punya hak hidup seperti kita” jelasnya.
Selain berkomentar tentang isu waria sendiri, penonton juga memberi komentar tentang filmnya sendiri. Ada yang berpendapat bahwa penting untuk memasukkan komentar masyarakat dan tokoh agama tentang keberadaan waria sebagai bagian dalam film. Ada juga yang menyatakan jika waria sering diidentikkan dengan pekerjaan yang berkaitan salon, akan menarik jika ada film yang bercerita tentang waria dengan keahlian yang lain karena waria pasti memiliki kemampunan yang lain seperti yang dimiliki oleh orang pada umumnya.
Film “Tales of Waria” berkisah tentang warna-warni kehidupan empat orang waria di Kota Makassar, diproduseri oleh Kathy Huang dan diputar untuk mengajak masyarakat menerima keberadaan waria dengan lebih positif.(Asrida Elisabeth, Wamena Papua)