Search
Close this search box.

LGBT Dalam Kacamata Sosiologi

Suarakita.org- Antusiasme para mahasiswa terhadap seminar yang diadakan oleh kerjasama Suara Kita dan BEM Sosiologi UNJ di hari Jumat 9 Mei 2014 tersebut sangat signifikan ditandai panjangnya antrian masuk dan membludaknya jumlah kursi peserta yang telah disediakan pada ruangan serbaguna Sosiologi. Bahkan tim penyelenggara sampai menutup pintu ruangan karena keterbatasan tempat. Meski acara yang semula dijadwalkan pukul 13.00 siang, namun baru dimulai sekitar 45 menit kemudian para peserta tidak beranjak untuk menyaksikan tema seminar yang jarang sekali diusung yaitu berjudul “LGBT dalam perspektif Sosiologi; Melihat Kembali Eksistensi LGBT dalam Ruang Sosial”. Ketiga pembicara yang dihadirkan hari itu adalah Muhammad Guntur Romli (aktivis dan penulis buku Islam Tanpa Diskriminasi), Robertus Robert (DosenSosiologi UNJ), dan Jane Katleya (Transjender yang sukses sebagai entrepreneur).

Acara yang dimoderatori salah satu mahasiswa Sosiologi UNJ bernama Aldino member tanggapan diawal bahwa dalam Sosiologi ada istilah non-ethis, di mana fenomena LGBT ada baiknya disikapi secara netral. “Kita di sini asyik-asyik aja, gak perlu dipusingkan!” begitu kiranya Aldino berucap, memancing tawa para peserta seminar. Sang moderator juga mengajak para peserta mengucapkan yel-yel berbunyi, “Hidup mahasiswa. Hidup rakyat Indonesia!” sebelum sebuah video yang berjudul “25 people, 2 questions” ditayangkan. Di dalam video tersebut ada beragam jawaban yang intinya sepakat tidak mendukung diskriminasi ketika pertanyaan pertama memertanyakan tentang bolehkah kita mendiskriminasikan orang lain? Dan ada banyak ekspresi dan kegamangan ketika pertanyaan kedua menyusul, yaitu tentang boleh tidaknya mendiskriminasikan seseorang yang memiliki orientasi atau identitas jender yang berbeda.

 

Sesi selanjutnya masing-masing narasumber diajak bercerita tentang pengalaman mereka dengan LGBT. Dimulai oleh Guntur Romli yang baru mengenal tema LGBT di tahun 2008 ketika pembahasan jender dan seksualitas oleh Jurnal Perempuan. Guntur Romli menjelaskan bagaimana ketidaktahuan tentang LGBT dapat menjadi sebuah ancaman dan seharusnya agama tidak dipahami sebagai kutukan tentang fenomena tersebut. Kemudian Jane Katleya member contoh konkrit tentang kehidupan sosialnya sebagai seorang transjender yang memutuskan mengenakan jilbab sebagai wujud pemahamannya dalam agama dan penyesuaiannya dalam lingkungan sosial. Robertus Robert, melengkapi penjelasan itu dari kacamata akademik tentang teori esensialisme dan anti-esensialisme dalam kebudayaan, di mana sosiologi konvensional sebagai bagian dari esensialisme masih memberlakukan telaah bahwa fenomena LGBT bagian dari masalah-masalah sosial, yaitu bagian dari perilaku menyimpang. Akan tetapi, anti-esensialisme memaknai bahwa identitas selalu berubah. Ada bahasa yang mengkonstruksi realita kita. Dan kita tidak bias mengkategorikan manusia secara kaku lagi. Robertus member contoh tentang pemaknaan kata perempuan dari kata empu, atau adanya bayi tabung yang tidak lagi terbatas pada rahim.

Penjelasan ketiga narasumber membuat banyak peserta bertanya lebih lanjut di sesi pertanyaan, bahkan sang moderator membatasi lima orang penanya ketika itu. Paling menarik seorang penanya, Femmi, mahasiswa Sosiologi UNJ, menanyakan tentang seks bagian dari kodrat yang ajeg, lalu di mana posisi transjender? Robertus menanggapi pertanyaan itu sebagai metafisika kehadiran, bahasa lain dari esensialisme. Beliau beranggapan ketika melihat fenomena sosial, dualitas itu harus disingkirkan, karena akan selalu ada rantai penandaan. Beliau mencontohkan bagaimana dulu di Eropa banyak orang dibunuh dan dipenjara seperti Galileo oleh petinggi Katolik karena teorinya bahwa bumi mengelilingi matahari, atau ada pemaknaan kata perempuan dan cinta yang tidak pernah cukup ditandai. Karena kata menunggangi makna-makna, dan kodrat tidak terbatas pada ruang dan waktu semata. Jane Katleya kemudian member poin penting pada peserta seminar di sesi pertanyaan itu bahwa setiap manusia kalau mau dihargai, maka sebaiknya menghargai orang lain.

 

Sesi pertama penanya memancing animo peserta lain untuk bertanya lebih banyak di sesi selanjutnya, moderator yang akhirnya member tiga orang penanya. Nicky, mahasiswa Psikologi UBM contohnya, menanyakan tentang eksistensi transjender dengan pengaruh lingkungan, genetik, atau bakat? Jane menanggapi pertanyaan itu berdasarkan pengalaman hidupnya bahwa ia terlahir seperti itu, terlepas konstruksi sosial diawal kelahirannya tidak sesuai dengan apa yang ia rasakan sebenarnya.

Setelah itu, seminar ditutup dengan diselingi iringan musik oleh salah satu kelompok band kampus UNJ. Acara yang semula sempat mendapat teguran oleh beberapa pihak yang beranggapan seminar tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai reliji, pada akhirnya berlangsung dengan baik. (Jane Maryam)