Ogah Nikah
Oleh: Antok Serean*
“Gimana rasanya setelah menikah?”
“Lega.”
“Kok kayak habis orgasme.”
“Ha-ha-ha…”
Suarakita.org- Sebetulnya tak ada lucu-lucunya. Aku biarkan dia puas tertawa bahagia. Barangkali dengan begitu beban hidupnya lebih ringan. Aku yakin, pernikahan tak membebaskannya. Justru memerangkap persoalan baru. Lihatlah selaput tipis di wajahnya. Tawanya bertabir duka. Bangganya terbungkus kecewa. Selain aku, sahabatnya, orang lain tak mungkin tahu.
“Malam pertama sukses?”
“Aku belum belah duren. Nggak nafsu.”
“Ha! Gilingan! Udah hampir dua minggu lho.”
“So what? Dia juga nggak minta kok.”
“Rai, please…”
Tuh, kan. Belum apa-apa satu masalah lahir. Aku ingat setahun lalu, pasca keputusannya menikah. Dia galau tingkat kambing tak jelas juntrungannya. Mewek-mewek memusingkan malam pertama. Dia, yang seumur hidup mengaku pure bottom, naik kelas jadi bottom aktif, lalu memuncak hiper bottom, harus menggauli perempuan. Ghost! Itu sesulit mengasah pedang Nagapuspa. Oh, andai Aria Kamandanu benar-benar hidup di zaman ini.
Aku sarankan tak usah maju perang kalau tak siap persenjataan. Tapi, dia keukeuh jalan terus. Nggak enak sama keluarga, katanya. Yo wis. Sebagai sahabatnya, aku berbaik hati mencarikan bokep hetero, memintanya menonton satu bulan penuh. Mengandaikan dia laki-lakinya. Plus tips minum jamu pembangkit gairah. Mungkin itu bisa membantu. Dua hari menjelang pernikahan, dia datang. Aku berharap ada perubahan. Nyatanya, dia malah tergila-gila Rocco Siffredi. Busyet!
“Kabar istrimu gimana?”
“Baik-baik saja. Sekarang masih tinggal bareng mertua. Aku juga belum ada rencana pindah rumah. Tidur sekamar saja risih, gimana kalau serumah terus hehe…”
“Ya, itu resiko pilihan kamu, Rai.”
“Lihat nanti saja deh. Yang penting sekarang udah bebas kewajiban, nggak diuber-uber buat nikah lagi. Untuk juga ya aku dijodohkan dengan perempuan polos dan lugu kayak gitu hehe…”
Aku tak suka hal ini. Dia menempatkan perempuan sebagai pihak yang dikorbankan. Dulu, ketika curhat hendak dijodohkan, dia tegas menampiknya. Namun setelah berkenalan, dia berubah pikiran. Perempuan itu, entah bagaimana tumbuh-kembangnya, jelmaan perempuan masa lampau. Tujuan hidupnya mengabdi pada suami sampai akhir hayat. Oh. Dia tak peduli carut-marut hidup selama nasi masih terhidang tiga kali sehari dan adzan masih berkumandang lima kali sehari. Hidupnya diserahkan pada suaminya, yang nantinya berbuah pahala di akhirat. Oh, indahnya.
Aku bilang itu tidak adil. Aku menyarankan untuk terbuka sebagai gay pada keluarganya, pada calon istrinya. Tapi, dia tegas menolak. Terlalu beresiko, katanya. Dia tak mau asetnya rusak. Lihatlah, bertahun-tahun dia membangun citra lelaki maskulin, lengkap dengan tubuh tegap-macho-mengkal-berbidang olahan fitnes. Karier mapan sebagai manager keuangan di salah satu bank. Juga investasi rumah dan mobil. Ditambah citra diri berbudi luhur, bertanggungjawab, dan sayang keluarga. Buat apa menghancurkannya?
Maka, ketika Bapak-Ibu-Kakak-Adik dan seluruh umat disekelilingnya menguber dengan pertanyaan kapan nikah, dia terdesak. Tak ada alasan masuk akal menampiknya di usia tiga puluh lima. Aku lihat, dia terlalu hidup di zona nyaman. Tak mau ambil resiko. Dia menukar kebahagiaanya sendiri pada keluarganya. Pun keluarganya juga tak tahu apa yang bikin dia bahagia. Nah, ketertutupan seperti ini buat aku bak bom waktu. Cepat-lambat bakal meledak. Tapi, dia memilih main tak-tik. Hidup perlu strategi, katanya. Maka, perempuan pilihan orangtuanya adalah kompensasinya. Yo wis.
“Kamu ingat Dino?”
“Iya. Kenapa?”
“Kayaknya aku bakal mengikuti jejaknya. Tiga tahun menikah, lalu cerai.”
“Kok? Ngapain kamu menghabiskan duit ratusan juta buat pesta kalau ujung-ujungnya cerai juga. Rai, pikirin istrimu dong. Jangan ego sendiri!”
“Susah. Aku bakal mati bosan kalau hidup sama perempuan rumahan kayak gitu.”
“Lho, kan kamu sendiri yang memilih?”
“Ah, buat kedok doang.”
Aku tak habis pikir logika otaknya. Puluhan tahun menggila di dunia gay, lalu masuk kandang pernikahan, untuk keluar lebih gila lagi. Semata-mata bertujuan menunjukkan pada orang lain kalau dia laki-laki hetero. Betapa capeknya. Dulu aku sarankan untuk cari pasangan gay saja, tinggal bareng. Beres. Dia bilang bosenan. Ngapain piara kambing kalau sate betebaran di mana-mana? Yo wis.
Aku ingat resepsi pernikahannya. Semua umat memujanya dengan doa semoga sakinah-mawadah-warohmah. Berkah nan indah. Hanya aku yang meringis di pojokan. Menyaksikan kegetiran meruap dalam jabat tangan, makan malam, alunan tembang. Di sana, Raihan, duduk nestapa bak menunggu tukang pancung. Ironis. Dia sudah wanti-wanti agar aku stand by dua puluh empat jam selama pesta pernikahannya. Jaga-jaga kalau mendadak pingsan. Oke. Aku siap. Kurang apa aku sebagai sahabat, Raihan.
Jujur, aku tak ambil pusing kalau gay menikah. Asalkan dilakukan dengan jujur dan tak menyakiti pihak manapun. Toh, setiap orang punya kebutuhan berbeda. Aku kasihan pada perempuan yang menjadi istrinya. Mimpinya bakal gugur sebelum semi. Aku sedih pada keluarganya yang berhasil dikibuli. Aku meratap pada tamu undangan yang doanya mubazir. Ah, tapi menyalahkan Raihan juga tak adil. Mungkin dia betul. Hanya main strategi untuk bertahan hidup. Masuk kandang pernikahan lalu menghancurkannya. Barangkali itu caranya menjadi pemenang dalam konstruksi sosial masyarakat yang mengekang. Ya, barangkali.
Raihan bukan aku. Aku bukan Raihan.
Aku sudah berbusa-busa mencekokinya pemikiran untuk bangga pada diri sendiri, pada orientasi seksualnya. I’m gay. I’m okay. Yang penting urusan di dalam kelar. Urusan di luar ya dihadapi bersama. Memang, dia beres urusan di dalam. Tapi tak cukup tangguh menghadapi dunia luar. Dia terlalu takut. Takut dipecat, takut diusir keluarga, takut dihina orang lain, takut dijauhi teman. Ah, buat aku itu ketakutan semu. Kan sudah banyak gay yang diterima keluarga dan sukses di kariernya. Tapi, lagi-lagi, aku tak bisa memaksanya. Setiap gay punya ketahanan berbeda. Mungkin pilihan menikah membuat hidupnya lebih baik. Ya, mungkin. Entah, nantinya.
“Masih jalan sama Dino?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Posesif. Aku males diatur-atur.”
“Hehe…kamu jago teori doang. Melarang aku menikah, tapi kamu sendiri gagal dapat homo yang nggenah. Sampai kapan?”
“Jodoh kan di tangan Tuhan. Yang bisa aku lakukan ya ikhtiar.”
“Ha-ha-ha…Pret!”
Sebetulnya, aku menolak pernikahan bukan hanya lantaran gay. Tapi ada persoalan di dalamnya. Di negeri ini, pernikahan masih melanggengkan dominasi laki-laki pada perempuan. Pun seandainya dilegalkan pernikahan sejenis, aku belum tentu menikah, kalau undang-undangnya tak jauh beda. Harus kritis melihatnya. Aku tak mengungkapkan alasan ideologis itu ke Raihan. Dia tak akan peduli. Hidupnya penuh hitungan untung-rugi. Perhatikan sikapnya pada pernikahan dan solusi menghadapinya.
“Seandainya kamu di posisi aku, apa yang kamu lakukan?”
“Hm, berhubung terlanjur menikah, yang utama bereskan urusan dengan istri.”
“Maksud kamu?”
“Bilang kamu homo, nggak doyan tubuh perempuan. Itu alasan masuk akal kenapa kamu tak menyetubuhinya.”
“Gilingan! Gimana kalau dia bilang ke orang-orang rumah.”
“Ya, itu sudah resiko.”
“Nggak. Aku nggak akan senekad itu.”
“Yo wis.”
Aku menatapnya mengaduh. Meratap masa depan. Memaksakan hidup tiga tahun dengan perempuan yang tak diinginkannya. Dia bilang lega, sesungguhnya nelangsa. Hidup kucing-kucingan selamanya tak akan menemukan jalan terang. Barangkali nantinya dia memilih jalan tengah. Menjadi suami baik hati di rumah, menjadi homo liar di luar. Memang, tak ada yang salah dengan hal itu. Aku hanya sebal. Sebagai sahabatnya, aku tak melihat sayapnya mengepak terbang sebagai pribadi utuh. Selalu runtuh.
“Aku cabut dulu ya.”
“Ke mana?”
Dia menyodorkan ponselnya. Aku melihat foto laki-laki telanjang.
“Mumpung jauh dari istri hehe…”
Aku mengembalikan ponselnya. Dia beranjak dari kursi, say goodbye, bergegas pergi. Langkahnya tegap menuju parkiran. Aku tetap duduk terdiam. Menyaksikan kenyataan berulang. Pernikahan tak membuat gay menjadi hetero. Begitulah.
Aku juga harus pergi. Mencari laki-laki baru lagi.
***
Madiun, 25.04.2014, 10.40 WIB
*Antok Serean, Penulis dan cerpenis