Search
Close this search box.

[CERPEN] : Hingga Kelopak Tulip Layu

Hingga Kelopak Tulip Layu

Oleh: Banyu Bening*

Suarakita.org- Dimanjakan oleh dua hektar lahan yang mekar ini rasanya mataku menjadi warna-warni. Taman Keukenhof, antara Amsterdam dan Den Hag memang selalu memanjakan pengunjungnya dengan dua puluh tujuh juta bunga tulip dari lima ratus varietas di tiap musim seminya.

“Kau pernah lihat bunga tulip?”
“Tentu, tentu saja ngawur. Mana mungkin aku melihatnya, tapi suatu saat mungki, dalam mimpi”
“Tidak, suatu saat aku akan membawamu melihat bunga tulip mekar seluas pandangmu”
“Benarkah? Terimakasih” jawabku singkat, ketus.

Lamunanku gugur disenggol pengunjung lain yang lewat di sebelahku. Aku sudah di sini Martin, dan memang kau yang membawaku, bayanganmu. Semusim kulalui di sini, hampir dua musim, tapi yang ada hanya bayang, tanpa aroma. Aroma tubuhmu yang selalu kusuka, kau bilang itu adalah salah satu pesonamu. Jika dulu aku selalu membantah, maka kini terpaksa kuakui.

“Lalu apakah pesonamu yang ini selalu berhasil membuatmu mendapatkan semua perempuan yang kau inginkan?”
“Lea, kapan kau berhenti bersikap sinis seperti itu padaku?”
“Oh iya? Apa perempuan-perempuanmu tak ada yang memperlakukanmu sesinis aku?” sejurus kutatap matanya.

Bukan suara yang kudapatkan, melainkan napasnya yang menyerang memberi jawab. Meski suaraku selalu berhasil menolak pesonanya, namun kecupannya tak pernah mampu memalingkan bibirku. Dan ini juga pesonanya, lembut, panas dan basah. Bergetar aku dibuatnya, rasanya sentuhan yang menyusul kemudian membangunkan semua syaraf yang ada di tubuhku, simpulnya menguat, dan aku menyerah.

Betapa bangganya kau saat menceritakan negeri kincir angin ini. Diantara Amsterdam yang merupakan ibu kota Belanda dan Den Haag pusat administrasi juga kediaman Ratu Belanda. Kota Wageningen dengan luas sekitar tiga puluh dua kilo meter persegi ini merupakan kota kecil dengan penduduk sekitar tiga puluh lima ribu jiwa. Kota ini terletak di pinggir sungai Rhine yaitu sungai yang mengalir melalui tujuh negara Eropa. Di mana ratusan angsa putih mengapung di atasnya seperti kapas.

“Kota di mana kita akan hidup tenang”
“Kita? Martin, apa kau yakin akan mampu hidup dengan satu orang saja?” Kau hanya menarik napas panjang, seolah tak mampu lagi meyakinkanku. “Lalu, bagaimana nasib perempuan-perempuan bodoh itu?”

“Lea, ayolah!” merubah arah duduk dan menatap wajahku. “Apa belum kau lihat kesungguhan di mataku? Tak bisakah kau lihat?”
Martin, selama ini aku hanya selalu membohongi diriku sendiri. Aku melihat kesungguhan itu. Mungkin apa yang kau alami dan apa yang aku lalui sebelum ini, sungguh berbanding terbalik. Dulu, aku mengenalmu sebagai seorang laki-laki petualang. Sama persis dengan penggambaran manusia kebanyakan, seperti kumbang, yah kau adalah kumbang yang selalu berpindah dari satu kuntum ke kuntum lain hanya untuk menghisap nektar. Lalu kini terjebak pada bunga jantan dengan rasa nektar yang lain, mungkin. Sedang aku, yang memaksakan menjadi bunga selalu hanya jadi tempat persinggahan dan berakhir dengan penghinaan. Saat gamelan Sekaten mempertemukan kita, lalu kau benar-benar mencintaiku, justru aku semakin menajamkan duri-duri di sekujur tubuhku. Ah martin, kini duriku sudah tumpul dan gugur satu-satu, dimanakah dirimu?
***
Hujan rupanya tak mampu dipindahkan oleh sang pawang meski tak deras, atau malah disengaja agar menambah kemagisan dalam sakralnya upacara tahunan Sekaten di Keraton Yogyakarta. Aku beruntung bukan, datang ke mari bertepatan dengan pembukaan upacara yang biasanya diadakan selama sepekan ke depan ini. Di bawah payung pedagang aku duduk memesan kopi, mulai ia masih panas hingga anyes. Sementara bunyi gong tiap jamnya sudah sebelas kali, menandakan gamelan segera ditabuh dan diarak lalu dimandikan. Entah kapan, karena katanya acara masih seminggu lagi dan aku sepertinya hanya tiga hari di sini. Alih-alih mengikuti rombongan arak-arakan, aku memilih melihatnya dari jauh saja. Alat-alat musik gamelan kuno itu memang bertuah mungkin, satu kayu penyanngga gongnya saja dibawa oleh empat orang. Dan aku terpesona melihat pemandangan tersebut sembari mendengar alunannya.

Jarum jam di tanganku menunjukkan angka 12, dan aku sudah mulai kedinginan karena kehujanan meski rintik. Tapi inilah Yogjakarta, kota eksotis yang selalu mampu membuatmu menahan kantuk. Aku memilih berjalan dari alun-alun selatan menuju Malioboro, hotelku ada di salah satu gang sepanjang Malioboro. Sepertinya semua manusia nokturnal di sini, di trotoar simpang empat, di komplek titik nol kilometer, terlihat anak-anak muda bermain sepatu roda dan bercanda. Beberapa teman senasibku mengamen mengais rejeki, dan aku sugguh bersyukur bisa punya kehidupan lebih baik dari mereka. Di kursi-kursi bawah pohon sepanjang jalan berpasang-pasang manusia memadu kasih dalam kemanjaan. Sedang aku? sendiri tanpa tambatan hati.

“Permisi mbk, mau tanya,” tiba-tiba ada suara di belakangku.
“Iya, apa mas?”
“Emmm, hotel Kumbokarno di mana ya? Saya lupa jalan pulang”
“Oh, Kumbokarno. Saya juga menginap di sana”
“Oh gitu, sebelumnya saya minta maaf. Tapi boleh gak saya ikut bareng mbaknya?
Sejenak kupandang dalam pada pria yang baru kukenal ini, “Mmm baiklah.”
“Terimakasih mbak, maaf dengan mbak siapa? Oh tunggu, mbak ini yang duduk ngopi di samping pendopo keraton tadi kan?” katanya antusias.
“Lea, panggil saja Lea,” tanpa menjawab pertanyaan antusiasnya.
“Saya Dewanto, gak usag pakai mas, tadi kita duduk bersebelahan di warung tenda itu. Mungkin mbak Lea gak lihat saya, memang cukup gelap kan” katanya lagi sambil tersenyum, sedang aku hanya diam. Mungkin ia dapat membaca keenggananku melayaninya ngobrol. Alhasil hingga lobi hotel, kami hanya diam. Setelah ia mengucapkan terimakasih kamipun berpisah karena kamarku di atas dan kamarnya di bawah.

Dalam remang kamar yang jendelanya menghadap depan jalan, aku memandang ke luar. Langit Yogya mulai terang, dan bintang mulai bermunculan. Dewanto, nama dan raut wajahnya sepertinya kukenal. Kenangan lima tahun silam memaksa untuk kembali diingat. Saat seorang teman kos memaki-maki sebuah foto seseorang. Karena ternyata orang di foto itu hanyalah penipu semata, mengumbar janji sana-sini dan mematahkan benyak hati. Kemudian pesimisku menguat lagi, banyak perempuan sejati patah hati karena cinta lelaki. Lalu aku??

Keesokan harinya kami bertemu lagi saat sarapan lalu berbincang ringan. Aku mulai merasakan pesonanya, dalam hatiku mengakui bahwa pantas saja ia digandrungi banyak perempuan, dia memang menawan. Berniat tak terhanyut pesona yang tertahan di kerongkongan, aku segera menyapunya dengan menghabiskan kopiku dan pamit pergi, menyelesaikan urusanku agar cepat pulang ke Jakarta.

***
Martin Dewanto, nama yang gagah, segagah orangnya dan dia tak pernah mau kupanggil Martin, dia lebih suka dipanggil Dewanto, sedang aku bukan Lea jika tak keras kepala. Sejak pertemuan kami di Yogyakarta, kemudian secara tak sengaja kami bertemu lagi di Jakarta. Lalu sering membuat janji untuk bertemu, sekedar nonton atau duduk di pinggir jalan dengan sebotol soft drink. Rasa-rasanya ia mulai tertarik padaku, seperti aku juga yang tak mampu membohongi diri sendiri namun sangat piawai membohonginya.

Aku begitu takut jatuh cinta pada lelaki, takut kecewa dan dimanfaatkan. Kesejatian perempuan bukanlah milikku. Banyak orang-orang sepertiku yang terperangkap dalam hubungan yang hanya dimanfaatkan sebagai sandaran hidup, meski menyadari itu namun pura-pura tak tahu. Orang-orang sepertiku sadar betul dan selalu siap jika kekasihnya pergi sewaktu-waktu untuk menikah, atau hanya puas dijadikan simpanan. Dan demi Tuhan, aku tak mau seperti itu. Begitu juga terhadap Martin yang tak tahu tentang jati diriku sebenarnya, mungkin aku cukup mengenalnya karena memang pernah mendengar tentangnya sebelum ini, tapi dia tidaklah tahu akan diriku sebenarnya. Hingga suatu saat ia pernah benar-benar marah terhadapku saat dia mengungkapkan isi hatinya untuk kesekian kalinya dan aku hanya diam saja, tak pernah menjawab.

“Lea, ini bukan jaman Kartini yang apabila perempuan diam berarti iya”
“Aku tak pernah bilang iya”, kupotong bicaranya dengan nada sedikit tinggi. Dan dalam hatiku berkata: dan aku bukan perempuan.
“Maka dari itu jawablah!” ia mencengkram bahuku, saat aku meringis reflek ia melepasnya dan minta maaf. Lalu perlahan meraba selangkangku, “Apa karena ini Lea?”

Bukan main kagetnya aku, sangat tidak siap menerima pertanyaan itu. Seketika wajahku panas, mungkin juga memerah. Lalu menepis tangannya dan hendak berbalik untuk meninggalkannya. Namun Martin lebih dulu menangkap tanganku, menariknya lalu memelukku dari belakang. Nafasnya terasa hangat di telingaku, sensasinya luar biasa dan sanggup melenakanku sekian detik.

“Lea, untuk kesekian kalinya aku mengatakan ini, aku mencintaimu dan menerimamu apa adanya. Maaf, aku mencari tahu semua tentang dirimu. Dan sudah sejak dulu aku menunggu jawaban dan pengakuanmu, tapi kau sungguh punya persediaan waktu yang panjang, sedang aku harus berangkat kembali ke Belanda besok. Terima aku dan ikutlah aku, seperti yang pernah aku janjikan padamu bahwa kita akan bahagia disana tanpa tekanan dari siapapun” suaranya yang lebih terdengar seperti bisikan serasa menggelitik di sepanjang tengkukku. Sedang aku hanya diam, terpejam serta menikmati dekapan dan aroma tubuhnya mungkin untuk yang terakhir karena cukup yakin dengan jawabanku. Perlahan melepaskan diri dan berbalik, “ Maaf Martin…..” lalu mengecup bibirnya kemudian segera berlalu.
***
Masih cukup basah, baru sepekan. Kurebahkan seikat bunga tulip di atas gundukan tanah basah bernisan Martin Dewanto.

“Selama lebih dari dua tahun ini, dalam pertarungannya melawan kanker usus, sejak kembali dari Indonesia, ia selalu menceritakan tentang sosok perempuan istimewa yang berhasil menawannya dari petualangan cinta”, suara lelaki, teman Martin menggema di udara pemakaman. Dan aku sama sekali tak bergeming, bersimpuh, hilang kata, kelu.

“Ia berkata bahwa ia yakin jika suatu hari perempuan istimewa itu akan datang menemuinya, menyaksikan tulip mengembang seluas pandang dan…………..”
“Dapatkah aku sendiri di sini?” potongku.
“Baiklah”

Lelaki itupun berlalu, dan aku sudah tak mampu membendung airmataku lagi. Martin, hanya satu janjimu yang kau penuhi. Yaitu akan membawaku melihat betapa indahnya tulip mekar dan betapa tenangnya angsa putih mengapung laksana kapas. Sedang janjimu untuk hidup bahagia denganku kau ingkari. Mengapa kau selalu saja tak punya banyak waktu untuk menunggu? Selalu saja terburu-buru?

Maafkan aku, membuat benda yang mengganjal di selangkangku ini turut mengganjal hati dan keyakinanku akan sebuah ketulusan dan kesucian rasamu. Ketakutan yang menahun tentang ketidakterimaan manusia kebanyakan berhasil melingkupi hakku untuk bahagia, aku sadar bahwa perasan itu justru telah bukan saja menyiksaku, tapi juga kekasihku, kau Martin. Maafkan aku, aku mencintaimu. Damailah dalam keabadian.

Kuambil sekuntum dari seikat tulip di pembaringan terakhirnya, berlalu menelan semesta luka, menggenggam hingga kelopaknya layu satu-satu.

 

TAMAT

*Banyu Bening: menulis cerpen dan puisi-puisi satire, yang mengarah ke ranah-ranah sosial dan kemanusiaan.

Bagikan