Search
Close this search box.

‘Apa lagi yang harus dibenci?’

Suarakita.org- Keragaman orientasi seksual adalah fakta sosial yang sifatnya sudah terberi dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, manusia perlu mengasah toleransi terhadap berbagai orientasi seksual dengan membangun wawasan tentang keragaman seksualitas agar dapat menggerus homofobia (kebencian terhadap kaum homoseksual). Demikian adalah kesimpulan dari sebuah diskusi yang baru-baru ini diadakan di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta (STTJ) dalam rangka merayakan International Day Against Homophobia and Transphobia (IDAHOT).

Acara diskusi tersebut diadakan pada tanggal 17 Mei 2014 dari pukul 10:00 hingga 12:00 oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STTJ yang dipimpin oleh Pdt. Stephen Suleeman, bekerjasama dengan dua jurnalis yaitu Galis Babay (majalah wanita Kartini) dan Sebastian ‘Ogi’ Partogi (harian The Jakarta Post) bertempat di kapel kampus STTJ.

Dihadiri oleh 40 orang peserta, acara diskusi difasilitasi oleh dua orang pembicara yaitu aktivis AIDS Baby Jim Aditya, M.Psi yang membahas mengenai keragaman seksualitas, dan dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Dr. Nani Nurrachman yang membahas mengenai asal usul, dampak dan cara menggerus homofobia (kebencian terhadap kaum homoseksual). Diskusi dimoderatori oleh Ogi.

Baby Jim membuka diskusi dengan memberikan paparan mengenai keragaman orientasi seksual. Beliau mengemukakan hasil pengamatan dari seksolog Amerika Serikat, Dr. Alfred Kinsey tentang spektrum orientasi seksual manusia yang selalu merentang dari kelompok orang yang mengalami ketertarikan pada lawan jenis saja(heteroseksual), ketertarikan pada kedua jenis kelamin (biseksual) hingga ketertarikan pada sesama jenis saja(homoseksual). Di luar spektrum tersebut juga terdapat manusia yang tidak tertarik sama sekali baik pada lawan jenis maupun terhadap sesama jenis (aseksual).

Menurut Baby Jim, pendefinisian normal atau tidak normalnya sebuah orientasi seksual lebih mengacu pada frekuensi kemunculan orientasi tersebut.

“Contohnya, karena jumlah kelompok heteroseksual di masyarakat kita memang lebih banyak, makanya mereka disebut normal. Orang homoseksual disebut tidak normal karena jumlah mereka dalam masyarakat lebih sedikit. Sama seperti sarapan dengan makan nasi itu normal untuk orang Indonesia, karena di sini banyak yang melakukan itu. Kalau ada orang Indonesia yang sarapan dengan makan roti akan dianggap tidak normal karena memang tidak lazim,” papar Baby Jim.

Kurang lebih 40 peserta memadati kapel kampus STTJ dan mengikuti acara diskusi dengan antusias. Foto oleh: Vicharius Dian Jiwa, wartawan majalah Tambang)
Kurang lebih 40 peserta memadati kapel kampus STTJ dan mengikuti acara diskusi dengan antusias. Foto oleh: Vicharius Dian Jiwa, wartawan majalah Tambang.

Jadi, tidak normal bukan berarti sakit, menyimpang atau perlu disembuhkan. Namun sayangnya, papar Baby, banyak orang Indonesia yang memiliki pemahaman yang salah tersebut.

“Orang Indonesia berpikir bahwa karena populasi homoseksual itu sedikit, dengan kata lain tidak normal, maka homoseksualitas itu adalah penyakit. Padahal Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) telah mengeluarkan homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa pada tahun 1973, diikuti oleh World Health Organization pada tahun 1990 dan Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa Indonesia pada tahun 1993,” lanjutnya.

Menurut Baby, persepsi bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang menyimpang dan sakit inilah yang memunculkan rasa benci terhadap homoseksual.

Dr. Nani Nurrachman melanjutkan diskusi dengan mengatakan bahwa rasa benci merupakan dinamika psikologis yang sudah tertanam dalam mekanisme biologis manusia. Dalam hal ini, rasa benci diatur oleh amygdala, bagian otak yang mengatur emosi takut, marah dan benci.

“Sebetulnya rasa takut dan marah memiliki fungsi untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Dua emosi tersebut juga bersifat rasional, karena jelas apa penyebabnya. Misalnya rasa takut diperlukan agar kita bisa lari dan menyelamatkan diri saat melihat binatang buas,” papar Nani.

Namun, lanjut beliau, rasa benci adalah suatu emosi yang sifatnya irasional dan dilestarikan melalui proses rasionalisasi.

“Rasionalisasi untuk rasa benci dibangun melalui proses persepsi sosial dasar manusia, yaitu pengelompokan, pemberian label yang kemudian memunculkan dikotomi ‘kita versus mereka’, ‘mayoritas versus minoritas’ dan ‘normal versus tidak normal’. Pembedaan sosial inilah yang dijadikan justifikasi untuk membenci kelompok-kelompok tertentu dan mengekspresikan kebencian tersebut dalam bentuk tindak kejahatan atau kekerasan,” imbuhnya.

Namun, menurut beliau, manusia memiliki nalar yang bisa membantu mereka untuk mengendalikan rasa benci yang irasional.

“Kebencian bisa dikurangi dengan cara mempelajari soal keberagaman seksualitas itu sendiri. Hati saya sendiri, setelah mendengar paparan dari Baby [mengenai keragaman orientasi seksual], pun menjadi luruh dan saya berpikir, apa lagi yang harus dibenci? Toh setiap manusia, apapun orientasi seksualnya, adalah manusia utuh yang juga memiliki perasaan dan aspirasi,” ujarnya.

Nani pun menekankan pentingnya untuk menghormati semua manusia terlepas dari orientasi seksual mereka dengan mengatakan bahwa setelah manusia meninggal dunia, pada hakikatnya semua akan berpulang kepada sang pencipta dalam bentuk jiwa atau roh. “Apakah roh memiliki orientasi seksual? Saya rasa tidak!”

Baby Jim menutup diskusi dengan menganalogikan ketakutan atau kebencian orang terhadap kaum homoseksual dengan ketakutan yang dialami manusia dalam kegelapan.

“Kita akan takut pada hal yang tidak kita pahami. Misalnya saat di rumah tiba-tiba mati lampu dan gelap, kita pasti akan takut, apa mungkin ada maling atau binatang masuk ke dalam rumah tanpa kita sadari karena kondisi sedang gelap gulita. Atau bagi yang percaya dunia supranatural akan takut bahwa siluet yang ia lihat adalah hantu gentayangan. Begitu kita menyalakan senter atau lilin, biasanya rasa takut tersebut akan pudar.”

“Hal yang sama terjadi pada orang-orang yang tidak mengerti tentang keragaman seksual; mereka takut pada kelompok homoseksual karena tidak mengerti apa dan mengapa homoseksual itu. Seperti kasus terakhir dimana orang mengait-ngaitkan homoseksual dengan peristiwa pedofilia yang marak terjadi di Jakarta. Mereka tidak paham bahwa tidak semua homoseksual melakukan sodomi, sama seperti halnya ada juga orang hetero yang melakukan sodomi. Mereka belum bisa membedakan antara orientasi seksual dengan perilaku seksual.”

“Oleh karena itu marilah kita memberikan terang cahaya pengetahuan dengan mengadakan diskusi-diskusi seperti ini, agar orang paham apa itu homoseksualitas dan keragaman seksual, sehingga ketakutan dan kebencian mereka terhadap kelompok tersebut pun pudar,” tutup Baby.(liputan, Sebastian Partogi)