Search
Close this search box.

CERPEN] Waktu Sejenak Henti di Stasiun

 

Waktu Sejenak Henti di Stasiun

Oleh: Banyu Bening*

 

Suarakita.org- Stasiun tak pernah lengang, hiruk pikuk manusia seperti mengejar waktu yang berlarian jual mahal. Namun tidak bagiku dan kekasihku, semalaman waktu serasa berhenti di peron. Memutar kembali kisah-kisah manis juga lara, mulai perjumpaan yang indah hingga tiba nestapa.

Dua tahun lalu saat ibu kos yang masih muda terpesona pada kemandirian sekaligus kelembutanku. Kebaikan dan perhatian-perhatian kecil mulai mengalir padaku saat aku menolongnya memasangkan selang gas di dapurnya. Mulai dari memberikan makanan-makanan ringan yang dimasaknya, mencucikan satu dua pakaian kerja, hingga memijit ringan bahuku kala aku merasa kelelahan.

Rupanya benih cinta tersemai dalam hati dua anak manusia, akupun mulai berani menggenggam tangannya, memeluk, hingga mengecup lembut bibirnya. Namun aku sadar, sebelum ini makin dalam, aku harus pastikan bahwa ini memang benar benih cintanya. Aku tak ingin menjadi virus yang dianggap menularkan jenis penyakit menjijikkan yang sangat ditakuti masyarakat.

“Yakinkah kau dengan rasamu La?”

“Iya, aku tak pernah mencintai suamiku. Perjodohankupun dikarenakan mama mencium keanehan padaku karena aku tak kunjung punya pacar.”

Sejurus kutatap sorot matanya yang lembut, membayangkan betapa berat beban hidup selama menjalani rumah tangga dengan suaminya, suami yang tak pernah dicintainya. Suaminya adalah seorang duda dengan satu anak, ia anggota sebuah organisasi keagamaan yang kaku. Tiga ruas jari panjang jenggotnya membuat ia sepuluh tahun lebih tua dari umurnya, meski tanpa jenggotpun ia sudah jauh lebih tua dari Dila.

Matanya berhasil meyakinkanku bahwa rasa itu tumbuh jauh dari alam bawah sadarnya. Aku percaya bahwa rasa cinta yang tulus justru tumbuh dari alam bawah sadar yang tak pernah mampu tersentuh oleh logika. Dan aku sendiri, tak tau mengapa aku berani mencintainya. Aku sadar siapa diriku, buruh pabrik yang hanya mampu menyewa satu dari puluhan kamar kosnya. Belum lagi suaminya, bagaimana caraku menghadapi suami dan keluarganya jika hubungan ini tercium.

Namun asmara yang sedang hangat-hangatnya ini membuat aku dan Dila melupakan sederet resiko yang sudah menunggu di depan kami. Menikmati tiap detik kebersamaan dengan segala keindahan dan rasa was-was sekaligus. Seperti pencuri, aku mengendap-endap menemuinya atau ia mendatangi kamarku. Semua terasa indah dan mendebarkan. Kami cukup leluasa karena suaminya yang hanya pulang dua minggu sekali dari kerjanya yang di luar kota. Sementara rumah ibu Dila, berkelang tiga rumah dari rumahnya dan kos-kosan.

Sampai pada sebulan yang lalu, saat suaminya menagkap basah aku sedang mengecup mesra bibir istrinya di dalam kamar mereka. Entah perasaan apa yang membakarnya saat itu, cemburu atau hanya sekedar harga diri yang terinjak hingga dia lupa bahwa aku adalah perempuan, bahwa fisik perempuan tak sekeras laki-laki. Tak menunggu tamparan kedua, darah segar mengaliri sudut bibir dan kedua lubang hidungku, segera saja disusul kepalan tangannyanya di perutku yang hampir membuatku pingsan. Tak sampai di situ, engsel lengan kiriku serasa lepas, tak sampai hitungan ketiga aku ambruk, tersungkur di bawah kakinya.

“Bajingan kau, susah payah aku menyembuhkan istriku. Kau datang menyeretnya lagi dalam hubungan nista ini. Kalau kulihat lagi wajahmu, jangan harap kau selamat!!” hanya itu yang sempat kudengar di antara suara isak tangis dan jeritan Dila memohon pada suaminya agar berhenti memukuliku. Setelah itu, kurasakan tubuhku terangkat. Dibelai dingin angin malam yang terasa perih menjilat memar seluruh tubuhku, lalu serangan terakhir kurasakan, tubuhku kembali serasa melayang dan dihempaskan lalu mendarat di aspal basah. Entah di mana.

***
Sebulan aku tak melihat wajah kekasihku, ya Tuhan aku sangat merindukannya. Sejak semalam aku tak melepas genggamanku padanya. Kemarin sore ia sampai di kosanku yang baru, entah tahu dari mana. Lalu dengan linangan airmata ia memintaku membawanya jauh ke dunia di mana tak satu manusiapun mengenal kami. Dengan gamang kami sampai di stasiun ini tanpa tahu mau ke mana.

Selama sebulan aku bukannya tak berusaha menemuinya, namun tak pernah berhasil. Aku hanya selalu bertemu dengan ibunya yang selalu juga berakhir pengusiran.

“Bu, tolong Bu. Kami saling mencintai. Tidakkah ibu lihat bahwa anak ibu menderita hidup dengan orang yang sama sekali tidak ia cintai” pintaku waktu itu.

“Sika, apa kamu tidak kapok? Dan apa kamu tidak sadar-sadar? Sudahi permainan gilamu itu. Saya ingin anak saya menjadi orang yang normal. Tinggalkan Dila selamanya!” lalu pengusirku.

Sepanjang jalan pulang, tak henti-hentinya aku menangis di atas motor lawasku. Ya Tuhan, apakah arti semua yang terjadi dengan diriku. Bukankah rasa ini juga anugerahmu, jika ini memang kau larang, ampuni aku. Tapi sungguh aku tak kuasa menghadapi ini. Apa yang sedang dilakukan Dila sekarang? Menderitakah ia? Tersiksakah ia? Lalu apa yang dilakukan suaminya sejak ini terbongkar? Dipukulikah ia? Ah, aku sudah tak mampu menggambarkan kekalutanku saat itu.

Namun, ketika kini Dila ada di hadapanku mengapa aku jadi kian lemah? Saat Dila memintaku membawanya lari mengapa aku jadi gamang? Menyerahkah aku? Takutkah aku? Tidak! Semalaman memeluknya, aku sadar bahwa aku tak boleh menuruti emosi yang justru suatu saat malah akan membuatnya menyesali keputusan ini.

Mencinta tak cukup hanya dengan cinta, aku harus mapan. Dan akupun tak ingin menjadi pencuri anak dari ibunya. Istri dengan suami adalah urusan hati, tapi ibu dengan anak adalah urusan darah. Dengan lembut kuraih jemarinya, lalu kukecup, “Sayang, sepertinya ini salah. Aku tak ingin membawamu dengan cara begini. Aku ingin hidup bersamamu selamanya dengan ketenangan, bukan dengan rasa ketakutan. Kita akan kembali pada ibu, kita akan bicarakan baik-baik dengan ibu juga suamimu. Aku akan menjemputmu dengan layak, seperti seseorang yang menjemput kekasihnya, bukan seperti pencuri.”

“Tapi, mana mungkin mama akan mengijinkan? Ini kesempatan kita, salah-salah ini malah akan jadi pertemuan kita yang terakhir” genggamannya menguat, menyaratkan ketakutan yang amat sangat. Airmata jatuh lagi di pipinya.

Dengan lembut akupun menenangkannya, meyakinkannya bahwa ketulusan cinta pasti menghasilkan kebahagiaan yang abadi. Cinta ibu pasti mampu menembus batas-batas yang tak mampu diraih orang lain. Dan kita akan buktikan itu. Kita hanya harus meyakini itu, dan terus berusaha membuktikan bahwa kita hanya akan bahagia jika bersama di bawah restu orang tua.

Dengan keyakinan yang amat berat, kami melangkah pelan. Serasa menghitung berapa jumlah ubin yang menyusun peron stasiun kereta. Menyongsong sebuah keputusan dan berspekulasi dengan nasib. Bisa menang, bisa juga kalah. Bukankah inilah yang namanya hidup. Penuh teka-teki yang tersembunyi, seperti berjalan di tengah kabut. Tak pernah tahu dan tak nampak apa yang sesungguhnya ada di depan kita. Namun aku yakin, tak ada yang mampu mengalahkan cinta yang suci.

*Mahasiswi Fisipol Universitas Bengkulu, Kontributor website Suara Kita

Bagikan

Cerpen Lainnya