Search
Close this search box.

[CERPEN] Sungai Darah Sungai Sejarah

Sungai Darah Sungai Sejarah

Oleh: Antok Serean*

Suarakita.org- Barangkali hanya aku yang mengenang sungai sebagai sejarah, yang gemericiknya membangkitkan cerita masa lalu, yang di dalamnya terekam tawa sekaligus ngilu. Barangkali hanya aku yang merindu geliat di kedalaman arusnya, yang terus menggaungkan kisah abadi, yang melenakan indah sekaligus perih. Atau barangkali aku bagian dari sejarah itu sendiri, yang tak lagi hidup di benak orang-orang, yang menganggap sungai sebagai benda mati, yang hadirnya tak lagi menuai keuntungan, yang meratap pengertian baru: Terpisah dari masa lalu.

Sejujurnya, aku tak tahu mengapa sungai memanggil kembali. Aku telah jauh menempuh hidup. Meninggalkan alirannya, rerimbunan di pinggirannya, dan suara-suara riuh canda tatkala matahari menjemput udara. Aku telah menukarnya dengan kebisingan kendaraan bermotor, etalase mal, kegaduhan pasar, dan gegap diskotik penuh langut. Entah berapa tahun. Aku tak pernah menghitungnya. Hidup terlalu ajaib dibabat waktu. Aku sibuk meneguk nikmat dari cangkir-cangkir kota, yang tak pernah memuaskan, sebab merongrong kenikmatan lebih tinggi lagi. Nikmat ternyata berkasta, melecut aku ke derajat Brahmana.

Entah berawal atau berakhir, tiba-tiba sesuatu—entah di otak atau di hati—menggamit meninggalkan hidup penuh cahaya, melemparkan ke gigir sunyi. Di sini, keheningan begitu riuh. Silang sengkarut cerita tumpang tindih memohon perhatian. Sungguh, aku susah payah mengurainya. Betapa seluruh cerita dipaparkan begitu saja. Mendedahkan aku tanpa daya. Tapi, aku berbaik hati menuturkan. Barangkali bisa menjadi lena di sesaknya gaduh. Atau barangkali tak berarti apa-apa. Apapun itu, aku hanya ingin bercerita, meredakan timbunan rindu yang tak mampu lagi tertanggung. Jadi, nikmatilah.

Bayangkan suasana sore nan ranum. Fokuskan pada belik*) di pinggir sungai. Lihatlah, lelaki matang itu Bapak. Bocah kecil itu aku. Bapak menggosok badan bocah itu dengan sabun. Dari rambut di kepala, leher, dada, perut, berputar-putar di kelamin, turun ke kaki. Bocah itu bungah. Kasih Bapak menelusup lewat tangan-tangannya. Namun, di bilik pikiran mencuat ketertarikan tanya polos: Mengapa di pipi, dada, ketiak, dan selangkangan Bapak tumbuh bulu? Mengapa tubuhnya segersang pelataran tanpa ilalang? Mengapa kelamin Bapak lebih besar dari miliknya?

Tanya itu pupus dengan sendirinya tatkala Bapak memakaian celana kolor, kaos oblong, dan memintanya naik ke punggung. Bocah itu menunggang pinggang dan mencengkeram leher Bapak, yang bersenandung gundul-gundul pacul. Rerimbunan bambu di kanan-kiri jalan, yang menakutkannya dengan genderuwo, menjelma indah bak jajaran cemara. Bersama Bapak, segalanya melangit warna.

Ceritanya terpenggal. Aku tak bisa melanjutkan. Cerita lain dari lorong kenangan terangkat ke permukaan. Sebetulnya, aku tak sudi memaparkan. Ada luka di sana. Siapa pun tahu, luka merajam dada. Tapi, gelegak di dada terlalu dahsyat diredam. Tarik-ulur begini yang menyakitkan, yang aku mengerti sendiri. Daripada gila, baiklah, aku kisahkan saja.

Sungai telah kehilangan keelokannya. Krisis ekonomi membuat orang-orang gerah. Orang-orang berbondong-bondong terjun ke sungai. Berebut mengeruk pasir, mengangkut batu-batu. Uang, barangkali sejenis sesembahan yang menghipnotis orang-orang tunduk padanya. Termasuk Bapak. Aku kehilangan mata bocah, berganti mata pemuda. Aku belum lelaki ketika menyaksikan keringat deras membajir di tubuh Bapak seusai mengangkut pasir dan batu. Aku belum lelaki ketika Bapak memaksa berdiam di rumah, mengurus tetek bengek sehari-hari. Aku belum lelaki ketika orang-orang kampung adu jotos memperebutkan material sungai. Aku belum lelaki ketika senja pekat mengalirkan darah orang-orang, yang sebagian terjungkal di sungai sebagian terkapar di pasir. Aku belum lelaki ketika memaksakan diri mengangkat tubuh berdarah dari dalam sungai, memanggulnya di punggung, sambil mendesirkan umpat pada entah. Tubuh Bapak yang berdarah.

Cerita sampai di situ. Lagi-lagi terpenggal. Hanya gambaran lekat sungai memerah. Darah, kengerian nan indah. Kekaguman yang ganjil. Betapa aku bergairah tidak hanya pada teduh, tapi juga resah. Apakah orang lain seperti aku? Entahlah. Yang pasti, aku meninggalkan sungai, meninggalkan Bapak dalam gundukan yang aku gali sendiri, meninggalkan orang-orang yang mengaduh luka hidup, meninggalkan akar pertama aku meraba dunia.

Lantas, keanehan menjalar ke jiwa, berkembang biak bak sel-sel kanker. Aku hidup di antara orang-orang yang tak mengenal sungai, pepohonon, cericit burung, dan embun pagi. Orang-orang ganjil yang berkata-kata, berpikir, berperilaku laiknya robot. Tawa dan tangis diprogram, muncul dan hilang dengan remote control. Orang-orang yang tak mengenal pagi, siang, atau malam. Satu hari adalah gerakan tunggal kegaduhan. Anehnya, orang-orang ini berkeras menyebut dirinya manusia. Aku mencoba menata dada, menerimanya. Apa boleh buat, aku hidup di sini, bersandingan dengan orang-orang robot itu.

Cerita yang tertinggal—bukan yang berkesan—adalah perburuan Bapak dalam tubuh lelaki yang aku temui. Aku menyebut sebagai perburuan karena keasyikan. Seperti pemburu yang bergairah pada kijang, lalu pergi ke hutan, mengintainya, untuk sekedar menancapkan panah ke binatang itu. Puas. Lalu gairah terbit lagi. Begitu seterusnya. Uniknya, Bapak tidak hidup dalam semua lelaki di tempat ini. Aku harus memilih dan memilah lelaki gelap atau memancarkan aura Bapak. Sulit. Tapi, justru di situ keasyikannya.

Baiklah. Aku ceritakan sedikit proses perburuan itu.

Aku mendamparkan diri dalam bangunan bercat hijau. Di dalamnya lelaki-lelaki bersarung dan berkopiah. Lelaki-lelaki melakukan gerakan ganjil berdiri, membungkuk, menunduk, lalu duduk. Bersila lama dengan bibir komat-kamit. Aku bersandar di dinding, menyisir wajah perwajah. Mencari-cari wajah Bapak. Lama. Sampai lelaki-lelaki itu pergi meninggalkan bangunan ini. Harapan terakhir tertinggal satu lelaki. Betah duduk di ujung bangunan. Aku sabar menantinya. Ketika lelaki itu membalikkan badan, aku bersiroboh dengan matanya. Mata itu mata Bapak. Aku bergegas memburu ke dalamnya.

Sampai di sini cerita menjadi samar. Aku tak mampu memaparkan secara utuh. Hanya kilasan-kilasan: Aku dan lelaki itu bercakap tentang kematian, minum kopi dan makan pisang goreng, berendam di kolam, tidur di kasur putih. Sejenak ada yang menggelegak. Terasa perih menjalar ke sekujur tubuh. Terasa nikmat memekarkan pori-pori kulit. Sebentar, gambaran itu mengutuh. Sebentar, gambaran itu hilang. Jejak tak nampak. Ada sentuhan, dengusan, erangan, dan kelegaan. Lalu lelaki bermata Bapak lesap.

Tiba-tiba aku menjadi lelaki. Orang-orang mengatakan begitu. Semula aku tak percaya. Orang-orang meyakinkan, bahwa bulu-bulu di wajah, ketiak, dada, selangkangan, dan betis adalah bukti kelelakian. Aku bercermin dalam air bak mandi. Melihat penampakan aneh. Betapa aku asing dengan kembaran diri. Semakin lama aku perhatikan, semakin risau pada kenyataan. Penampakan dalam air bak mandi itu menyerupai Bapak. Ah, tidak menyerupai, tapi persis Bapak. Aku telah menjadi Bapak.

Entah memburu atau diburu, tak ada lagi bedanya. Ada cerita lain yang menjadi pangkal cerita selanjutnya. Sebentar, aku harus menguatkan ingatan. Sungai, ya, sungai. Aku terdampar di pinggirannya. Lelaki-lelaki berjalan, duduk, bercakap, memburu desir-lendir. Belum ada yang menarik. Aku tercekat ingatan sungai, betapa di masa lampau, keruh airnya mengambangkan tubuh-tubuh penuh darah. Manusia-manusia lelaki-perempuan kehilangan mimpinya. Ditukar merah. Merah, anyir menggairahkan radang luka. Semua ditenggelamkan zaman. Sungai darah sungai sejarah. Barangkali hanya aku yang mengingatnya.

Bapak pernah memberi wejangan: Menjadi manusia itu mudah. Menjadi manusia yang memanusiakan itu sulit. Dulu aku bocah. Sekarang aku lelaki. Masih tak mengerti wejangannya. Maka, barangkali, untuk itulah memburu Bapak dalam lelaki-lelaki yang aku temui. Namun sekarang, aku tidak hanya memburu. Aku juga diburu. Walaupun seperti aku bilang di atas, aku memilih dan memilah, sedikit lelaki yang ada Bapak dalam dirinya.

Lima lelaki menghampiri. Aku memilih pergi.

Sendiri? Aku menoleh. Tercekat. Suara itu menggetarkan debar membuai perasaan. Aku diam dalam suwung. Sekarang, di hadapan, berdiri lelaki kembaran Bapak. Sendiri? Lelaki kembaran Bapak mengulangi. Aku mengangguk. Bagaimana aku menjelaskan semesta kegirangan-keheranan-keajaiban? Kata-kata tak mampu menjabarkannya. Dari sanalah aku memasrahkan segalanya. Awal yang mengakhiri. Aku dan (dengan) kembaran Bapak.

Mulanya urusan tubuh. Aku suka caranya menyayangi dengan mengeloni setiap malam. Hangat peluknya mengingatkan dekapan Bapak. Pernah pada suatu malam aku terbangun sendirian. Merasakan kalut kehilangan. Aku bangun, mencarinya, dan menemukan sedang duduk bersila di ruangan sebelah. Dalam diam kembaran Bapak berkata: Awal hidup adalah berani. Lalu aku memeluknya dari belakang, mengulang gendongan. Tenang.

Aku harus diam demi mengenang ketakjuban. Ya, kata-kata. Aku tak pernah menduga bisa sedahsyat itu. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, bibir manisnya mengujarkan mimpi-mimpi. Mimpi pertama adalah setiap manusia setara dan punya hak sama di muka bumi. Mimpi kedua adalah menghancurkan negara yang dikontrol pemimpin rakus, menggantinya dengan pemimpin baru. Mimpi ketiga adalah menggerakkan orang-orang yang masih manusia, yang sepaham dengan dirinya, berjalan maju membuat perubahan. Aku terpana. Lebur dalam pesona. Harapan itu begitu indah. Aku melihat warna-warni cahaya beterbangan di angkasa. Aku memandangi, mengagumi. Cukup.

Suatu senja kelabu, aku mendengar kembaran Bapak mendesah: Awal mati adalah takut. Jujur, aku tak pernah memahami kata-katanya, mimpi-mimpinya, harapan-harapannya, tindakan-tindakannya. Yang aku pahami, dekapnya masih hangat dan sinar matanya tetap teduh. Lalu segalanya tak lagi sama. Orang-orang datang berduyun-duyun memujanya, rela duduk bersila demi mendengar mimpi-mimpinya. Sampai akhirnya aku paham, kembaran Bapak tidak hanya bicara, tetapi mulai mewujudkan mimpi-mimpinya. Kata “gerakan” dan “perubahan” berulang-ulang diucapkan. Dan aku melihat orang-orang yang mendengarnya terbakar semangat.

Ada titik akhir yang sulit terungkap karena kuat. Sebentar, aku harus konsentrasi. Ada orang-orang gempal mengepung rumah. Ada kembaran Bapak dan orang-orang di dalam rumah ketakutan. Ada aku kebingungan. Lalu segalanya bergerak cepat. Pintu didobrak. Orang-orang lari kocar-kacir. Kembaran Bapak tegar berdiri. Aku mencengkeram lengannya. Orang-orang gempal meletuskan tembakan ke udara. Kembaran Bapak sekeras patung. Dua kain hitam menggelapkan pandangan. Menutupi kembaran Bapak dan aku, lalu memisahkannya.

Baiklah. Ada secercah ingatan sebelum aku menutupnya.

Aku mendengar gemericik air sungai. Ingatan langsung meluncur ke Bapak dan kembaran Bapak. Aku mendengar pukulan, tendangan, tamparan. Aku mendengar jeritan, rintihan, kesakitan. Aku diam sekeras batu. Ada tangan dan kaki menghantam bertubi-tubi. Aku mendengar kata “pemberontak” diulang-ulang. Aku memilih diam.

Segalanya tamat ketika benda tajam membabat leher. Segalanya ringan ketika tubuh dijungkalkan ke sungai. Segalanya ambang, lamat-lamat tinggal kenangan, yang coba aku tuturkan. Segalanya menjelma cahaya. Aku tanpa bentuk. Mengais penggalan kenangan. Mencari Bapak. Mencari kembaran Bapak. Tapi tak kunjung aku temukan. Dan sekarang, di titik ini, entah mengapa aku merasa begitu sendiri.

Barangkali di masa depan ada manusia yang menolak lupa, terus mengabarkan sejarah tentang hilangnya para pejuang. Barangkali di masa depan tak ada manusia yang ingat, menilainya sebagai cerita pengantar tidur. Barangkali tak ada masa depan karena terkubur zaman. Entahlah. Yang pasti, aku telah lebur dalam sungai darah sungai sejarah. Yang pasti, aku telah menceritakannya. Cerita terakhir yang mungkin dari yang mungkin. Sekarang, aku hanya ingin mencari Bapak dan kembaran Bapak. Aku ingin memeluknya. Di tepian sungai tanpa sejarah darah.

Madiun, 12.04.2014, 04:22 PM

*Antok Serean, Penulis dan cerpenis 

*) tempat mandi buatan di pinggir sungai yang airnya bersumber dari mata air.

Bagikan