Pernyataan Sikap Megawati Institute
“Darurat Kejahatan Seksual Terhadap Anak”
Suarakita.org- Komisi Nasional Perlindungan Anak menetapkan Tahun 2013 sebagai Tahun Tanggap Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak. Hal ini ditetapkan karena Komnas PA mencatat hingga Oktober 2013 saja, terdapat 2.792 kasus masuk laporan, 1.424 kasus kekerasan (52 persen kekerasan seksual anak). Angka ini meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2010, dari 2413 laporan kekerasan terhadap anak, 926 nya merupakan kasus-kasus seksual. Pada tahun 2011, dari 2509 laporan kekerasan, 59% adalah kekerasan seksual. Sementara tahun 2012, Komnas PA menerima 2637 laporan, 62%-nya kekerasan seksual.
Selain data kekerasan yang terus meningkat, tahun 2013 kita juga dikejutkan dengan peristiwa meninggalnya bayi usia 9 bulan di Jakarta Timur akibat kekerasan seksual oleh keluarga terdekat. Kita juga masih ingat, seorang bocah kelas 5 SD di Jakarta yang juga meninggal karena menderita IMS yang ditularkan oleh Ayah kandungnya akibat perkosaan.
Belum hilang keterkejutan itu dari benak kita, kini kita kembali dibuat shock oleh kejadian yang menimpa AK seorang murid TK Sekolah Internasional di bilangan Jakarta Selatan yang kemudian menderita PMS akibat dari kekerasan seksual yakni perkosaan yang dialaminya di sekolah.
Kasus AK membuktikan sekali lagi pada kita semua bahwa kekerasan seksual mengintai dimana-mana, bahkan di sekolah yang sering dianggap sebagai second home. Kita juga perlu mewaspadai bahwa sebagian besar pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat, bisa pengasuh anak, teman, keluarga atau bahkan orang tua kandung. Orang tua dan institusi pendidikan tidak boleh lalai dan abai dari peristiwa semacam ini.
Meski Indonesia telah meratifikasi KHA tgl 2 Sep 1990, melalui Keppres No. 36/1990 tertanggal 25 Agt 1990 dan juga memiliki UU, Pasal 54 UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya” namun terbukti bahwa ada kelemahan dalam implementasi. Anak-anak tetap saja belum mendapatkan tempat dan suasana yang aman.
Oleh karena itu, dari peristiwa kejahatan seksual yang menimpa AK dan juga untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak lainnya, Megawati Institute menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Kepada pihak sekolah dan Kementrian Pendidikan untuk membuka diri dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam menyelidiki kasus ini dengan mengedepankan perlindungan terhadap hak-hak korban. Penyelidikan harus dilakukan tanpa sikap diskriminatif. Para pengajar (WNI dan WNA) serta pihak sekolah harus bertanggung jawab sepenuhnya. Segera bentuk tim investigasi khusus untuk memeriksa dan memastikan tidak ada anak lain yang pernah menjadi korban. Dalam melakukan investigasi, keamanan dan kenyamanan anak lainnya dalam sekolah harus tetap terjaga.
2. Kepada pihak aparat penegak hukum, pelaku kekerasan seksual sepatutnya dihukum seberat-beratnya dengan hukuman maksimal. Review kembali dan revisi jumlah hukuman maksimal kepada pelaku kekerasan seksual terhadap Anak dalam UU No 23 Tahun 2002.
3. Kepada Kemendikbud, melihat banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak dan terjadi di lingkungan sekolah dan rumah, maka sudah seharusnya dirumuskan kurikulum comprehensive sexual reproductive health and right sejak dini. Institusi pendidikan sudah tidak boleh lagi menganggap bahwa pendidikan seks adalah Tabu. Segeralah memandang serius persoalan ini, tidak lagi lepas tangan dalam persoalan kekerasan seksual.
4. Pihak kepolisian tidak boleh mereviktimisasi korban atau bahkan membuat pernyataan yang sembrono, menggolongkan perilaku pelaku kejahatan seksual dengan preferensi seksual non hetero, sehingga cenderung berpotensi menyalahkan kelompok termarjinal lainnya. Contoh, Pernyataan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto terkait kasus AK siswa TK JIS: “Mereka punya penyakit psikis masuk dalam golongan homo,“. Pernyataan ini berpotensi untuk menyerang kelompok LGBT dan memunculkan korban baru dari kasus yang ada.
5. Kepada Media, untuk terus mengawal kasus kekerasan seksual ini dengan mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme yang menghargai hak-hak korban dan orang tua korban. Memastikan tidak ada anak-anak lain dari sekolah tersebut turut diwawancarai
Mari kita bahu-membahu dan bekerja sama untuk segera menghentikan kekerasan seksual.
Mari memulai dari hal yang kecil, mulai dari lingkaran yang ada di sekeliling kita. Mulai dengan hal yang paling sederhana: saling menghormati sesama. Karena kita adalah manusia.
Megawati Institute
Jakarta, 16 April 2014