Search
Close this search box.

Gus Dur dan Jurnalisme

Suarakita.org – Mungkin sebagian masyarakat Indonesia tidak menyadari bahwa sosok ulama besar dan mantan presiden ke 4 Republik Indonesia, KH Abdurahman Wahid memulai karier sebagai jurnalis di Situbondo sebagai wartawan NU. Dalam forum “Jumat Pertama Gusdurian” (4/4) yang berlokasi di Abdurahman Wahid Institute. Jurnalis senior dan pendiri Yayasan Pantau, Andreas Harsono berbagi kisah akan sosok Gusdur dan jurnalisme.

Dalam perjalanan jurnalistiknya, Gus Dur sangat terbuka pada peneliti asing dan membangun jembatan orang NU yang pemikirannya desa dengan pemikiran Global. Selain itu Gus Dur juga rajin melakukan dokumentasi. Dalam melakukan liputan Gus Dur selalu memegang teguh nilai jurnalisme yang antara lain melakukan verifikasi, netral, terbuka.. Setelah menjalani masa pendidikan di Kairo, Gus Dur sempat tinggal di Baghdad, Belanda dan kemudian sempat bekerja di kantor berita Antara dan LP3IS  Indonesia. Di tahun 1984 Gus Dur dilantik sebagai ketua PBNU dan mengeluarkan tulisan “Tuhan Tidak perlu Dibela” yang terbit di majalah Tempo.

Setelah jatuhnya era Soeharto, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan karena perpanjangan tangan untuk membredel siaran berita yang mengancam eksistensi pemerintah. Di saat yang sama ada rencana untuk membredel media peninggalan orde baru, namun Gus Dur melarang adanya pembredelan. Gus Dur lebih memilih mengadakan pelatihan besar-besaran untuk jurnalis baru agar lebih netral dalam memberitakan kasus.

Ignatius Indro dan Andreas Harsono sebagai narasumber "Jumat Pertama Gusdurian" (Foto : Rikky/ Suarakita)
Ignatius Indro dan Andreas Harsono sebagai narasumber “Jumat Pertama Gusdurian” (Foto : Rikky/ Suarakita)

Dalam melakukan survey Gus Dur sangat menyadari penelitilah yang memilih narasumber. Namun dalam konteks saat ini Andreas Harsono mengatakan banyak website yang melakukan metode tidak benar dengan menyediakan orang untuk memilih. Di Indonesia, banyak media yang dijinakkan dengan iklan. Media kita sangat tergantung sekali pada penonton, iklan dan warga. Media sering digunakan sebagai pencitraan. Tak ayal apabila banyak hasil penelitian tidak valid yang dipakai untuk pencitraan, terutama pencitraan sosok yang akan menjadi wakil rakyat.

Sebagai aktivis pro demokrasi, Gus Dur sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Maka dari itu Gus Dur membiarkan tumbuhnya media termasuk media Islam garis keras seperti VOA Islam.  Di tahun 2006 Gus Dur mendapat penghargaan Suadi Tasrif Baskoro, yang merupakan penghargaan tertinggi sebagai pembela kemerdekaan pers di Indonesia.

Terkait dengan jurnalisme, Gus Dur juga sempat aktif menjadi narasumber dalam program radio “Kongkow bareng Gus Dur”, suatu program yang menyuarakan Islam yang damai.  Program ini juga sempat membahas isu tentang transgender. Ignatius Indro, yang merupakan salah satu pembawa acara mengatakan “Gus Dur menanggapi waria tetap punya hak secara Undang-Undang tidak ada yang mengatur. Kecuali dari sisi agama, ada beberapa tokoh yang melakukan penolakan. (Rikky)