GEJOLAK
Oleh: Banyu Bening*
Suarakita.org- Dari balik layar komputer aku memandang wanita itu dari sudut mataku, tak ingin terlihat mengawasinya tentunya. Sesekali keningnya berkerut sembari menikmati lembar demi lembar sebuah buku yang berwarna jingga yang tergeletak di lantai kamarku.
“Kenapa ya, aku kok gak suka ngeliat bencong,” katanya setelah menutup buku itu.
Dengan tanpa mengalihkan pandangan dari layar, aku hanya menjawab, ”Kenapa tuh?”
“Gak tau, pokoknya gak suka. Lebih gemulai dia pula dari kita yang perempuan. Kita yang perempuan aja gak kayak gitu,” katanya lagi sembari melipat bantal dan membaringkan kepalanya. Sedang aku hanya tersenyum.
“Orang-orang seperti inilah yang paling banyak terkena penyakit HIV kan? Berhubungan sex bebas, perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki sama saja. Sama-sama cari aman, ingin enak tapi lepas resiko dihamili dan menghamili,” lanjutnya lagi.
Kali ini tanganku berhenti sejenak dari tarian, sejurus menatapnya, “Kak, kenapa mereka gemulai? Ya karena memang mereka merasa bahwa jiwa mereka perempuan. Nah, kalau pada akhirnya mereka terlihat malah lebih gemulai dari perempuan, itu hanya karena fisik asli mereka itu maskulin, jadi ketika mereka gemulai, akan terlihat berlebihan,”Akupun melanjutkan tarian jemariku, “Nah kalau masalah HIV semua berpotensi kak. Penjahat kelamin itu banyak.”
Kemudian celotehannya terdengar menggema di telingaku. Sejak beberapa bulan lalu sudah lebih kurang lima kali ia datang menemuiku, katanya numpang duduk menunggu anaknya pulang bimbingan belajar. Dan setiap kali itu pula yang ia bahas hanya tentang teman perempuannya yang berpacaran dengan perempuan. Yang sebelumnya kuketahui bahwa ia sempat dekat dengan teman perempuannya itu. Tapi selalu menolak jika dikatakan ada hubungan. Lalu selalu membahas bahwa hubungan itu adalah sebuah kesalahan.
Aku melihat kegelisahan di matanya, di suaranya yeng menggebu, di gerak tubuhnya yang kaku. Cemburu sedang membara di sana, sehingga kekecewaan yang keluar bersama aroma napasnya dimentahkan oleh nada-nada yang sama sekali tak mampu disembunyikannya.
Dan seperti sedang todong pistol di kepalanya aku menjawab, “Kak, semua ucapanmu mengandung kegelisahan. Dan biasanya orang yang sedang meredam ketidakterimaan di dalam dirinya akan semenggebu kakak dalam pembahasan yang tak lazim ini. Orang yang tak gelisah, biasanya hanya akan menyampaikan ketidaksukaannya, mencemoohnya dan sudah. Hilang ditelan masalah-masalahnya yang lain yang diprioritaskan.”
“Maksudmu?” pertanyaannya seolah-olah pistolku sudah meledak tepat di kepalanya.
Dan aku hanya tersenyum tanpa menjawabnya. Sudah bisa kutebak, bahwa setelah ini dia akan diam atau mengalihkan pembicaraan. Tapi tebakanku salah, ia malah pamit pulang menjemput anaknya.
Dan sebelum suara sepeda motornya hilang dari telingaku, segera kuselesaikan tarian jemariku. Maka, kudapatkan kalimat terakhir: betapa tersiksanya tak dapat mengakui apa yang sesungguhnya ia rasakan karena terbentur sesuatu yang sudah ditetapkan dan dinormakan, bahkan jauh sejak kita belum dilahirkan. Sayangnya kita lupa bahwa Tuhan bukan manusia, meski kita pandang dengan mata manusia, Ia tetap Tuhan. Yang sudah menyeimbangkan berat ampunannya jika benar ada penimbangan. Kita hanya harus mencari pemberat melalui hubungan baik kita dengan sesama manusia.
Sembari menutup layar, kusyairkan sebuah sajak:
Cinta tak ditakdirkan membawa kedukaan
Perasaan yang tumbuh dari garis bawah sadar
Alamiah mencari celah sambutan
Tuhan tak dapat dijangkau
Tuhan tak bisa digambarkan
Tapi juga tak ingin pembenaran
Jika salah
Terimalah sebagai kesalahan
Namun kesalahan vertikal
Dan permohonan ampun akan sampai di kakiNya
Karena cinta datang untuk kedamaian
*Mahasiswi Fisipol Universitas Bengkulu