Penulis : Ni Loh Gusti Madewanti*
Suarakita.org.- Meski hari telah berganti, melewati hari Pemilihan Umum Calon Anggota Legislatif baik tingkat DPR RI, DPRD Provinsi maupun DPD. Namun tingkat kepercayaan publik terhadap para jagoan yang akan menjadi wakil mereka tetap pada parameter mosi tidak percaya yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka pemilih aktif yang memilih untuk tidak meng-ungukan jarinya (alias golput). Dikabarkan hingga tulisan ini dimuat, partai yang mengungguli Pemilu Legislatif kali ini mendapatkan marjin angka lebih dari 19%. Sedangkan marjin golongan putih tak berjari ungu jauh meninggalkan prosentasi pemenang. Berada pada 34, 02 % . Ada apa dengan publik?
Berbagai faktor diungkapkan sebagai pisau analisa mengenai tingginya angka tak berjari ungu. Faktor tersebut antara lain, persoalan administratif. Seperti tidak terdaftar sebagai DPT pada suatu TPS atau tidak memiliki dokumen legal sebagai bukti administratif. Faktor teknis, seperti persoalan jarak, waktu dan kesempatan untuk mengikuti pencoblosan.Terakhir adalah faktor politis, yang artinya tidak mengetahui dan tidak mempercayai rekam jejak calon anggota legislatif yang akan ia pilih.
Meski dilanda keputus asaan yang akut, setidaknya perlu diacungi jempol berbagai upaya dilakukan untuk mempromosikan rekam jejak calon anggota legislatif yang layak dipilih. Salah satunya diusung oleh sebuah jaringan dan koalisi aktifis dalam gerakan Bersih 2014. Gerakan ini dilansir dalam media elektronik dengan tautan : bersih2014.net
Sebersit gerakan ini seperti sebuah kompas penunjuk pada negeri antah berantah. Yang mencoba menyalakan api untuk menerangi pikiran dan hati. Supaya pada masa-nya para konstituen dapat menyalurkan hasrat politiknya memilih yang benar-benar, benar. Pertanyaannya kemudian, bersih ini versi siapa? Apa makna calon yang bersih? Apa jaminan apakah mereka benar- benar bersih?Pertanyaan- pertanyaan tersebut wajib diberondong kepada mereka yang mengusung maupun yang sedang diusung. Perlu menjadi sedikit apatis ditengah hirup pikuk euphoria politik yang membabi buta. Jika tidak, celaka tiga belas kita. Seperti kerbau dungu yang dicucuk hidungnya.
Dalam tautan laman ini, gerakan Bersih 2014 mempunyai panduan bagi konstituen untuk memilih calon legislatif. Panduannya antara lain, pilihlah calon legislatif yang tidak pernah melanggar hukum. Yakin mereka berbuat kebaikan untuk rakyat. Berpihak pada rakyat miskin. Mendorong hukum tanpa pandang bulu. Mendorong persahabatan. Diakhir panduan, diwajibkan kami, para konstituen untuk aktif bertanya dan berdiskusi.
Hemat kata, panduan masih mengawang pada wacana saja. Dan tentu saja merupakan delusi yang mega besar dari keinginan untuk menghasilan pesta demokrasi lebih madani. Jika keyakinan konstituen benar-benar dipertanyaan untuk memilih para calon legislatif yang benar-benar berbuat kebaikan untuk rakyat. Dalil ini menjadi mentah. Sebab, berbuat kebaikan untuk rakyat, bisa diterjemahkan dan dimaknai sangat luas dan relatif. Apalagi ketika panduan ini menyebut tidak pernah melanggar hukum sebagai prasyarat pertama. Pertanyaan paling nyinyir, memangnya ada ya cyn?
Ketika diteliti adakah parameter calon legislatif bersih? Jawabannya, tidak ada. Namun sebagai paradoks, diungkapkanlah parameter calon wakil rakyat yang tidak bersih. Seperti Pelanggar HAM, koruptor, anti toleransi, penjahat lingkungan, perampas tanah, pro-upah murah dan pro-diskriminasi. Fasih betul kita, merutuki calon legislatif yang berbuat tak senonoh dan pantas dihakimi. Namun kita keblinger sendiri menerjemahkan atau menarik benang merah atau mencoba mengkerucutkan wakil rakyat yang pantas dipilih dan benar-benar bersih.
Usut punya usut, daftar calon legislatif yang dimuat dalam laman tersebut, tidak memberikan jaminan apakah mereka benar- benar bersih. Dari riwayat hidup yang ditampilkan, hanya sebagian yang telanjang menceritakan apa yang telah mereka perbuat bagi rakyat. Sebagian lagi, hanya berisi daftar nama, nama partai pengusung, daerah pemilihan. Artinya, kita masih dengan sengaja membeli kucing dalam karung.
Perlu diketahui, bahwa gerakan ini tidak memberikan posisi yang jelas dan tegas dalam menaikan harkat perempuan dan melawan budaya patriarki. Gerakan ini tidak gamblang menyebutkan berpihak pada upaya memberantas kekerasan yang dialami perempuan, anak dan anggota individu ataupun kolektif dari komunitas minoritas baik agama, kepercayaan, orientasi seksual, dan jelas bias gender, bias konstruksi seksual, bias masalah sosial. Gerakan ini gagal melihat ketimpangan dan ketidakadilan jender sebagai musabab utama resesi dan tingginya pelanggaran HAM, koruptor, anti toleransi, penjahat lingkungan, perampas tanah, pro-upah murah dan pro-diskriminasi. Gerakan ini prematur serta cenderung gagal memenuhi tujuan utamanya mempersembahkan wakil rakyatt yang bersih, dan gagal menarik perhatian konstituen massa untuk memilih.
Calon wakil rakyat yang dipromosikan, masih sebatas jualan kecap. Tidak ada penjelasan kualitatif maupun kuantitatif mengenai rekam jejak calon yang dibilang katanya bersih. Alih-alih mendukung, calon yang diusung tidak menjadikan mereka sasaran yang mampu ditelaah oleh publik luas bahkan akar rumput sekalipun.
Pun demikian jika telah memilih, suara-suara yang diwakili menjadi surut hanya sekedar statistik dan angka semata. Jutaan suara yang hiruk pikuk, sedu sedan merana mengharap keinginannya tersampaikan di-diskreditkan pada deretan angka prosentasi yang diwakili oleh partai politik. Yang terlampau masih tercekat dalam ingatan kita, kebijakan partai yang kemudian akan mengarahkan suara-suara tersebut sesuai misi dan visi partai.Suara-suara harapan setiap manusia di bumi Indonesia ini, akan samar terdengar atau bahkan menguap di langit- langit kantor dewan rakyat kita.
Dan pada akhirnya politik kita dalam arena pertarungan pemilihan umum calon legislatif yang sangat bertolak belakang dari ungkapan Otto Von Bismarck bahwa – Politics is the art of the possible. Barangkali, politik kita adalah seni dari ketidakmungkinan. Ya, pemilu calon anggota legislatif kali ini, masih merupakan arena ketidakmungkinan. Yang artinya, mungkin saja calon-calon yang sedianya dikatakan bersih, tidakmungkin bersih. Jadi, kalau semisal anda-anda, kita-kita, dan saya masih menjadi bagian dari barisan jari tak ungu, ada masalah?***
Referensi
*1.Sumber petikan hasil wawancara Rully Akbar, peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Rabu, 9 April 2014.
*2.Panduan ini dapat dilihat pada laman : bersih2014.net
*3.Petikan ungkapan Otto Von Bismarck
*4. Gambar yang ditampilkan pada tulisan ini diunduh
*Penulis adalah seorang perempuan dengan dua anak perempuan yang hebat. Hobi bersekolah dan memilih lulus dari program studi Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Lari dari Jakarta dan menghabiskan waktu dengan bercumbu pada buku, berdebat dengan angin lalu, dan mengusahakan diri untuk tetap sadar serta mengedepankan akal sehat.
Email korespondensi: madewanti@gmail.com. Twitter: madewanti@gmail.com