KepadaYth
Kepala
Bidang Humas Polda Metro Jaya
Kombes Rikwanto
Di
Jakarta
Bapak Rikwanto, saya Hartoyo, ketua dari Perkumpulan Suara Kita, sebuah organisasi yang bekerja untuk penegakan hak-hak kelompok homoseksual di Jakarta-Indonesia.
Pak Rikwanto, kami mendapatkan informasi dari media massa bahwa telah terjadi kasus kekerasan seksual yang pelakunya adalah dua orang laki-laki dewasa dan korbannya anak laki-laki (AK) di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Kami juga membaca respon Bapak atas pelaku kasus kekerasan tersebut yang diberitakan oleh beberapa media online, sebagai berikut:
Pak Rikwanto kami menilai bahwa pernyataan itu (jika benar adanya) akan berdampak pada diskriminasi berbasis orientasi seksual tertentu, dalam hal ini kelompok homoseksual. Jadi kekerasan melahirkan kekerasan baru. Karena kekerasan seksual, yang dialami korban juga dapat dilakukan oleh pelaku dengan orientasi seksual apapun, baik heteroseksual, homoseksual maupun biseksual.
Apa yang dilakukan oleh pelaku disebut dengan prilaku seksual seorang paedofilia. Para korban paedofilia (anak-anak) dapat dari kelas atas sampai kelas bawah. Jadi, praktek kekerasan seksual yang korbannya adalah anak (paedofilia), bisa dilakukan oleh seorang yang paedofilia, heteroseksual, homoseksual maupun biseksual atau orientasi seksual lainnya. Dan paedofilia tidak sama dengan homoseksual.
Pak, sebelumnya saya ingin sedikit berbagi informasi tentang apa itu, orientasi seksual dan prilaku seksual untuk membantu memahami sedikit tentang seksualitas.
Orientasi seksual adalah ketertarikan seseorang secara seksual pada pihak lain yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, sosial maupun budaya. Dalam hal ini orientasi seksual tidak bicara soal tindakan tetapi soal rasa. Orientasi seksual manusia yang umumnya diketahui publik, heteroseksual (suka terhadap beda jenis kelamin), homoseksual (suka sesama jenis), biseksual (suka laki-laki dan perempuan), aseksual (tidak suka semuanya) dan mungkin masih ada orientasi seksual yang kita tidak tahu namanya. Jadi orientasi seksual belum bicara soal tindakan seksual seseorang, seseorang yang heteroseksual maupun homoseksual bisa hidup selibat ataupun melakukan praktek seksual.
Sedangkan praktek seksual adalah sebuah tindakan seksual seseorang yang berhubungan dengan seksual untuk dirinya maupun orang lain. Tindakan seksual itu kemudian akan berhadapan aturan hukum, nilai, moral yang berlaku. Contoh tindakan seksual itu, misalnya oral seks, anal seks, penetrasi, pelukan, ciuman, onani, masturbasi, bergandengan tangan dan segala bentuk ekspresi seksual lainnya. Masing-masing tindakan seksual itu mempunyai makna nilai masing-masing yang dibangun oleh masyarakat.
Sehingga banyak negara maju dalam penegakan hukum, yang akan dikriminalkan bukan orientasi seksual seseorang tetapi prilaku seksual seseorang yang dianggap melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Apapun orientasi seksualnya. Indikator sederhananya untuk melihat apakah prilaku seksualnya dilarang atau tidak, apakah ada unsur kekerasan, pemaksaan, ketidakadilan, diskriminatif maupun ketidaksetaraan dalam relasi seksual. Sehingga biasanya ahli-ahli hukum dalam merumuskan sebuah kebijakan akan melihat unsur-unsur itu, apakah sebuah prilaku seksual layak dihukum atau tidak. Tetapi orientasi seksual sama sekali tidak layak untuk dihukum karena bukan dalam bentuk tindakan. Ini yang semestinya dijadikan acuan bagi penegakan hukum yang non diskriminatif di Indonesia.
Tentu dalam konteks kasus kekerasan seksual yang dialami AK di sekolah tersebut, tidak ada alasan untuk tidak menghukum pelaku dengan seberat-beratnya. Di Negara-negara maju, kekerasan seksual seperti itu tidak bisa ditolerir dan hukumannya sangat berat. Tetapi hukumannya bukan karena orientasi seksualnya tetapi karena prilaku/tindakan seksualnya kepada anak-anak (tidak setara dan dengan kekerasan). Kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku, apapun orientasi seksualnya banyak disebabkan oleh relasi kuasa yang timpang. Pelaku ingin menunjukkan kekuatan kepada korban bahwa dirinya mampu menguasai, maka lahirlah apa yang dinamakan perkosaan ataupun kekerasan.
Pak, kalau kita mau jujur sebenarnya praktek paedofilia (praktek seksual pada anak) di Indonesia, masih terus dilanggengkan atas nama agama maupun kebijakan Negara. Misalnya UU Perkawinan yang membolehkan anak dikawinkan (dibawah 18 tahun) dengan laki-laki dewasa. Kita tentu sudah biasa dan kita anggap wajar ketika melihat anak menikah oleh orang dewasa dan biasanya polisi bungkam tidak berani menindak tegas karena pelaku biasanya orang yang punya sumber daya besar dan tindakan kekerasan seksual itu dianggap didukung oleh masyarakat. Dan praktek seksual itu semua dilakukan dalam lingkup relasi seksual heteroseksual.
Jadi sebenarnya, apapun orientasi seksualnya, peluang melakukan kekerasan seksual dapat saja terjadi. Tetapi pernyataan bapak selaku Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya yang mengkaitkan prilaku kekerasan seksual terhadap anak dengan orientasi seksual tertentu (baca: homoseksual atau biseksual) adalah sebuah cara berpikir yang “sesat” terhadap pemahaman seksualitas, penuh dengan stigma dan diskriminatif pada kelompok homoseksual.
Pak, menurut penelitian Rohman dan Starinne (2005) dalam buku “Paedofilia Di Bali”, para korban kekerasan seksual adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Begitu juga para pelakunya bisa seorang laki-laki maupun perempuan dewasa. Motifnya juga beragam, seperti atas nama bapak angkat, berpacaran, perkawinan maupun bantuan ekonomi. Bahkan baru saja di sebuah forum kesaksian survivor perempuan di kampus UI, terungkap anak perempuan (4 tahun) menjadi korban kekerasan seksual yang pelakunya laki-laki dewasa yang dikenal oleh anak tersebut.
Fakta ini semakin jelas bahwa kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapapun, bahkan seorang penegak hukum juga mempunyai peluang melakukan kekerasan seksual terhadap anak ataupun perempuan.
Untuk itu, Perkumpulan Suara Kita meminta kepada :
1. Polda Metro Jaya untuk menindak dengan tegas para pelaku kekerasan seksual terhadap AK dan memberikan perlindungan serta pemulihan maksimal kepada AK sebagai korban kekerasan seksual.
2. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto, media dan masyarakat untuk tidak mengkaitkan kekerasan seksual yang dilakukan pelaku dengan orientasi seksualnya seseorang. Hal ini akan memberikan stigma pada orientasi seksual tertentu, khususnya yang non heteroseksual. Karena pelaku kekerasan seksual juga dapat dilakukan oleh heteroseksual, biseksual maupun homoseksual.
3. Kementerian Pendidikan, lembaga adat – agama dan masyarakat untuk tidak lagi menganggap tabu untuk mendiskusikan pendidikan seksualitas sejak dini baik di rumah,rumah ibadah, sekolah formal maupun non formal. Karena hanya pendidikan seksualitas yang komperensif yang dapat melindungi setiap orang (anak-remaja-dewasa) terhindar dari segala bentuk kekerasan seksual.
Terakhir, kami, Perkumpulan Suara Kita sangat terbuka berbagi informasi dan pengetahuan tentang isu keberagaman seksualitas dengan pihak kepolisian untuk menuju pelayanan hukum yang bebas dari segala bentuk stigma dan diskriminasi khususnya berbasis orientasi seksual dan identitas gender.
Salam
Hartoyo
suarakita.org
Mobile: 085813437597 / 087738849584
Email: hartoyomdn@gmail.com