Search
Close this search box.

Virus Yang Dimoralkan

Oleh : Hartoyo*

Selama ini masih ada sebagian orang melihat persoalan HIV dan AIDS dikaitkan dengan urusan “moral”. Pandangan bahwa virus HIV hanya akan menginfeksi pada kelompok yang dianggap “menyimpang” secara sosial seperti kelompok homoseksual, waria, pekerja sex dan pengguna jarum suntik. Laporan Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 menunjukan bahwa jumlah AIDS tertinggi terjadi pada profesi ibu rumah tangga dengan angka 6.230 orang, sedangkan kelompok pekerja seks yang selama ini diberikan stigma sebagai peyebar virus HIV sebanyak 2.021 orang dari kesuluruhan data 52.348 orang. Kalau untuk data yang terinfeksi HIV (belum masuk ke AIDS) sampai tahun 2013 sebanyak 127.427 orang.

Sedangkan pada tahun yang sama (2013) untuk faktor resiko seseorang terinfeksi virus HIV tertinggi pada kelompok heteroseksual (62,5 %), pengguna jarum suntik (16,1 %), melalui proses persalinan dari ibu ke anak (2,7%) dan yang terkecil justru kelompok homoseksual (gay dan waria) sebanyak 2,4%.

Tentu tingginya angka HIV dan AIDS yang mulai masuk ke dalam rumah tangga jika dilihat dalam konteks program dikarenakan kelompok perempuan (ibu rumah tangga) bukan dianggap sebagai kelompok yang beresiko sehingga tidak khusus diberikan penanganan. Berbeda dengan kelompok gay,waria,pekerja seks maupun pengguna jarum suntik yang secara intensif diberikan intervensi program oleh pemerintah maupun lembaga donor asing.

Terinfeksinya perempuan dalam hal ini ibu rumah tangga sudah dapat dipastikan karena minimnya informasi tentang HIV dan AIDS disamping persoalan ketimpangan gender antara pola relasi laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Selain itu program HIV dan AIDS khususnya jika di lokalisasi prostitusi, tingkat kesadaran “pelanggan” dalam hal ini laki-laki untuk menggunakan kondom sangat rendah (3%). Laki-laki jika berhubungan seks dengan istri karena dianggap sudah “sah dan halal” sangat kecil sekali menggunakan kondom. Inilah salah satu faktor mengapa angka HIV dan AIDS pada perempuan semakin naik.

Disamping para perempuan (ibu rumah tangga), sangat minim informasi dan posisi tawar untuk memaksa atau meminta suaminya menggunakan kondom saat melakukan hubungan sex secara penetrasi.  Ini yang diampaikan oleh UNICEF dalam ringkasan kajian tahun 2012 sebagai proses feminisasi efidemi HIV pada perempuan.

Selama ini seseorang yang terinfeksi virus HIV sudah dilekatkan stigma sebagai pihak yang “amoral”. Kita ingat bagaimana Tifatul Sembiring, menteri komunikasi dan informasi RI dalam akun twitternya pada tanggal 12 November 2009 pernah menyatakan bahwa,  “Penyebab HIV/AIDS dri Kaum Gay Meningkat Tajam. Kata dokter: perilaku seks yg menyimpang adalah sbg penular virus tsb. bahwa homoseksual sebagai peyebar virus HIV dan AIDS”.  Dalam akun  yang sama, sang menteri juga melanjutkan tambahan twitternya,  Kata Prof. Sujudi, mantan menteri kesehatan, agar mudah diingat singkatannya AIDS=Akibat Itunya Dipakai Sembarangan”.  Di tahun 2014, akun twitter sang menteri yang dikabarkan pelaku poligami ini “kepleset” mem-follow sebuah akun porno.

Dari data Kemenkes ini, sudah saatnya meninggalkan cara pandang “primitif” seperti yang disampaikan oleh sang Menteri yang melekatkan HIV dan AIDS dengan moral seseorang. Persoalan virus HIV adalah persoalan sosial yang di dalamnya tentang kesehatan masyarakat sehingga harus diselesaikan dengan cara itu juga, bukan dengan tuduhan-tuduhan amoral.

Semua orang beresiko terinfeksi HIV, mau beragama ataupun tidak beragama, mau “baik-jahat”, mau sah atau tidak sah berhubungan sex, poligami atau tidak berpoligami.  Semua beresiko.

Solusinya adalah memberikan pendidikan kesehatan reproduksi yang didalamnya tentang isu HIV dan AIDS pada semua pihak, khususnya pada perempuan dan anak remaja. Pendidikan sex jangan lagi ditabukan untuk diketahui oleh setiap orang. Kemudian bagi yang sudah melakukan hubungan sex secara penetrasi,oral dan anal seks untuk selalu menggunakan kondom kepada pasangan manapun.

Mungkin dapat dicoba tips lain untuk dapat melakukan hubungan seks yang lebih variasi sehingga tidak selalu melakukan hubungan seks yang beresiko terinfeksi penyakit seksual.  Karena kenikmatan hubungan seks bukan hanya penetrasi, anal atau oral tanpa kondom, masih banyak lagi seni bercinta yang tak beresiko. Dan tidak kalah pentingnya kesadaran atas otonomi tubuh dan kesadaran akan keadilan gender bagi laki-laki, perempuan maupun transgender. Kemudian pentingnya membangun relasi yang setara dalam melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Inilah cara yang efektif untuk menghindari terinfeksi virus HIV bagi diri dan selalu rutin melakukan test HIV dirumah sakit atau Puskesmas rujukan terdekat dari kita.

*Direktur Perkumpulan Suara Kita