Suarakita.org- Saya pindah ke Belanda semenjak usia 10 tahun. Perkenalan saya dengan dunia LGBT dimulai saat saya masih kecil. Ketika masih tinggal di Belanda, saya memiliki seorang paman yang kata mama, “Bisa dipanggil tante.” Ia adalah teman baik mama, berkebangsaan Suriname. Saya masih ingat gaya paman saya ini berdandan. Ia kerap mengenakan jubah. Penampilannya menarik sekali.
Pada saat saya masih duduk di bangku SMA, saya memiliki beberapa teman laki-laki yang mengatakan bahwa dirinya gay pada saya. Saya bersekolah di sebuah kota kecil di Belanda, 25 kilometer dari Amsterdam. Menurut saya, saat seorang lelaki hidup di kota kecil dan berani membuka dirinya seorang gay, itu adalah sebuah tindakan yang berani. Di kota kecil tersebut semua pemuda laki-lakinya sangat menyukai olahraga. Pembawaan mereka maskulin sekali. Begitu juga dengan teman saya yang mengaku dirinya gay.
Ternyata, tidak semua gay memiliki sikap feminin
Saya menghargai kejujurannya kepada saya. Keberaniannya membuka dirinya di usia yang masih muda adalah hal yang membuat saya kagum, apalagi di kota kecil. Banyak orang yang menyangka jika hidup di Belanda, dengan budaya yang ‘Barat’, orang bisa lebih santai. Nyatanya tidak juga. Masih ada beberapa teman di sekolah yang suka mengejek dan menghakimi. Ini menurut saya tidak benar. Namun, hal positifnya adalah mereka terbiasa dengan diskusi. Masalah LGBT dapat didiskusikan di keluarga dan sekolah. Guru dan orangtua pun tidak malu untuk ikut berdiskusi. Mereka memberikan dukungan dan memperlakukan para LGBT sama seperti siswa lain.
***
Saya masih nggak paham jika ada yang mengatakan bahwa terlalu banyak berteman dengan lesbian dan gay, seseorang yang tadinya bukan lesbian atau gay dapat berubah. Pendapat seperti ini apa dasarnya?
Saya memiliki banyak teman lesbian dan sampai sekarang saya tidak menjadi lesbian.
Analoginya gini deh, yang gampang: jika tubuh kita alergi dengan pisang, lalu berkumpul dengan teman-teman yang suka makan pisang, ini tidak akan membuat tubuh kita terinfeksi jadi bisa makan pisang. Teman-teman lesbian saya menghargai saya. Mereka tidak pernah menggoda saya. Mereka menghormati identitas kami yang berbeda dan tidak pernah membuat saya tidak nyaman.
Saya tidak masalah jika memiliki anak gay atau lesbian
Jika suatu hari anak saya mengatakan bahwa dirinya gay atau lesbian, saya sudah memiliki banyak cerita yang dapat saya berikan. Untungnya, berteman dengan para LGBT memberikan saya referensi mengenai sisi kehidupan yang tidak pernah saya jalani. Saya bisa menceritakan kisah mereka kepada anak-anak saya, jika diperlukan.
Semua orangtua memiliki mimpi untuk anak-anaknya. Buat saya, mimpi saya adalah anak-anak saya memiliki mimpi dan menggapai mimpi tersebut. Saya ingin anak-anak saya bahagia menjadi dirinya sendiri.
***
Di kehidupan profesi, saya banyak bertemu dengan para gay dan lesbian. Saya mulai bekerja sejak tahun 2000. Bekerja dengan mereka memberikan kepuasan. Mereka selalu total dalam mengerjakan tugas dan tidak pernah menghasilkan pekerjaan yang biasa-biasa saja. Selalu unik
Bekerja dengan para gay dan lesbian artinya tidak bekerja dengan pemalas.
Mungkin, dilahirkan berbeda memberikan dorongan kepada para LGBT untuk menjalani hidup dengan fighting spirit yang luar biasa. Ini lah yang menurut saya membuat mereka luar biasa. Saya merasa ada keinginan dari mereka untuk diperlakukan sama seperti yang lain dan itu ditunjukkan dengan kiprah dan etos kerja mereka.
Berteman dengan para gay dan lesbian, membuat hidup lebih berwarna. Keberadaan mereka memberikan informasi tambahan mengenai keberagaman hidup. Di samping itu, berteman dengan mereka mencegah saya untuk berasumsi. Kadang-kadang kita suka terjebak untuk memberikan asumsi daripada bertanya. Ini menjadikan saya menjadi manusia yang lebih baik.
***
Salah satu teman gay saya bernama Nicky. Awal mengenalnya dari twitter, kebetulan saat itu ada temen twitter yang sudah mengenal Nicky dan sedang bekerjasama dengannya. Bersama Daniel Ziv, penulis buku Jakarta Inside Out, saya dipertemukan dengannya. Nicky adalah orang yang pandai berargumen. Jika ia memiliki argumen, ia tidak takut untuk mengungkapkannya, beserta alasannya.
Pertama kali ketemu Nicky, saya sudah tahu ia adalah seorang gay dari twitter-nya. Buat saya, itu bukan suatu masalah untuk bisa berteman dengan seseorang. Jadi, pertama kali ketemu, saya bisa langsung tanya, “Pacarnya siapa?”
Nicky pun menjawabnya juga dengan santai saja. Dari situ, Nicky mulai cerita mengenai kehidupan pribadinya. Dari cerita-cerita Nicky, saya melihat kehidupan gay tidaklah jauh berbeda dengan orang-orang lain pada umumnya.
Saya masih melihat Nicky dan orang-orang seperti Nicky merasa sendirian. Saya sedih melihatnya. Jangan merasa karena dilahirkan berbeda, masyarakat akan menolak keberadaan LGBT. LGBT berhak diperlakukan sama
Untuk para teman-teman LGBT, kalian tidak sendirian.
Janganlah malu terhadap diri sendiri. Tidak usah sibuk menjadi orang lain. Mohon jangan melihat saya sebagai seseorang yang normal, karena kalian juga normal. Orang-orang yang menyayangi kalian mampu menerima kalian walaupun berbeda. Menjadi gay atau lesbian tidak akan membuat hidup seseorang terbatas. Tetap akan ada orang-orang dan pekerjaan yang dapat menerima kalian. Kalian akan tetap bersinar.
*Misty Diansharira telah berkeluarga dan merupakan ibu dari dua anak. Saat ini Misty—begitu ia akrab disapa—bekerja sebagai Business Director di salah satu agensi iklan multinasional. Ia menangani departemen yang khusus menangani solusi kreatif dari program-program tanggung jawab sosial. Pemilik akun twitter @mistydian ini menamatkan pendidikan sarjana di bidang antropologi di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda dan menamatkan pascasarjananya di bidang dan universitas yang sama. Misty adalah salah satu sahabat Nicky Yuventius
Sumber : melela.org