Suarakita.org- Aku tidak pernah berfikir akan melela di umurku yang masih muda, 18 tahun. Di saat semua teman-temanku memikirkan ke mana mereka akan kuliah dan apa yang akan mereka hadapi setelahnya, aku hanya tersenyum ketika mendengar mimpi-mimpi mereka yang tinggi sekali. Namun di saat yang sama, aku juga bersedih dalam diriku, mengapa aku tidak bisa seperti mereka yang memikirkan mimpi mereka?
Hari itu, tepat di malam kelulusan SMA, aku sedang berada di Bandung. Malam itu entah mengapa terasa sepi, padahal tv menyala dan aku sedang bermain piano. Entah. Aku sudah tidak memikirkan apa-apa lagi, yang terlintas hanya keinginanku untuk bahagia. Kemudian aku keluar rumah dan pergi berjalan kaki mengitari area rumahku. Handphone kugenggam dengan erat dan aku terus memikirkan hal terburuk jika memang nanti orangtuaku tidak bisa menerimaku. Kemudian, dengan jantung yang berdebar, aku mencoba menelepon Ayah.
Aku hanya tersenyum ketika mendengar mimpi-mimpi mereka
“Hallo, Pa?” kataku.
Di seberang sana, ia menjawab dan kami mengawali percakapan di telepon dengan mengobrol seperti biasa.
Di tengah percakapan, tiba-tiba aku bertanya, “Papa sayang, nggak, sih sama aku?”
Dan beliau menjawab, “Ya”.
Setelah mendengar jawaban itu aku menangis dan mengatakan bahwa “Aku gay.”
Ayahku pura-pura tidak mendengar, dan aku tahu dia pergi keluar kamarnya, karena itu kebiasaannya jika obrolan sudah mulai serius. Awalnya Ayah sangat kaget, bahkan ucapannya terbata-bata saat berbicara. Lalu Ayah mulai menangis, aku tahu. Tetapi dari nada bicaranya, dia begitu tegar, dia tidak bersikap arogan yang memaksaku harus ‘sembuh’ atau semacamnya. Beliau hanya berpesan padaku supaya aku menjaga diriku dan dia ia ingin aku untuk terus mengejar mimpiku!
Aku kembali menangis dan saat itu aku bersyukur aku memiliki Ayah seperti dia.
Setelah melela atau belum, perasaanku tidak berubah terhadap Papa dan anggota keluargaku yang lain. Aku tetap menyayangi mereka, bagaimana pun. Aku juga tidak ingin mengubah suatu apapun dari mereka. Beberapa anggota keluarga ingin aku pergi ke psikolog atau pesantren, tetapi aku rasa, hal ini tidak diperlukan. Aku masih bisa menjalankan fungsiku sehari-hari, produktif, dan tidak mengganggu orang lain. Tidak ada yang salah dengan diriku dan aku melihat ini hanyalah salah satu proses penerimaan yang harus aku sikapi dengan dewasa dan sabar.
Aku bersyukur memiliki Ayah seperti dia
Terlahir menjadi gay atau bukan, aku rasa, akan ada pihak-pihak yang berseberangan dengan kita. Terbukalah dan dengarkan kritikan dari mereka, tetapi jangan lupa pula mendengarkan suara hati kecil. Bagaimana pun, hidup harus tetap berjalan. Terkadang, aku harus memaksa diriku untuk tersenyum walaupun batinku berkata sebaliknya.
Satu hal yang kurasakan setelah melela adalah dampaknya membangun jiwa mandiri dalam diriku. Masih banyak hal-hal yang ingin kuraih dan mimpi yang ingin kuwujudkan. Aku akhirnya mencoba menuliskan mimpi-mimpi yang ingin kuraih dalam sehelai kertas. Ternyata, jumlah mimpiku ada 101. Salah satunya, aku ingin menjadi seorang komposer musik.
***
Wisesa Wirayuda saat ini sedang menjalani pendidikan musik di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung. Ia mengambil jurusan Seni Musik Tradisional Karawitan di sana. Baru-baru ini, Esa—begitu ia akrab disapa—pernah menjuarai kompetisi paduan suara se-Jawa Barat. Di waktu luangnya, ia gemar membaca buku-buku fantasi seperti Harry Potter dan Vampire Academy. Menulis juga salah satu kegiatan yang ia gemari. Ia tengah menyelesaikan novel karyanya sendiri. Sapa Esa melalui akun twitter-nya di @WiseW4.
Sumber : melela.org