Search
Close this search box.

243640_diana-rakipi--burrnesha-asal-albania_663_382Suarakita.org- Jika dilihat sekilas, para Burrnesha di Albania, terlihat seperti lelaki setengah baya pada umumnya. Tapi, sebenarnya ada kisah luar biasa di balik penampilan mereka. Para Burrnesha adalah wanita yang “dipaksa” menjadi lelaki karena tuntutan keluarga.

Burrnesha, atau yang lebih dikenal dengan nama “Bersumpah Perawan” adalah tradisi yang telah berlangsung di kawasan utara Albania sejak abad pertengahan. Tradisi tersebut mengharuskan anak perempuan pertama dalam keluarga untuk bertindak, berperilaku dan berpenampilan layaknya pria, menggantikan kepala keluarga.

Sejarah tradisi tersebut dipercaya bermula pada abad ke-15, di mana banyak keluarga di Albania yang kehilangan sosok lelaki akibat perang antarsuku. Guna mengatasi hal tersebut, anak perempuan tertua secara otomatis harus mengambil alih tugas sebagai kepala keluarga.

Dengan demikian, semua hak dan kewajiban pria juga ikut melekat pada perempuan tersebut. Atau dengan kata lain, mereka harus bertindak dan berpenampilan layaknya lelaki. Mereka juga dibebaskan dari “batasan” yang mengikat kaum perempuan. Mereka diperkenankan minum minuman beralkohol, merokok, membawa senjata, juga berkumpiul dengan pria lainnya.

Tapi, di sisi lain, mereka juga harus mengambil sumpah selibat. Mereka tidak diperkenankan menikah. Dari situlah nama “Bersumpah Perawan” berasal.

Tradisi tersebut memang sudah berumur lebih dari 600 tahun dan mulai dilupakan. Namun, bukan berarti para Burrnesha sudah menghilang. Salah satu Burrnesha yang masih tersisa, Qamile Stema (92 tahun) berbagi cerita kepada seorang fotografer asal Spanyol, Luis Dafos.

Dilansir Daily Mail, Qamile sudah bersumpah perawan sejak berusia 20 tahun. Pada waktu itu, hal tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk mempertahankan tanah warisan keluarga, dan melindungi kesembilan adik perempuannya, sepeninggal ayah mereka.

Qamile merupakan satu dari sedikit Burrnesha terakhir yang masih hidup di desa Baraganesh, Albania. Akibat sumpahnya, Qamile harus menanggung hidup sepi, tanpa pasangan.

Ketika ditanya bagaimana cara mendeskripsikan diri sendiri, Qamile menjawab ringan, “Saya pikir, saya selalu jadi manusia dari kedua sisi gender, wanita sekaligus pria,” papar Qamile.

Bagi para perempuan modern, hidup sebagai Burrnesha mungkin dipandang sebagai sebuah hukuman seumur hidup. Namun, di desa kecil Baraganesh, Burrnesha adalah status yang dihormati dan dengan menyandang status tersebut, perempuan mendapatkan “kebebasan” serta kesetaraan dengan kaum adam. Mereka juga bisa memiliki tanah pribadi, hal yang mustahil bagi wanita.

“Di Baraganesh, perempuan adalah properti bagi ayah dan suami mereka,” cerita Qamile. Di masanya, seringkali remaja perempuan dipaksa menikah dengan pria berusia jauh lebih tua dan punya tanggung jawab besar mengurus rumah serta ladang.

Berbeda dengan Qimela, Diana Rakipi (59), justru secara sukarela menawarkan diri menjadi Burrnesha. Dia bersumpah perawan ketika menginjak usia 17 tahun. “Saya tidak merasa terpaksa. Saya selalu tahu tidak ada masa depan dengan menjadi perempuan di sini. Dengan menjadi pria, saya mendapatkan kekuasaan dan kebebasan untuk menentukan hidup sendiri. Tidak ada penyesalan,” tuturnya kepada harian lokal RT.

Sementara itu, Hajdari (86), sudah sejak kecil belajar menjadi pria dan memang berkeinginan menjadi Burrnesha. “Mama selalu memukul saya dan berusaha memakaian pakaian feminin, tapi saya tidak suka menjadi perempuan. Saya ingin menjadi Burrnesha,” kata Hajdari yang bersumpah perawan di usia 12 tahun.

Kendati hidup sebagai pria, para Burrnesha menyangkal bahwa mereka adalah homoseksual yang menyukai sesama wanita. “Inti menjadi Burrnesha bukanlah tentang perempuan yang punya kebebasan menyukai perempuan lain, tapi lebih ke kesetaraan dengan kaum pria. Kami bukan lesbian,” tutur Hajdari. (one)

Sumber : viva.co.id