Penulis : Tanti Noor Said*
Suarakita.org- Mulai bulan Januari 2014 Facebook U.S (Amerika) memuat sekitar 56 pilihan jender untuk mereka yang tidak (dapat) mengidentifikasikan diri mereka dengan pilihan male atau female. Artikel ini tentu disambut dengan gembira oleh para aktivis dan teman-teman yang setuju bahwa jender tidak terbatas dengan male dan female.
• Agender
• Androgyne
• Androgynous
• Bigender
• Cis
• Cisgender
• Cis Female
• Cis Male
• Cis Man
• Cis Woman
• Cisgender Female
• Cisgender Male
• Cisgender Man
• Cisgender Woman
• Female to Male
• FTM
• Gender Fluid
• Gender Nonconforming
• Gender Questioning
• Gender Variant
• Genderqueer
• Intersex
• Male to Female
• MTF
• Neither
• Neutrois
• Non-binary
• Other
• Pangender
• Trans
• Trans*
• Trans Female
• Trans* Female
• Trans Male
• Trans* Male
• Trans Man
• Trans* Man
• Trans Person
• Trans* Person
• Trans Woman
• Trans* Woman
• Transfeminine
• Transgender
• Transgender Female
• Transgender Male
• Transgender Man
• Transgender Person
• Transgender Woman
• Transmasculine
• Transsexual
• Transsexual Female
• Transsexual Male
• Transsexual Man
• Transsexual Person
• Transsexual Woman
• Two-Spirit
Apa pilihan teman-teman setelah melihat sejumlah pilihan diatas? Kalau saya punya dua pilihan, yaitu Non-binary dan Two-Spirit (Apapun maknanya). Ternyata jender dapat juga menjadi menarik dan kreatif seperti kita membaca zodiak atau ramalan. Tidakkah kita menginginkan bahwa suatu hari kita akan mampu mendiskusikan jender tanpa perdebatan sengit akan hirarki dan masalah dominasi serta kekuasaan? Tapi sampai hal tersebut terjadi, mari kita bahas kembali latar belakang dan logika di balik perdebatan pembagian jenis kelamin dan jender dalam ranah akademis, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial dan kesetaraan.
Beberapa minggu belakangan ini, saya kembali mempelajari Gender Trouble, sebuah karya yang sangat fenomenal dari Judith Butler. Keterbatasan pengetahuan filsafat dan ditambah dengan bahasa Inggris menyandung ambisi saya untuk memahami buah karya Butler ini. Dan Butler sendiri mengakui adanya hegemoni bahasa yang tidak memberikan ruang bagi semua orang untuk berpartisipasi dalam debat ilmiah.
Terlepas dari keterbatasan yang ada, Judith Butler mengakui bahwa kelompok akademisi terkadang tidak menyadari keinginan dan hasrat publik (selain kalangan akademisi) yang memiliki kemampuan dan ambisi yang besar untuk memahami buah pikirannya yang berpengaruh dalam masalah jender. Animo publik tersebut rupanya telah meletakkan buku ini sebagai salah satu buku yang paling laris, untuk kategori buku ilmiah.
Jender dan identitas
Apakah “identitas jender” ada setelah “identitas” ada? Tentu tidak. Menurut Butler, kita tidak mungkin memposisikan identitas jender menjadi hanya bagian dari identitas, dan juga bukan menjadikannya identitas yang utama. Beberapa Filosof seperti Simone De Beauvoir, Luce Irigaray dan Monique Wittig juga berkontribusi pada perdebatan dan diskusi mengenai identitas jender, kaitannya dengan ketidaksetaraan dan heteronormativitas.
Jika Simone De Beauvoir dengan sebuah argumentasi legendarisnya, yaitu “One is not born, but rather becomes, a woman”, yang artinya menjadi perempuan di dalam sebuah masyarakat adalah sebuah hasil konstruksi. Beauvoir membedakan antara jenis kelamin dan jender. “Being female” adalah berbeda dengan “being woman.” Karya Beauvoir ini tentu sangat eksistensialis dan Sartrian. Kontribusi Sartre yang mengedepankan “freedom” dalam “being and nothingness” sangatlah dominan dalam pemikiran di balik argumentasi ini. Konsep freedom tentu sarat akan relasi kekuasaan yang beroperasi dengan sangat rumit. Jika memang jender adalah hasil sebuah konstruksi, maka seharusnya dapat dikonstruksi dengan cara lain, tidak heteronormatif dan patriarkal, begitu tanggapan Butler.
Irigaray dan Wittig, dua filosof Perancis lainnya juga memiliki kontribusi yang cukup memperkaya diskusi identitas yang digelar oleh Butler. Bagi Irigaray, seorang ahli Psikoanalisis dan filosof lulusan Program Doktor Linguistik dari Universitas Leuven yang juga seorang murid Jacques Lacan, “satu-satunya yang diakui adalah maskulinitas.”Pernyataan ini adalah pernyataan yang sangat kuat, berpengaruh, namun juga mengundang kontroversi. Perempuan menurut Irigaray, tidak eksis dalam kehidupan sehari-hari kecuali dalam atau memiliki fungsi ekonomi. Konsep “kapital” dari Karl Marx, tentu saja membingkai pemikirannya tersebut.
Salah seorang ahli yang tidak mungkin dilewatkan dalam diskusi ini, yang juga tidak kalah berpengaruhnya dalam pemikiran-pemikiran Judith Butler adalah Monique Wittig. Menurut Wittig, argumentasi Irigaray akan tidak eksisnya perempuan dan femininitas dalam jender, justru mengembalikan jender pada dikotomi yang bersifat binary dan hirarkis tadi. Menurutnya kategori jender perempuan memang eksis dengan segala maknanya dengan kaitannya dengan laki-laki. Sikapnya terhadap pembedaan jender adalah dengan tidak membedakannya. Ia tidak mengakui dirinya sebagai penulis perempuan. Menurutnya penulis adalah penulis, tidak ada penulis laki-laki atau perempuan. Wittig dengan buah pikirannya yang membahas seksualitas perempuan lesbian, menyatakan bahwa keinginan seksual itu tidak mengenal jender. Lesbian itu tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin perempuan. Hasrat seks menurutnya adalah hasrat yang bebas. Jika aturan dan norma yang heteronormatif itu tidak ada, istilah heteroseksual dan homoseksual seharusnya tidak perlu ada.
Kesimpulan
Sistem “binary opposition” dalam jenis kelamin dan jender (laki-laki atau perempuan) yang menjadi poros berfikir sistem heteronormatif adalah akar dari kerumitan dan dilema dalam wacana seksualitas selama tahunan. Akar akan adanya anggapan jender dan seksualitas yang normal dan tidak normal. Menurut Judith Butler, jika transgender ataupun tomboy tidak berlaku (act) seperti jender asli (real), artinya jender yang real itu ada. Sampai kapanpun, jika heteronormativitas adalah akar dari acuan kita berfikir tentang seks dan jender, maka kita akan menghabiskan waktu untuk melakukan normalisasi dan naturalisasi seks yang diluar dari norma-norma hetero.
Dan beginilah cara kekuasaan beroperasi menurut Foucault. Sebagai warga, kita berada dibawah tangan penguasa yang mengatur kita dengan seperangkat norma-normanya. Norma tersebut beroperasi dengan melalui aturan, mitos, dosa, sangsi bahkan perlindungan. Hal-hal inilah yang memasuki ranah yang paling pribadi dan intim dalam perihal seks, jender dan seksualitas. Hal ini terus dan terus berkaitan dengan berbagai sektor dalam kehidupan kita dari ekonomi, agama, sosial dan budaya. Sebuah cara mengatur warga dengan sedemikian rumitnya sehingga kitapun menyerah dan tidak tau lagi di mana pangkal ujungnya.
Sumber bacaan
-http: www.boston.com
–Butler, Judith. 1990. Gender Trouble : Feminism and the Subversion of identity. Routledge.
*Penulis adalah kontributor Ourvoice Indonesia.