Tanpa Suara
Karya : Lian Paray
Suarakita.org– Aku mendengarkan lagu yang di nyanyikan oleh teman-teman sekelasku. Alat bantu pendengaran yang terpasang dikupingku, membuatku bisa mendengar lebih jelas dari sebelumnya. Meski aku yakin pendengaran orang normal jauh lebih jelas daripada apa yang bisa aku dengar sekarang. Namun begitu, aku sudah merasa beruntung.
***
Aku menoleh saat merasakan tangan seseorang memegang pundakku. Dia tersenyum dan kubalas pula dengan senyuman. Dia menggerakan jari dan tangannya membentuk huruf- huruf yang kuartikan sebagai pertanyaan ‘sedang apa?’.
Aku hanya mengangkat buku pelajaranku dan memperlihatkan gambar sampulnya. Jari-jarinya bergerak lincah ‘ulangan Biologi kan lusa. ’ Aku membalasnya dengan gerakan jari pula ‘Banyak yang aku belum hafal, jadi aku harus belajar.’
Dia hanya mengangkat bahunya. Dia lalu duduk disebelahku. Aroma tubuhnya yang maskulin menusuk kehidungku. Namanya Fahry. Dia sama sepertiku. Kami bisu dan tuli. Sebenarnya tidak terlalu tuli, karena aku masih bisa mendengar dengan samar.
Fahry menepuk lenganku pelan. Dan saat aku menoleh, dia membuat gerakan tangan kearah mulutnya.
Aku menggeleng.
Fahry merogoh kedalam tasnya dan mengeluarkan sebungkus roti. Kebiasannya memang selalu membawa roti kesekolah, sebab di rumah dia tidak makan . Dia menyodorkan roti itu padaku. Fahry menunduk sekali karena aku hanya diam dan tidak juga mengambil rotinya.
‘Kamu’ aku menujuknya.
Dia menggeleng dan tersenyum.
Aku tau Fahry juga belum makan. Tapi dia memang selalu mendahulukan aku. Aku mengambil roti ditangannya dan membuka bungkusnya. Roti itu kubagi dua dan kuberikan padanya setengahnya. Dia menolak tapi aku memaksa. Aku menghabiskan separuh roti dan Fahry separuhnya. Kami saling pandang kemudian tertawa dengan kekonyolan yang romantis ini. Oya.. suara kami bisa terdengar saat sedang tertawa.
***
“Ar, kamu sudah selesai PR matematikanya?” Tanya Aurora, teman sekelasku.
Aku memang sekolah di sekolah SMA Negeri biasa, bukan di SLB – sekolah yang biasa dihuni oleh orang berkebutuhan khusus sepertiku. Tapi itu tidak menjadi masalah. Buktinya aku bisa masuk jajaran lima besar siswa yang berprestasi disekolah. Aku memang agak kesulitan mendengarkan penjelasan guru-guru tentang pelajaran. Tapi itu dua tahun yang lalu saat aku belum memakai alat bantu pendengaran. Alat itu sangat membantu.
‘Sudah, memangnya kau belum?’ aku menulisnya di notebook kecil yang selalu kubawa dikantongku.
“Aku masih ada yang tidak paham. Boleh aku lihat punyamu?”
Aku mengangguk. Sebenarnya kalau hanya mendengarkan saja kadang aku masih tidak begitu paham. Aku lebih fokus memperhatikan gerakkan bibir seseorang yang menjadi lawan bicaraku. Aku mengambil buku di dalam tasku dan menyerahkannya pada Ola–dia biasa dipanggil begitu.
“Aku boleh duduk disini ya..” Ola langsung duduk begitu aku mengangguk.
Aurora, gadis yang kutaksir saat aku kelas satu. Wajahnya imut dan cantik. Sayangnya aku tidak berani jujur kalau aku suka dengannya. Aku cukup sadar dengan keadaanku. Bukan hanya karena aku cacat, tapi juga karena aku berasal dari keluarga sederhana. Amat sangat sederhana. Sedangkan Ola berasal dari kalangan keluarga terpandang dan kayaraya. Namun begitu, sifatnya tidak sombong dan tidak pernah memilih teman karena status ekonomi. Dia baik dan ramah. Itulah yang membuatku jatuh hati.
“Makasih ya Ardy. Aku ke mejaku dulu ya.” Ola tersenyum lalu beranjak ke mejanya.
Aku masih agak deg-degan saat melihatnya tersenyum. Ada sedikit rasa yang tertinggal.
***
Aku sedang makan siang dirumah saat handphone–ku bergetar. SMS dari Fahry.
From : Fahry
Ay.. kt jdi kn jln sre ne,,
Aq jmpt jam 4, ok.
Aku langsung mengetikkan balasan.
To : Fahry
Jdi donk say,, ak tnggu.
Aku dan Fahry suka memanggil masing-masing begitu. Tentu saja kami tak benar- benar mengucapkannya. Bukan kami tidak serius, tapi jelas karena kami bisu. Jadi kami hanya menggunakannya saat SMSan saja.
Sebenarnya hubunganku dan Fahry tidak begitu jelas. Tidak ada kata pacaran yang tersemat. Kami hanya teman dekat. Teman yang sangat dekat. Tapi perhatian yang diberikan Fahry bisa kuartikan dengan jelas kalau dia menyukaiku. Hanya saja dia tak pernah mengungkapkannya. Dan aku juga begitu.
***
‘Mau?’ Fahry memberi isyarat dengan jarinya.
Aku mengangguk.
Fahry menunjuk gambar es krim berbentuk corong dengan rasa coklat dan memberi tanda dua dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Penjualnya sepertinya paham dengan isyarat Fahry. Segera saja dia mengambilkan es krim yang Fahry maksud. Fahry mengambilnya lalu membayarnya. Tak perlu lama, cukup lima detik satu es krim beralih ketanganku. Aku suka es krim coklat, Fahry tau itu.
Aku mengamati disekitarku sambil menjilati es krim di tanganku. Lumayan ramai. Hari ini adalah hari sabtu dan taman ini memang selalu ramai kalau weekend. Fahry menjemputku tepat pukul 16.00 WIB. Jika ada orang yang paling on time, Fahry lah orangnya.
Fahry menepuk pelan bahuku. Dia mengajakku duduk di kursi taman yang baru saja di tinggalkan oleh pengunjung lain. Aku sudah ingin duduk tapi Fahry malah menahanku. Tangannya mengibas-ngibas kursi yang sedikit berpasir, karena pengunjung tadi duduk dengan mengangkat kakinya keatas kursi. Setelah selesai dia baru menyuruhku duduk. Kadang aku geli sendiri karena perhatian Fahry. Tapi, jujur aku suka.
‘Habiskan.’ Isyarat tangannya.
Aku tersenyum dan mengangguk.
‘Enak?’ dia bertanya tanpa suara.
Sekali lagi aku mengangguk.
‘Mau lagi?’ bahasa tangan dan jarinya.
Aku menggeleng ‘kenyang.’ Kujawab dengan mengusap perutku.
Duduk kami sangat rapat. Bahunya bahkan menyentuh bahuku. Bukannya kami sengaja, tapi sebenarnya bangku yang kami duduki ini hanya muat untuk satu orang. Tapi aku malah senang. Dan sedikit gugup kalau duduk berdua sedekat ini dengannya di depan umum. Kurasa aku saja yang berlebihan, orang lain pasti juga tidak peduli dengan kami.
Tangan Fahry perlahan meraih tanganku. Saat aku menatapnya dia tersenyum. Dia menggenggam tanganku lebih erat dan meremasnya perlahan.
Aku balas tersenyum.
***
‘Indahkan.’ Bahasa tangannya.
Aku mengangguk antusias ‘Kenapa baru sekarang kamu bawa aku kesini.’ Tangan dan jariku bergerak lincah.
‘Aku juga baru tau kok. Ayah yang kemaren bawa aku kesini.’ Gerakan jari Fahry tak kalah lincah.
Aku menyeringai.
Fahry mengacak rambutku gemas. Dia memang paling suka begitu.
Kami ada di daerah perbukitan. Satu jam lebih perjalan dari taman tadi ke tempat ini. Lumayan pegal. Tapi kalau untuk bersama Fahry kemanapun akan ku ikuti. Duduk di boncengan motor matic warna merah milik Fahry tidak akan membuatku bosan. Terutama yang mengemudikannya adalah cowok tampan. Aroma maskulin yang terkuar dari tubuhnya seolah merasuk dalam tubuhku. Aku terbuai bersama detak jantung yang berirama dua kali lebih cepat. Padahal aku cukup sering di bonceng olehnya, tapi aku masih belum bisa mengontrol kegugupanku.
Fahry menarik tanganku. Dia membawaku ketempat yang lebih ketepi. Aku paham kenapa dia menarikku kesini, kami bisa memandang sunset lebih jelas dari posisi ini. Fahry mengajakku duduk. Kami duduk diatas rumput liar, menyaksikan keindahan yang di ciptakan Tuhan. Sungguh luarbiasa. Warna langit berubah menjadi jingga. Andai aku bisa bicara, aku ingin sekali memujinya dengan kata-kata indah.
Fahry merangkulkan tangannya kepundakku. Dia menarik bahuku lebih mendekat dan menyandarkan kepalaku dibahunya. Aku mengalihkan pandangankku kewajahnya. Dia tersenyum. Perlahan wajahnya mendekat kewajahku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya begitu dekat. Aku lebih memilih menutup mataku, meresapi detak jantungku yang semakin tak beraturan. Lembut dan basah. Aku merasakan bibirnya menempel dibibirku. Mencumbu dan menggitnya sedikit. Aku sama sekali tak pandai berciuman. Kubiarkan Fahry yang memimpin. Lidahnya memaksa masuk saat aku sedikit membuka mulutku. Aku membalas ciumannya sebisaku.
Sedikit demi sedikit ciuman lembut itu berubah menjadi nafsu. Fahry sudah menindihku sekarang. Tangannya menelusup masuk ke dalam celana jeans–ku. Retsleting celanaku sudah terbuka entah sejak kapan. Tangan kirinya meremas-remas ade kecilku, sementara tangan kanannya menelusup dibawah tengkukku. Bibir kami terus berpagut. Disela dengan nafas tak beraturan. Di bawah langit yang mulai gelap dan nyamuk yang beterbangan, kami bercinta. Membagi desahan-desahan yang entah terdengar atau tidak.
***
“Untukmu, kau belum makan kan.” Ola menaruh jajanan dan roti diatas mejaku.
Aku menolak dengan menggeleng dan menyerahkan snack-snack itu.
“Tidak apa-apa, kamu sudah baik padaku.” Jawabnya dengan tersenyum. Ola lantas berjalan kebangkunya.
Sebenarnya aku tidak keberatan sama sekali jika diberikan makanan seperti ini. Hanya saja seseorang yang duduk disebelahku wajahnya terus merengut. Aku tau Fahry tidak suka melihatku dekat dengan Ola. Mungkin dia cemburu. Padahal aku sudah bilang kalau diantara aku dan Ola tidak ada apa-apa, kami hanya berteman biasa. Tapi Fahry tidak percaya. Dia bilang perhatian Ola padaku berbeda kepada teman yang lain. Jelas sekali kalau Ola menyukaiku. Dan Fahry sebenarnya tau kalau dulu aku sempat suka pada Ola, itulah yang membuatnya khawatir. Dia takut aku berbalik ke Ola.
Aku menaruh tanganku di atas tangan Fahry. Dia menoleh menatapku. Aku menarik buku gambar yang ada dihadapannya. Tadi Fahry sibuk menggambar, aku tau dia hanya pura-pura. Mana mungkin dia bisa fokus kalau Ola sedang berada didekatku. Aku lalu merampas pensil dari tangannya. Kucoret buku itu membentuk hati. Aku menuliskan inisial nama kami di dalamnya. Aku menambahkan kalimat dibawahnya, i love you Fahry.
Fahry yersenyum begitu menerima buku gambarnya lagi. Lebih tepatnya tersenyum membaca tulisanku. Dia menatapku dan berkata tanpa suara ‘i love you too.’
***
Aku membaca SMS dihandphone –ku.
From : Fahry
Qm dmna?
Aku membalasnya.
To : Fahry
Ak drmah..
SMS masuk lagi.
From : Fahry
Ngpain?
Aku mengetik balasan.
To : Fahry
lagi belajar…
Sebenarnya aku bohong. Aku sedang di toko buku bersama Ola. Aku ingin bilang pada Fahry tapi takut dia marah. Tadi sore Ola datang kerumahku dan minta tolong untuk ditemani membeli buku. Aku sedikit ragu, tapi juga tidak enak untuk menolak.
“Siapa?” tanya Ola, ditangannya sudah ada setumpuk buku.
Aku memperlihatkan nama pengirim.
“Kalian teman akrab ya.” Serunya. Tentu saja, kami bahkan lebih dari itu.
Kujawab dengan tersenyum.
“Sudah semua”ujarnya. “setelah ini kita makan dulu ya, aku lapar.”
Aku mengangguk, meski sebenarnya aku ingin cepat pulang.
***
“Terima kasih.” Kata Ola begitu kami sampai didepan rumahku. Dia datang dengan mobilnya. Supirnya menuggu di dalam mobil.
Aku mengangguk.
Ola menarik pundakku begitu aku hendak membuka pagar. Aku menatapnya heran. Dia tidak juga bicara tapi tatapannya begitu lain. Aku terdiam saat Ola mendekatkan wajahnya padaku. Hembusan nafasnya terasa jelas. Detik berikutnya dia menciumku sedikit liar. Aku masih mematung, tidak mambalas juga tidak menolak. Aku masih terlalu shock. Berarti yang dikatakan Fahry benar, Ola menyukaiku.
Ola melepaskan ciumannya. Dia tersenyum padaku. “Aku mencintaimu Ardy.” Setelah itu dia masuk kedalam mobil. Tatapanku masih terarah pada mobilnya sampai akhirnya menghilang di balik gang.
Aku terhenti membuka pagar saat mataku menangkap sosok yang menatapku dari arah berlawanan dengan mobil tadi. Aku mengenali sosok itu adalah Fahry dengan motor maticnya. Nafasku langsung tercekat. Apa Fahry melihat semuannya.
Aku berlari menghampiri Fahry yang berjarak sekitar 10 meter dariku. Belum sempat aku mendatanginya, Fahry sudah memacu motornya meninggalkanku. Aku kepayahan mengejarnya. Tapi percuma, dia sudah pergi. Laju motornya tak bisa kuimbangi. Aku jatuh terjungkal saat kakiku tersantung polisi tidur.
Aku berjalan gontai menuju rumah. Mataku bahkan terasa sangat perih. Fahry sangat marah, bagaimana ini? Aku mengatur nafasku yang terasa sesak. Menarik dalam dan menghembuskannya lagi. Brug… kaki menendang sesuatu. Aku mengambil bungkusan plastik berwarna hitam yang tadi kutendang. Aku melihat isinya, martabak manis dan es krim coklat. Ini makanan kesukaanku. Jadi tadi Fahry membawakanku ini. Mataku pun tak bisa menahan air mata yang ingin keluar. Ardy bodoh…Ardy bodoh… aku mengutuk diriku sendiri.
“Tangan kamu kenapa sayang?!” mama bertanya cemas begitu aku masuk rumah.
Aku memperhatikan lenganku yang di tunjuk mama, memar. Jatuhku tadi ternyata cukup keras sampai mampu membuat tanganku lecet-lecet. Sakit memang, tapi aku tidak begitu peduli. Pikiranku masih diisi oleh Fahry, Fahry dan Fahry.
***
“Tangan kamu kenapa Ar?” Ola bertanya dengan raut wajah khawatir. Dia menghampiriku saat baru massuk kelas.
Aku menggeleng.
Aku menatap Fahry yang duduk disudut belakang, tasnya juga ada disitu. Dia pindah bangku. Saat mata kami bertumbuk, dia membuang muka. Dia tak perduli dengan tanganku yang dibalut perban. Padahal dulu dia paling khawatir meski aku hanya tertusuk duri kecil.
“Perasaan tadi malam baik-baik aja, kenapa kamu bisa sampai luka seperti ini?”
Aku menggeleng dan tersenyum padanya. Ola tak perlu tau tentang ini.
Aku sempat menangkap dengan sudut mataku kalau Fahry tadi melirikku. Aku putuskan ingin bicara padanya. Tapi begitu aku menghampirinya, dia langsung beranjak. Aku menangkap tangannya saat dia melewatiku. Fahry menepisku kasar. Dia mendorongku saat aku menangkapnya lagi. Aku terduduk.
“Kamu apa-apaan! Gak liat kalo Ardy lagi sakit.” Ola berteriak pada Fahry.
Fahry sekilas melirikku lalu beralih lagi ke Ola. Aku melihat matanya merah. Dia pasti sangat marah. Aku tidak menyalahkan sikapnya padaku. Mungkin aku juga akan begitu kalau dalam posisinya. Dia melewati Ola begitu saja. Menepis tangan Ola yang mencoba menghalanginya.
***
Sudah seminggu Fahry tak mau bicara denganku. Dia menghindar dalam setiap kesempatan, seolah aku adalah makhluk yang paling menakutkan. Sebaliknya, Ola semakin dekat denganku. Lebih tepatnya dia yang selalu mendekat padaku. Kuakui, dia memang bisa membuatku nyaman. Tapi rasa suka yang kupunya dulu sudah menghilang.
Aku sedang berdiri depan gerbang sekolah. Aku menunggu Fahry. Aku ingin minta maaf dan menjelaskan kesalahpahaman ini. Aku ingin bilang kalau aku cinta dia bukan Ola. Aku memang sengaja keluar lebih dulu karena biasanya dia yang selalu lebih dulu keluar untuk menghindar dariku. Sekolah ini sebenarnya sudah tidak terlalu ramai. Tentu saja, kelas satu dan dua sudah pulang lebih dulu. Kami sedang les tambahan, kami kelas tiga.
Lima menit aku menuggu , beberapa orang berpakaian preman menghampiriku. Tepatnya tiga orang. Masing-masing mereka memakai celana jeans sobek dilutut dengan kaos oblong, kemeja kumal dan kaos berlengan pendek. Wajah mereka terlihat sangar, aku agak ngeri.
“Oh… jadi ini cecunguk yang mengganggu pacarnya bos.” Aku mendengar yang mereka katakan, tapi tak paham apa maksudnya.
“Mau kita apakan?” tanya si kemeja kumal. Tangannya langsung mencengkram kerah bajuku, aku sesak bernafas.
“Kita kasih dia pelajaran, biar gak ganggu pacar orang.” Sahut si kaos oblong. Dia lalu melayangkan tinjunya ke perutku.
Seketika perutku terasa keram. Aku kesakitan tanpa bisa mengaduh. Si kemeja kumal masih memegang tubuhku, sedang si kaos lengan pendek ikut menampar ku. Aku terlepas dari pegangan si kemeja kumal dan tersungkur ke tanah. Tak cukup itu si kaos oblong menarik rambutku. Rasa sakitnya menjalar seolah rambutku hendak dicabut paksa dari kulit kepala.
Saat badanku sedikit terangkat karena ditarik paksa, mataku menangkap sosok Fahry berdiri di halaman sekolah. Dia melihat. Tapi begitu mata kami bertumbuk, dia membuang muka. Sebenci itu kah Fahry padaku?
Pandanganku mulai buram. Aku merasa tubuhku sangat lemah. Mungkin aku akan mati. Tapi sebelum mati, aku sungguh-sungguh ingin minta maaf pada Fahry. Aku ingin bilang aku hanya mencintainya. Perlahan pandanganku mengabur. Samar. Dan hilang.
***
Aku mengerjab-ngerjab. Perlahan aku membuka mata. Sinar yang masuk ke retina mataku membuatku silau. Aku memperhatian sekitarku, ruangan ini tampak asing.
“ #%$&*&^%.” Itu mama. Aku tak mendengaar ucapannya karena dia bicara pelan sekali. Ibu tersenyum, lalu memasang alat bantu pendengaranku.“Kamu tidak apa-apa sayang?” Ibu bertanya dengan suara dan isyarat tangan sekaligus. Ibu mengerti bahasa jariku.
Aku mengangguk. ‘ kenapa aku disini, bu?’ Aku bertanya dengan isyarat yang sangat pelan, tanganku terasa sakit.
“Fahry yang membawa kamu ke rumah sakit. Dia bilang kamu di keroyok. Memangnya ada apa sih sayang?” Ibu mengelus rambutku.
Aku mengerutkan dahiku tidak percaya, bukannya dia cuma membuang muka.’Fahry –nya mana?’ Aku bertanya lagi dan mengacuhkan pertanyaan Ibu. Aku penasaran.
“Fahry sudah pulang. Dia udah jagain kamu semalaman. Kamu pingsan kok lama banget, Ibu sampai takut.”
Jagain aku semalaman? Berarti Fahry masih paduli.
“O iya, ini sepertinya surat dari Fahry. Ibu menemukannya jatuh dilantai. Ibu cari makan dulu, gak apa-apa kan Ibu tinggal sebentar.”
Aku mengguk. Aku mengambil surat dengan amplop berwarna biru itu , ibu sudah beranjak keluar. Aku membukanya perlahan dengan menyobek seditik tepinya. Benar sekali ini tulisan tangan Fahry, aku hafal betul. Aku mulai membaca isi suratnya…
Dear Ardy Tofan Maulana,
Semoga kau baik-baik saja.
Aku bahagia pernah mengenalmu. Kau sangat berarti untukku, kau tau itukan?
Bersamamu aku merasa lebih hidup. Percaya atau tidak itulah yang kurasakan..
Kau tau,
Saat melihatmu malam itu hatiku hancur.
Rasanya seperti di remukkan dari dalam. Sakit sekali.
Aku ingin mati detik itu juga.
Aku baru sadar betapa aku mencintaimu.
Lebih dari apapun. Aku tidak yakin apakah aku bisa jauh darimu.
Tapi… melihatmu bahagia jauh lebih berharga daripada memaksakan perasaanku yang egois. Meski sakit. Bahkan sangat sakit, akan kurelakan kau bahagia bersama gadis itu.
Mungkin itulah yang terbaik untukmu.
Saat kamu membaca surat ini mungkin aku sudah pergi.
Aku memutuskan untuk ikut bersama ayahku. Aku sudah mengurusi berkas kepindahanku.
Sebenarnya aku ingin mengatakannya secara langsung. Tapi aku tidak bisa.
Terlalu sulit bagiku untuk bilang selamat tinggal bila harus bertatap muka dengamu secara langsung.
Aku pasti tidak akan sanggup.
Berbahagialah Ardy…
Aku pasti akan sangat merindukanmu.
Aku mencintaimu.
Fahry
***
Aku menggenggam surat itu dengan erat, sangat erat. Tanganku bergetar. Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kubaca. Apa maksud Fahry dengan semua ini. Pergi begitu saja meninggalkanku semaunya. Apa dia tidak tau bahwa aku sangat mencintainya. Sesulit itukah memahami perasaanku?
Aku meraih hanphone-ku dan memencet panggilan atas nama Fahry. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Kucoba sekali lagi. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkaun.
Airmataku sudah lancang mengaliri kedua pipiku tanpa bisa kutahan. Aku terisak tanpa suara. Dadaku bergemuruh dan sesak. Sakit pukulan yang kualami kalah jauh dibandingkan rasa sakit hati yang kurasakan. Itukah alasanmu tak mau dekat denganku. Kau akan meniggalkanku begitu saja. Lalu apa arti rasaku ini bagimu. Tidakkah kau sadar kalau aku hanya mencintaimu. Fahry bodoh… Fahry bodoh… Fahry bodoh…
KREEk,,, pintu terbuka..
“Hai.. kau sudah sadar?” Itu Ola. Dia tiba-tiba saja masuk. Aku kaget dan kelabakan menghapus airmataku.
Aku mengangguk.
“Aku minta maaf baru bisa datang sekarang.” Dia membawa bingkisan berisi buah dan meletakannya di atas meja. “Kau sudah baikkan?” Dia duduk dikursi di samping kasurku.
Aku mengangguk lagi.
“Huh… aku gak nyangka akan jadi begini. Aku kenal siapa yang menyuruh orang buat menghajarmu. Dia itu cowok yang naksir denganku. Tapi tenang saja, ayah sudah mengurus semuanya. Sekarang mereka semua sudah ada di kantor Polisi”. Jelas Ola panjang lebar.
Oh,, begitu rupanya. Aku memberi isyarat pada Ola seperti orang menulis.
“Kamu perlu pena dan buku?” tebaknya.
Aku tersenyum.
Ola langsung menggagahi isi tasnya, mengambil buku dan pena. Dia menyerahkannya padaku. Aku mengambilnya. Ada hal yang ingin kutanyakan pada Ola. Aku menuliskan pertanyaan dan memperlihatkan padanya.
‘Apa Fahry tadi ke sekolah?’
“Fahry gak sekolah hari ini, tapi kalau gak salah tadi ada ayahnya. Kenapa?”
Jadi benar. Fahry sudah pergi. Untuk kali ini dadaku bertambah sesak dua kali lipat. Aku tidak bisa bertemu dengannya lagi.
“kau mau?” Ola mengupas buah apel dan memberikannya padaku. Aku menolak. Saat ini aku tak punya selera makan sedikitpun.
“Ayolah, sedikit saja.”
Aku mengangguk, malas untuk untuk membantah.
Ola menyuapkan potongan apel itu padaku. Aku menerimanya. Kau benar Fahry, Ola memang gadis yang baik. Tapi aku tidak mencintainya. Rasa sukaku padanya sudah hilang seiring dekatnya aku denganmu.
Ola meraih tanganku. “ Maaf, ini semua karena aku.” Dia menggenggamnya. “Harusnya kamu gak perlu jadi seperti ini.”
Aku menggeleng dan menulis di buku tadi ‘ bukan salahmu.’
“Aku mencintaimu, Ardy.” Katanya kemudian.
Aku diam.
***
Aku membuka mataku yang terasa berat, pasti karena bengkak. Aku menangis semalaman sampai akhirnya tertidur. Tangan seseorang mengelus-elus rambutku pelan. Perlahan mataku menangkap sosok itu.
‘Kau sudah bangun. Maaf aku baru bisa datang sekarang.’ Dia tersenyum.
Aku menatapnya takjub. Yang bermasalah adalah pita suaraku dan pendengaranku saja, bukan? Mataku seharusnya masih normal-normal saja.
‘Kenapa?’ aku memahami pertanyaan dari jarinya. ‘ Kenapa memandangku seperti itu?’
Aku bergeming.
Dia melambaikan telapak tangannya di depan wajahku. Kuraih tangannya, nyata. Tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya. Sejurus kemudian aku mendorong tubuhnya menjauh. Ada rasa kesal di balik rasa senangku. ‘ Apa maksud dari semua ini?’
Alisnya berkerut ‘Apa?’ Fahry tampak bingung.
‘Kenapa kau masih disini, bukannya kamu sudah pergi!’
Fahry terlihat semakin binggung. Dia mengangkat alisnya lebih tinggi.
Aku memutar bola mata ‘Apa maksud surat yang kau tulis untukku?’Aku menggerakan jari dan tanganku dengan cepat.
‘Suarat apa?’ dia menggerakkan jarinya dengan wajah masih tampak bingung. Aku kesal sekali, jelas sekali surat itu darinya.
Aku menyerahkan surat yang sudah acak-acakan tidak jelas. Fahry menerimanya dan menbacanya sebentar lalu nyengir kuda. Apa maksudnya.
‘Darimana kau dapat surat surat ini’ dia menggerakkan tangannya sambil tersenyum.
‘Ibu yang dapat, terjatuh dilantai.’
Fahry menepuk jidatnya ‘Pasti tidak sengaja jatuh.’
‘Lalu apa maksudmu dengan menulis surat itu?’ Gerakan tanganku lambat.
Fahry mengusap pipiku sebentar, membuatku merinding nyaman.
‘Tadinya aku memang menulis surat itu dan mau menyarahkannya padamu. Tapi setelah kupikir-pikir, aku tidak rela. Aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja di ambil orang. Aku sangat mencintaimu. Jadi aku akan memperjuangkanmu, meski aku harus bersaing dengan Ola, aku tidak paduli.’
Aku tersenyum mengartikan tiap kata yang di bentuk oleh jari indahnya.
‘Lalu kenapa nomormu tidak bisa dihubungi’
‘Handphone-ku mati, gara-gara lupa charge baterainya. Aku mengantar ayah ke bandara.’ Fahry meraih tanganku dan menciumnya lalu melepaskan lagi. ‘Maafkan aku sudah cuek padamu. Harusnya aku lebih cepat menolongmu kemarin, kamu tidak perlu babak belur begini.’ Dia menggenggam tanganku dan meremasnya.
Fahry menatapku dengan tatapan sayu ‘Kau mau memaafkanku?’
Aku mengangguk dan tersenyum.
Aku mengingat lagi kejadian kemarin bersama Ola. Saat itu, aku menarik tanganku dan menulis sesuatu.‘Terimakasih sudah mencintaiku, tapi aku tidak bisa menerimanya. Aku mencintai orang lain.’
“Siapa?”
‘Fahry..’
Ola terkejut begitu membaca tulisanku. Tersirat kekecewaan dimatanya. Tapi dia tersenyum kemudian. “Begitu ya. Jadi selama ini aku adalah pengganggu. Harusnya kau bilang lebih dulu. Fahry tau kau suka padanya? Atau jangan-jangan kalian memang pacaran?”
Aku sedikit malu, tapi aku mengangguk. Aku berharap begitu.
Ola menatapku lagi “Jadi ini alasan Fahry marah saat aku dekat denganmu? Oh astaga, aku perusak hubungan orang.
***
‘Apa ini?’ Aku menatap kado kecil ditanganku, Fahry yang menghadiahkan. Aku masih dirumah sakit.
‘Buka’ Pintanya. Fahry datang malam-malam mengagetkanku, terlebih dia datang bersama Ola. Sangat aneh.
Aku mengangguk. Aku membuka kotak kado kecil dengan hiasan pita berwarna merah marun ini secara hati-hati. Perlahan isi nya mulai terlihat. Cincin perak. Aku menatap Ola sekilas lalu menatap lurus-lurus Fahry.
Fahry tersenyum. ‘Cincin itu sebagai pengikat hubungan kita. Kau mau jadi pacarku?’ Itu adalah bahasa isyarat termanis yang pernah aku terima.’ Aku mengangguk antusias,
Fahry langsung memelukku, tak peduli Ola masih ada.
“Hei aku masih ada disini, simpan romantisme kalian untuk nanti” Ola tersenyum melihat kami, entah bagaimana perasaannya. Aku hanya berharap dia menemukan lelaki yang terbaik untuknya.
‘Kita resmi jadian.’ Fahry mencium keningku. ‘Aku mencintaimu.’
Aku tersenyum senang.
Akhirnya aku bisa benar-benar pacaran dengan Fahry. Fahry, aku juga mencintaimu…
-Tamat-
Sumber : lianparay.wordpress.com