Search
Close this search box.

0,,16380017_303,00Suarakita.org- 40 persen pembantu rumah tangga di Hong Kong telibat dalam hubungan sesama jenis. Mengapa dan apakah hambatan yang mereka temuai?

Marrz Balaoro, seorang perempuan berusia 56 tahun mengingat-ingat kembali kejadian berpuluh-puluh tahun lalu. Saat ia berusia 12 tahun –atas permintaan orang tuanya– ia mendapat suntik hormon beresep dari seorang dokter. Orang tuanya berharap dengan itu, ia bisa terlihat lebih feminim.

“Dokter bertanya, apa yang saya rasakan jika saya melihat laki-laki tampan,“ kata Balaoro, yang lahir di provinsi Abra di Luzon utara. “Tanpa banyak pikir saya bilang, aku iri padanya dan aku ingin terlihat seperti dia. Dokter berpikir, kasus saya sudah tak punya harapan“, kata Balaoro.

Bagi Balaoro, untuk mengaku sebagai seorang lesbian pada tahun 1980-an, jauh lebih mudah dilakukan di Hongkong ketimbang di Filipina,“Majikan pertama saya penuh perhatian dan ia mengerti situasi saya,” ujarnya.“Saya datang ke Hongkong karena saya ingin menjadi diri saya sendiri. Saya ingin bebas,“ lanjut Balaoro. Ia mengaku perjuangannya untuk bisa dimengerti di negaranya sudah dimulai sejak ia kecil dan berlangsung terus sampai di masa-masa remaja yang sulit.

Setelah menyaksikan seorang lesbian asal Filipina di-bully oleh orang-orang Filipina di Hongkong, ia kemudian membentuk Filguys Association yakni sebuah perkumpulan yang mempunyai misi menolong migran homoseksual Filipina yang mengalami diskriminasi.

Anggota Filguys sudah mencapai 400 orang dan secara teratur perkumpulan ini menyelenggarakan seminar di seluruh kota.

Lebih bebas di Hongkong
Sementara budaya konsevatif masih menguasai masyarakat Hongkong, bagi banyak pekerja migran, Hongkong adalah tempat dimana seseorang bisa lebih mudah hidup sebagai seorang gay, terutama bagi muslim Indonesia dan penganut Katolik taat Filipina.
Bekerja berjam-jam, jauh dari rumah dengan bayaran kecil dan waktu libur yang sedikit– cukup menyulitkan kehidupan para migran di Hongkong.

Meski demikian, bagi beberapa migran, Hongkong adalah kota yang bisa memberi pengakuan atas kebebasan orientasi seksual yang tak ditemukan di negara-negara asal pekerja ini.

“Di Hongkong kita bebas. Kita bisa menunjukkan identitas seksual kita,” kata Jenny Patoc, yang terlahir biologis sebagai perempuan dan kini berumur 41 tahun. Ia berprofesi sebagai seorang pembantu rumah tangga dan bertemu kekasihnya- seorang perempuan, di Hongkong 15 tahun lalu. Mereka kemudian menikah, meskipun di Hongkong pernikahan sesama jenis masih belum mendapat pengakuan legal.

Butuh ruang sendiri
“Jika ingin menimbulkan seksualitas Anda sediri, Anda butuh tempat pribadi. Akan tetapi, masalah terbesar bagi pekerja migran luar negri di Hongkong adalah ruang pribadi mereka sangat terbatas,“ kata Yau Ching, ilmuwan sosial Universitas Lingnan.

Sesuai dengan aturan hukum, para pembantu rumah tangga di Hongkong diwajibkan untuk tinggal bersama majikannya, yang membuat mereka terkadang harus tinggal di tempat yang sempit dan hampir tak layak huni.

Patoc cukup beruntung karena bisa menyewa sebuah apartemen kecil untuk digunakan setiap hari Minggu bersama pasangannya. Ia juga menyewakan sebagian dari apartemennya itu kepada orang lain yang juga mencari privasi. “Setiap hari libur kami tinggal bersama dan melakukan hal yang sama. Kami saling mencintai,“ kata Patoc.

“Terpencil, kesepian semua datang bersama-sama dalam migrasi. Apa yang mereka butuhkan adalah kenyamanan emosional yang diikuti dengan kenyamanan fisik. Anda ingin mencari seseorang yang sama dan aman“ kata Amy Sim, seorang antropolog Universitas Hongkong. Ia mengutip sebuah laporan yang mengatakan bahwa 40 persen pekerja migran di Hongkong telah menjalin hubungan sesama jenis.

Secara kasar 300.000 orang pekerja domestik yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga bisa berpenghasilan sekitar 6.000.000 Rupiah perbulan di Hongkong. Para pekerja rumah tangga itu sebagian besar berasal dari Filipina, Indonesia dan Thailand dimana banyak diantara mereka yang mengirimkan gaji mereka pada keluarganya untuk membantu perekonomian keluarga.

Sumber : DW.DE