Search
Close this search box.

“Aku Bermoral. Aku Tidak Ingin Terasing” (Catatan Moral Korsgaard dan Keterasingan)

Penulis : Wisnu Adihartono Reksodirdjo*

Suarakita.org- Sudah terlalu lama saya tidak berkontribusi untuk SuaraKita. Rasa rindu untuk menulis menyeruak ketika saya melihat kembali laman SuaraKita dengan tampilannya yang baru, segar, dan semakin mencerahkan, saya kembali tergelitik untuk menorehkan pemikiran saya yang selayaknya dibaca dengan kacamata sosial yang tidak tertutup.

Kali ini saya sangat tergelitik untuk mengeluarkan pemikiran saya tentang moral dan keterasingan. Sesungguh membaca dan melihat moral sungguh bukan suatu pekerjaan yang mudah karena masalah moral bersifat dinamis, tergantung dari pembacaan moral setiap individu, akan tetapi apa salahnya apabila masalah moral dikeluarkan dari dalam kotaknya karena sesungguhnya masalah moral akan menjadi problematika besar apabila terus-terusan didudukkan didalam “ruangan” pemikiran yang sempit.

Ketika individu yang lahir di kota Jakarta, tumbuh kembang di kota Jakarta, menjadi tua di kota Jakarta, dan ingin menutup mata di kota Jakarta, katakanlah ia seorang homoseksual atau seseorang dengan ras minoritas tertentu, bagi saya, ketika itu pula pertanyaan memproduksi moral akan muncul. Ketika individu berkelas sosial atas memiliki kekuasaan maka moral yang ia produksi tidak akan pernah menjadi masalah, tetapi ketika individu berkelas sosial bawah yang tidak memiliki kekuasaan memproduksi sebuah moral, maka moral yang ia hasilkan menuju pada satu titik kegagalan, karena artinya ia, sebagai individu akan teralienasi dari sekelilingnya. Moral yang ia produksi tidak mulus karena ada moral-moral lain yang tidak setuju dengan moral yang ia hasilkan. Individu tersebut mengalami tekanan moral dan menjadi Outsider seperti yang dikatakan oleh Howard Becker. Ketika individu dianggap melanggar norma yang ada, maka ia dianggap sebagai individu yang berbeda.

Penggambaran di atas akan sangat menarik apabila menelaah pemikiran filsuf Amerika kontemporer, Christine Korsgaard tentang produksi moral karena secara tidak langsung, individu dapat memberi nilai pada dirinya sendiri sehingga ia tidak merasa teralienasi di dalam ruang publik manapun.

Aku harus bernilai
Apakah yang dimaksud dengan moral ? Secara sederhana moral adalah kesesuaian sikap dan perbuatan. Filsuf Emanuel Kant melihat bahwa moral sama dengan kata hati, sehingga apa yang kita lakukan harus dapat kita pertanggungjawabkan.

Christine Korsgaard mengintroduksi pemikirannya tentang manusia yang mampu memproduksi sebuah moral dengan ide bahwa hanya manusia yang mampu memproduksi moral dan menempatkan moral tersebut didalam hidupnya dan untuk orang lain. Didalam bukunya yang sangat terkenal The Sources of Normativity, Korsgaard menjelaskan bahwa perasaan-perasaan kita adalah tempat dimana yang natural dan yang normatif bertemu, sehingga sebagai individu, kita harus menghargai segalanya.

Korsgaard menyebutnya dengan identitas praktis (Practical Identity) dimana setiap individu harus sadar akan dirinya masing-masing. Secara sederhana, konsep identitas praktis adalah apa yang kita jalankan sehari-hari dengan perannya masing-masing. Konsep ini lalu dipahami sebagai sebuah acuan dimana individu memiliki nilai yang harus dinilainya sendiri dan layak untuk menemukan jalan hidupnya untuk juga dinilainya sendiri. Korsgaard kemudian menggarisbawahi bahwa sebuah nilai adalah fakta hidup, oleh karena itu sebuah kehidupan harus memiliki nilai. Jika individu menolak hidup, maka mereka otomatis menolak nilai itu sendiri. Hidup wajib untuk dijaga dan dipertahankan.

Identitas praktis wajib untuk dibagi dan inilah yang menurut Korsgaard disebut sebagai moral karena moral diproduksi untuk diberi nilai dan dibagi kepada orang lain.

Aku yang tidak ingin terasing
Rujukan produksi moral Korsgaard memberikan petunjuk bahwa setiap individu berhak memproduksi moralnya masing-masing dan ketika moral yang diproduksi tidak dapat berdiri sendiri, maka sang individu akan berada pada tingkatan Neurosa, dimana menurut filsuf Jerman, Erich Fromm, ia akan terasing dari masyarakat, peraturan, norma sosial. Dengan kata lain, ia teralienasi dari seluruh sistem dan struktur.

Alienasi atau keterasingan memiliki banyak definisi. ia didefinisikan sebagai sebuah perbuatan atau hasil dari perbuatan yang membuat seseorang menjadi terasing. Di dalam terminologi sosiologi dan psikologi, alienasi terdefinisikan sebagai perasaan individu akan kesepian atau kesendirian dari masyarakat, lingkungan, orang lain atau bahkan dirinya sendiri.

Seorang filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang terkenal dengan konsep Geist-nya mencoba mendefinisikan alienasi sebagai sebuah proses atau hasil dari sebuah proses akan dirinya sendiri menjadi asing dari dunia luar. Ia melihat bahwa alienasi adalah sebuah tingkatan dimana seseorang merasa tidak berkuasa untuk mencapai sebuah aksi. Banyak sekali bentuk-bentuk alienasi. Seorang sosiolog bernama Melvin Seeman, di dalam bukunya, On the meaning of alienation, memberikan empat bentuk alienasi yaitu hilangnya kekuatan (powerlessness), kehilangan arti (meaningless), hilangnya norma (normless), dan kerenggangan diri (self-estrangement).

Ketika individu merasa terasing, ia akan merasa bahwa dirinya sama sekali tidak berguna. Seorang homoseksual misalnya, ia didakwa sebagai pesakitan yang melawan alam dengan menyukai sesamanya. Ia dibungkam. Ia distigma sebagai manusia yang cacat lahir, bathin, dan fisik karena tidak mampu berprokreasi seperti laki-laki dan perempuan. Ia juga dituduh sebagai individu yang hanya memikirkan aktivitas seks (rekreasi), padahal ia juga mampu berkontribusi kepada negara. Ia dipandang sebelah mata. Maka akan menjadi logis apabila seorang homoseksual melakukan migrasi ke luar negaranya untuk mencari ruang kebebasan atau pada titik yang paling ekstrim, ia akan melakukan tindakan percobaan bunuh diri. Pada titik lain, alienasi juga dapat memicu timbulnya konflik dari berbagai sudut. Ini berarti bahwa negara telah gagal merangkul warga negaranya dalam konteks perlindungan hak asasi manusia.

Setidaknya ide-ide di atas mampu memberikan ruang bagi kelompok yang termarjinalkan dengan dua jargon, yaitu “Aku berhak menentukan sikapku karena aku bebas. Karena aku bebas, maka tidak ada seorangpun yang dapat memperalatku” dan “Aku sadar bahwa aku bernilai”.

*Penulis adalah kandidat doktor bidang sosiologi pada Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Marseille, Perancis. Saat ini sedang menulis disertasi tentang migrasi gay Indonesia ke luar negeri. Wisnu dapat dihubungi di wisnuadi.reksodirdjo@outlook.fr