Search
Close this search box.

Perempuan-perempuan Uganda memprotes kekerasan atas mereka yang menggunakan rok mini di Kampala (26/2). (VOA/Hilary Heuler)Suarakita.org- Beberapa insiden muncul dimana perempuan diganggu dan dilucuti pakaiannya oleh oknum-oknum di jalanan sejak undang-undang anti-pornografi disahkan minggu lalu.

Para aktivis hak-hak perempuan mengatakan undang-undang baru anti-pornografi di Uganda telah disalahartikan dan mendorong kekerasan terhadap perempuan. Telah ada beberapa insiden perempuan yang diganggu dan bahkan dilucuti pakaiannya oleh para oknum di jalanan ibukota Kampala sejak undang-undang tersebut disahkan minggu lalu.

Terjadinya kekerasan ini menyusul pengumuman pada 19 Februari mengenai rancangan undang-undang baru anti-pornografi yang awalnya menyertakan tata cara berpakaian yang melarang rok mini dan pakaian terbuka lainnya.

Aturan itu kemudian dihapus sebelum undang-undang disahkan, Namun ketika Menteri Etika dan Integritas Simon Lokodo mengumumkan aturan baru itu minggu lalu, ia bersikeras bahwa pemakaian busana yang dianggap merangsang secara seksual adalah ilegal.

Patience Akumu, aktivis dari kelompok baru bernama End Miniskirt Harrassment (Akhiri Pelecehan Atas Rok Mini), mengatakan pemahaman yang salah dari undang-undang tersebut telah menyengsarakan perempuan-perempuan Uganda.

“Kerusakan yang dihasilkan luas dan hal itu telah terjadi. Perempuan dilucuti. Perlu lebih dari sekedar pernyataan pers, lebih dari protes. Kami bertekad akan mendatangi para pria ini, mendatangi mereka, dan memberitahu mereka bahwa tidak ada aturan melawan rok mini,” ujarnya.

Baik UU Anti-Pornografi dan UU Anti-Homoseksualitas, yang dikecam Barat, populer di kalangan publik Uganda yang konservatif.

Pemerintah tidak melakukan upaya untuk mengklarifikasi undang-undang tersebut, ujar Akumu, karena mereka berpikir ide mengontrol perilaku perempuan akan membantu mereka dalam pemilihan umum 2016.

“Saya kira perempuan telah menjadi target mudah, kambing hitam untuk segala persoalan. Mereka tahu itu tidak ada dalam aturan, namun mereka menikmati popularitas murah yang didapat, fakta bahwa massa berpikir pemerintah telah dapat menundukkan perempuan dan mengamankan mereka. Para pemimpin menggulirkan ini karena mereka berpikir bisa menjaring suara. Mereka tidak peduli dengan kehidupan, mata pencarian dan harga diri perempuan,” ujarnya.

Beberapa aktivis mengatakan mereka mempertimbangkan akan mengambil langkah hukum melawan Lokodo. Sementara itu, menurut mereka polisi perlu berbuat lebih banyak untuk melindungi perempuan dari kekerasan warga.

Sumber : VOA