Suarakita.org- Yingluck yang dalam waktu singkat berhasil menjadi perdana mentri perempuan pertama di Thailand, bukanlah simbol kemenangan bagi feminis Thailand.
“Sejak lama, faham seksisme telah menjadi hal yang lazim di Thailand, tapi akhir-akhir ini seksisme telah menjadi strategi politik. Hal ini menjadi semakin meningkat sejak Yingluck menjadi perdana mentri. Saya tak pernah melihat sesuatu semacam ini, di skala yang seperti ini”, ucap Pavin Chachavalpongpun, seorang akademisi asal Thailand yang sedang menempuh pendidikan di universitas Kyoto Jepang.
Sementara itu, Supaa Prordeengam perempuan berusia 48 tahun yang mengikuti demo anti pemerintah yang telah berlangsung hampir 3 bulan mengatakan, “Kita harus kritis- bukannya melanggar hak-hak perempuan.” Ia merasa terganggu oleh pidato-pidato demo yang menjadikan perdana mentri Thailand, Yingluck Shinawatra sebagai target hujatan. Para oposisi demo menyebut Yingluck Shinawatra yang juga adalah pemimpin partai yang sedang berkuasa, yakni partai Pheu Thai- dengan berbagai nama kasar.
Penentang seksime
Butuh beberapa saat, sampai kelompok-kelompok aktivis perempuan akhirnya angkat bicara. Sanitsuda Ekachai, seorang kolumnis sebuah majalah berbahasa Inggris di Bangkok menulis “Ketika sebuah jaringan kelompok hak-hak perempuan mengeluarkan pernyataan mencela seorang dokter medis karena telah melakukan serangan yang bersifat seksis terhadap pengasuh perdana mentri Yingluck Shinawatra- saya akui saya merasa sangat lega.”
“Sejak lama saya heran mengapa para kelompok hak-hak asasi perempuan tak memberikan reaksi terhadap banyaknya perendahan dan kecaman-kecaman bernada seksis yang dilontarkan oleh para pencela kepada ibu Yingluck”, lanjutnya.
Bukan kemenangan bagi feminis
Diantara kelompok-kelompok yang menentang tindakan seksis tersebut adalah kelompok “Coalition of Democracy”dan “Sexual Diversity Rights”. Mereka mencela penggunaan bahasa seksis serta bahasa-bahasa yang membenci dan merendahkan perempuan sebagai senjata politik. Dalam sebuah pernyataan mereka menyatakan, “kelanjutan untuk menggunakan gaya bahasa kekerasan, diskriminasi dan kebencian pada perempuan tak boleh diijinkan.”
Meski demikian, sejumlah kelompok pembela hak-hak perempuan menanggapi dengan dingin saat Yingluck berhasil membawa partai Phue Thai memenangi pemilu bulan Juli tahun 2011 yang akhirya menjadikan Yingluck sebagai perdana mentri termuda dalam kurun waktu 60 tahun.
Kelompok-kelompok pembela hak-hak perempuan itu beralasan bahwa posisi yang diduduki Yingluck bukan atas usahanya sendiri melainkan adalah hasil dari serangkaian akal licik kakaknya, Thaksin Shinawatra. Thaksin yang berhasil menjadi perdana mentri Thailand selama dua periode, akhirnya harus terguling akibat kudeta militer. Ia kini sedang berada dalam pengasingan untuk menghindari hukuman penjara dua tahun akibat kasus korupsi.
Ketika Thaksin menarik Yingluck keluar dari karirnya sebagai pebisnis perempuan dan menjadikannya sebagai pemimpin partai Phue Thai, seminggu sebelum pemilihan – secara terbuka Thaksin menyatakan bahwa Yingluck merupakan kloningnya.
Pernyataan Thaksin tersebut ditanggapi secara sinis oleh kelompok perempuan terbesar di Bangkok yang dekat dengan partai demokrat yang sejak 20 tahun tak pernah menjadi pemenang mayoritas di pemilu. “Bagaimana kami bisa bangga? Seluruh dunia tahu, ini soal Thaksin” komentar salah seorang tokoh terkemuka sebuah Institusi Gender dan Penelitian Pembangunan di sebuah halaman koran dengan judul “Perdana Mentri Perempuan Pertama Thailand Bukan Kemenangan Bagi Feminis.”
Pujian bagi pemerintahan Yingluck
Perbandingan dibuat antara pemerintahan terpilih yang dipimpin oleh Yingluck dan pemerintahan sebelumnya, yakni pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh partai demokrat. Pemerintahan koalisi tersebut banyak dicemari oleh pertikaian berdarah di jalanan Bangkok yang terjadi bulan Mei tahun 2010.
Akibat bentokan yang terjadi antara pendukung Thaksin dan pasukan militer tersebut, 91 orang dilaporkan meninggal dunia dan 2000 orang lainnya dilaporkan mengalami luka-luka.
Sementara bulan Agustus tahun 2013, saat merayakan ulang tahun ke dua pemerintahannya, Yingluck mendapat pujian atas gaya kepemimpinannya yang tidak konfrontatif dan bergaya konsultatif yang berhasil membawa situasi tenang di jalanan Bangkok.
Sumber : DW.DE