Search
Close this search box.

V Dialog I, Mengungkap Mitos Perempuan

Suarakita.org- One Billion Rising (OBR) adalah gerakan global yang dilakukan lebih dari 217 negara untuk mengajak semua orang yang perduli melawan kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan. Kampanye yang dipelopori oleh Eve Ensler ini adalah menggalang masyarakat untuk bersama-sama bangkit dan menari. Filosofi menari sebenarnya simbol yang sangat baik untuk membebaskan tubuh perempuan. Di beberapa negara tubuh perempuan dilarang untuk meliuk-liukkan tubuhnya dalam tarian.

Untuk Indonesia sendiri, OBR pertama kali dilakukan serentak di 11 kota pada 14 februari 2013. Pada tahun 2014 ini diadakan V Screen dan V Dialog. Ini adalah awal dari rangkaian kegiatan OBR di Jakarta. Diskusi ini berlangsung di Kedai Kemang dengan mengangkat tema Mitos dan fakta kekerasan terhadap perempuan. Disini, empat pembicara dari berbagai profesi mengutarakan pandangannya dan setiap peserta bisa menyampaikan pendapatnya terkait perempuan.

Acara yang berlangsung pada Sabtu, 18 Januari 2014 ini menguraikan mitos yang sangat lekat dengan perkosaan seperti pakaian berpakaian minim. Musisi yang aktif menyuarakan hak perempuan, Kartika Jahja mengungkapkan tidak ada salahnya jika ada orang yang ingin tubuhnya dikagumi. Perempuan juga memiliki hasrat seksual dan kekuatan seksual. Namun ada bedannya yang ingin berhubungan sex dan yang diperkosa.

Faiza Marzuki ngungkapkan masyarakat sangat kuat melabelkan tubuh perempuan “sexy” hingga “murahan” apabila memakai pakaian minim. Pandangan ini justru berbalik bila laki-laki yang berpakaian minim akan dipandang sebagai sosok yang “macho”. Negara juga turut campur untuk mengkontrol tubuh perempuan. Salah satunya dengan mengatur cara perempuan berpakaian. Di aceh ada perempuan tertangkap dan kakinya ikut sobek tergunting karena memakai legging.

Banyak sekali mitos terhadap kasus perkosaan yang terjadi pada perempuan. contohnya saja pandangan perkosaan yang sering sering terjadi karena pakaian, perkosaan terjadi karena perempuan “kegatelan”. Menanggapi hal itu Dhyta Caturani mengungkapkan fakta mitos pakaian sexy penyebab perkosaan dari media. Yang pertama perkosaan yang terjadi pada NH mahasiswi s2 yang berjilbab, kemudian ada bayi 9 bulan diperkosa ayahnya dan yang terakhir nenek 80 tahun diperkosa pemuda 20 tahun.

Olin Monteiro mengungkapkan sistem masyarakat yang mengharuskan perempuan menjaga keperawanannya sebelum menikah. Hal ini sangat menjengkelkan dan harus di kritisi. Hasrat seksual adalah human being yang sangat alami. Perempuan juga punya rasa mengagumi laki-laki, tetapi jarang sekali terjadi perkosaan kepada laki-laki. Faiza menambahkan banyaknya pandangan masyarakat yang menilai perempuan yang mengungkapkan hasratnya dianggap sebagai perempuan “nakal”. Masyarakat memandangan perempuan tidak punya hasrat. Sehingga perempuan dijadikan objek dalam masyarakat. Seharusnya perempuan memiliki posisi yang setara. Kartika menambahkan, Istilah “melayani” bagi perempuan yang beristri tidak adil bagi perempuan.

Terkait dengan pelecehan, Kartika menceritakan pengalaman buruknya saat bernyanyi di Yogyakarta. Saat itu ada penonton pria mabuk yang masturbasi sambil berteriak-teriak menyuruh kartika untuk kayang dan bergaya erotis. Hal ini menjadi trauma yang tidak bisa dilupakan. Setelah itu kartika menangis di belakang panggung. Saat melihat kesedihan yang dialami Kartika, teman-temannya yang laki-laki justru menertawakan moment tersebut. Hal ini membuat Kartika merasa tidak berharga. Namun seiring waktu berjalan Sekarang kartika menyadari kalau dirinya bukan “disampahi” namun orang yang melecehkanlah yang rendah.

Lalu yang menjadi pertanyaan besar adalah, siapa yang memicu pandangan perempuan dianggap rendah karena berpakaian minim ini tumbuh di masyarakat?

Faiza mengungkapkan peran media merupakan rezim yang sangat berpengaruh. Karena media seolah-olah membentuk pandangan ke masyarakat adalah sesuatu yang benar. Hal paling buruk terjadi terhadap korban 65. Indonesia dibangun dengan penghancuran tubuh perempuan. Gerwani yang diperkosa dan dipenjara. Kemudian media memunculkan gerwani sebagai perempuan yang menari-nari diantara pembunuhan sehingga stigma gerwani sangat kuat.

Saras Dewi mengatakan, dari seluruh berita di Indonesia yang memberitakan tentang kasus pemerkosaan RW (Mahasiswi Universitas Indonesia (UI) yang diperkosa) didapatkan beberapa media yang memberitakan kasus perkosaan dengan diskriminatif, hanya mencari sensasi tanpa memperdulikan kondisi korban. Majalah Fem – majalah dengan segmentasi usia 25 – 40 membuat Investigasi yang mengungkapkan nama korban, panggilan, profesim nama orang tua. Selain itu majalah detik, memberikan ilustrasi pornographic sebagai profokasi untuk mendapatkan oplah yang tinggi. Tempo juga menuliskan nama lengkap korban dalam pemberitaannya. Disini majalah tempo berdalih kalau oplahnya turun kalau nama korban di inisialkan.

Dari seluruh berita di Indonesia yang memberitakan tentang pemerkosaan, didapatkan ada 3 media yang cukup baik yaitu Jakarta post, Merdeka.com dan Berita 3. Diharapkan setiap berita yang muncul di masyarakat memiliki penulisan yang sesantun mungkin.

Persoalan perkosaan sangat sensitif, Banyak masyarakat tidak mengetahui dibalik terjadinya perkosaan. Perkosaan sama seperti pembunuhan, kejahatan yang sangat berlipat-lipat. Kombinasi struktur masyarakat dengan sesuatu yang suci. Data komnas perempuan akan kekerasan yang terjadi pada tahun 2013 meningkat hingga 181%, lebih dari 6000 kasus terjadi di ruang domestik dan secara global sebanyak 78%.

Dari kasus perkosaan akhir akhir ini membuat munculnya  pergerakan mahasiswa untuk melawan perkosaan. Setelah kasus RW, UI bergerak membentuk posko konseling. Harusnya perempuan lebih aktif dalam melawan perkosaan. Maka dari itu dibutuhkan keberanian untuk melindungi korban. (Rikky)