Search
Close this search box.

Perkosaan, Kekuasaan dan Patriarki Di Indonesia

 

Suarakita.org- Budaya patriarki dan feodal  membuat kasus pemerkosaan yang kebanyakan korbannya adalah perempuan menjadi semakin rumit. Budaya yang tidak mendengarkan suara perempuan menjadikan perempuan tidak bisa mengatakan ‘tidak’  dengan jelas. Kata ‘tidak’ yang diucapkan perempuan tidak selalu dimaknai ‘tidak’ oleh laki-laki.  Perempuan pun dibentuk menjadi makhluk yang bisu.

Kamis, 23 Januari 2014, bertempat di Gedung M FISIP Universitas Indonesia (UI), Saskia E. Wieringa, memaparkan kuliah umum  bertajuk Perkosaan, Kekuasaan dan Patriarki Di Indonesia.  Dimoderatori oleh Saras Dewi,  Saskia  pun membedah perkosaan dari berbagai aspek diantaranya aspek sejarah, agama, budaya.

Saskia menjelaskan bahwa dalam  sejarah selalu ada sosok  ‘jago’. Sosok yang biasanya adalah laki-laki, biasanya adalah pimpinan, punya pengaruh spiritual dan punya daya tarik seksual. Perempuan  merupakan salah satu sukses mereka.  Ditambah lagi sejarah selir di Nusantara, di mana perempuan selir  tidak memiliki kekuasan sendiri kecuali bila dia  hamil. Terlihat bahwa perempuan hanya menjadi objek, dan dibuat menjadi tidak memiliki otonomi sendiri.

Lebih spesifik, Saskia membedah  kasus pemerkosaan teranyar yang menarik sorotan publik terutama publik, teutama  publik media sosial, yakni pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang budayawan terhadap mahasiswa UI.

Dalam menganalisi kasus ini, Saskia menggunakan lima indikator, yakni : awareness (kesadaran), choices (pilihan), resources (sumber daya), voice (suara), agency (agensi).  Kemudian Saskia pun menganalisi konteks cultural si pelaku, SS, dan konteks kultural korban, RW.

Berdasarkan penuturan Saskia, konteks kurtural  SS yaitu dia adalah guru, pimpinan,  tokoh kebudayaan, wacana umum yang terjadi   perempuan menggoda laki-laki. Istri dan Anak SS  malah menerima perilaku SS.  Situasi Negara masih sangat patriarkis dan lebih fundamentalis.

Sedangkan RW, dalam konteks kultural, RW dididik untuk tidak bisa bilang ‘tidak’.  Dituntut mesti sholehah, perkosaan dianggap kesalahannya sendiri, dia menggangap melapor ke polisi sama dengan mengumumkan aibnya.  Secara posisi lemah, mengingat RW meminta SS untuk membimbing skripsinya, sehingga posisi RW adalah murid dan SS adalah guru. Murid harus hormat terhadap guru.

Dari analisa Saskia, sangat sulit diterima bila apa yang terjadi pada RW adalah suka sama suka. (Gusti Bayu)

Powerpoin dapat diunduh di sini