Suarakita.org- Khelmy Pribadi, Aktivis Ma’arif Institute, melontarkan tesis bahwa partai Islam akan turun pamor namun kelompok semacam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau Front Pembela Islam (FPI) semakin naik daun. Artinya fundamentalisme di Indonesia semakin menguat.
Di daulat sebagai narasumber Nonton Bareng dan Diskusi Film Mata Tertutup, Minggu 16 Desember 2013 di sekretariat Our Voice, Khelmy mengungkapkan tiga indikator menguatnya fundamentalisme di Indonesia. Indikator pertama adalah semakin banyak peraturan daerah (Perda) bernuansa agama. Kedua, agamaisasi di ruang publik. Dan ketiga adalah banyaknya aksi intoleransi.
Khelmy pun menuturkan bahwa fundamentalisme bukan cuma khas agama melainkan juga ada ditiap ruang pemikiran,”Contohnya fundamentalisme pasar” ungkapnya.
Tren 2011 terkait dengan fundamentalisme, berdasarkan penuturan Khelmy, bahwasannya fundamentalisme tidak lagi menyasar pondok pesantren tetapi mulai menjaring di sekolah sekolah publik. “SMA Negeri jadi ruang pertarungan dan pertaruhan” ujarnya. Sehingga menurut Khelmy kelompok rohani di sekolah negeri rentan terhadap pemikiran fundamentalisme.
Bagi Khelmy, fundamentalisme-radikalisme berbeda dengan terorisme. Fundamentalisme dan radikalisme masih di ranah pemikiran, gagasan dan nilai sedangkan terorisme sudah nyata praktiknya. Sehingga terorisme bisa diadili karena ada perbuatannya, yakni menghilangkan nyawa orang lain, merusak hak milik orang lain dan semacamnya.
Terorisme tidak sekadar karena agama. terorisme mengkooptasi agama dan menjadikannya sebagai trigger (pemantik). “Soal utama karena mereka (teroris-red) miskin” ungkap Khelmy.
Sehingga pendekatan dalam memerangi terorisme tidak hanya mengubah cara pikir pelaku terorisme, namun juga melalui pendekatan kesejahteraan. “siapa yang memikirkan kesejahteraan istri dan anak amrozi?” ungkap khelmy.
Khelmy pun meng-kritik polisi Indonesia yang main langsung tembak orang yang diduga teroris. Khelmy menceritakan bahwa di suatu pengrebekan, polisi langsung menembak orang yang diduga teroris di depan istri dan anaknya, “Jangan heran bila si anak menganggap bahwa ‘polisi membunuh bapak saya’”. (Gusti Bayu)