Oleh
Gunawan Muhammad*
Suarakita.org- Saya kurang ingat persis bagaimana kejadiannya ketika Mita mengatakan identitasnya sebagai seorang gay kepada saya. Saya hanya ingat ia mengatakan, “Bapak, kan pernah bilang, saya boleh melakukan apa saja asalkan tidak mencelakakan diri saya dan merugikan orang lain.” Lalu ia menjelaskan dirinya. Saya terdiam sejenak. Lalu dengan suara cemas saya katakan kepadanya, kalau tak salah, “Saya sedih. Kamu akan menjalani hidup yang sulit di masyarakat ini”. Tapi Mita berani jujur dan berterus-terang kepada saya membuat saya senang.
Saya tak ingat persis bagaimana hubungan pernyataan Mita dengan surat cinta dari seorang wanita kepada saya yang ia temukan. Tetapi saya ingat memang mendapatkan sepucuk surat cinta dari seorang perempuan. Ia seorang Amerika dan satu-satunya orang yang pernah menulis surat seperti itu kepada saya. Saya tak mengingkarinya dan tidak pernah menyesal pernah menerima surat cinta itu. Saya memang bukan suami yang setia dan tertib, saya bukan suami yang ideal, tapi ikatan batin saya dengan isteri saya kuat.
Seingat saya, setelah Mita mengatakan yang sejujurnya, saya kemudian menulis surat kepada Mita, mengatakan bahwa saya dan ibunya menerimanya dengan penuh. Di samping surat, saya juga memberikan sebuah novel, Oranges Are Not The Only Fruit, karya Jeanette Winterson, tentang gadis lesbian yang tumbuh di keluarga Pantekosta.
Sebenarnya, saya dan istri saya sudah melihat indikasi Mita ke arah sana. Harus diakui, kami cemas, takut hal itu akan mencelakakannya, dan bertanya-tanya apa sebab hal itu terjadi kepadanya. Tetapi kami merasa tidak ada yang perlu dihalang-halangi atau diubah. Menjadi lesbian atau gay bukanlah sebuah kekejian. Apalagi bagi saya, cinta orang tua, cinta saya, kepada anak adalah cinta yang tak bersyarat, unconditional. Mungkin begitulah cinta yang ideal. Mungkin begitulah Tuhan mencintai manusia dan sebaliknya. Cinta saya kepada anak adalah cinta yang tak bersyarat.
Sosok yang saya kagumi dalam hal ini adalah, ibunya, istri saya. Istri saya memiliki latar belakang yang teratur dan boleh dikatakan konservatif, baik dari masa kecilnya sampai dengan bidang kerjanya di majalah Femina. Berbeda dari saya. Saya dibesarkan oleh ayah yang ‘pemberontak’, orang yang di masa muda meninggalkan tradisi keluarganya; ia jadi aktivis politik kiri. Saya sendiri kemudian hidup akrab dalam kalangan kesenian. Di kalangan ini, banyak yang tak terduga dan tak lazim diterima dan dihargai. Tetapi istri saya tidak. Walau pun begitu, ia bisa dengan terbuka menerima Mita bahkan pacar Mita di rumah. Bayangkan, istri saya bisa memperlakukan pacar Mita seperti anaknya sendiri, ketika tinggal serumah dengan kami. Ibu yang melahirkan Mita luar biasa.
Saya dan istri saya tidak pernah merasa dihukum karena Mita seorang lesbian. Saya hanya akan menyesal andaikata Mita merebut hak dan mencurangi orang lain, atau menganiaya orang lain, atau mengumbar kebencian. Saya menerima identitas Mita, sebab, ia memiliki nilai-nilai dasar yang baik. Ia, sebagaimana kakaknya, Hidayat Jati, tidak pernah menghina orang kecil. Mita dan Jati menyaksikan bahwa para pembantu rumah tangga kami praktis jadi seperti bagian lain dari keluarga. Mereka selalu memperhatikan hak-hak pembantu rumah tangga, selalu mengucapkan terima kasih tiap kali ia dilayani.
Mita juga tidak pernah memendam purbasangka kepada kelompok lain. Pernah suatu ketika, kami di rumah kedatangan tamu yang mengejek orang-orang Tionghoa hanya karena mereka Tionghoa. Mendengar itu, Mita berkata, “Maaf, Tante, di rumah ini kami tidak dididik untuk bicara seperti itu.”
Ia pernah menolong seorang sahabatnya yang melahirkan bayi di luar pernikahan, dan berpisah dari ayah si bayi. Bersama sahabat-sahabatnya ia merawat bayi itu di rumahnya — saya bayangkan kejadian ini seperti dalam film Three Men and A Baby. Pernah pula suatu ketika, di kantornya, ada rekan kerjanya yang diancam akan dipecat karena mengenakan jilbab. Mita membela perempuan itu; ia mengatakan ketidak-setujuannya kepada atasannya yang tak menghormati keyakinan perempuan itu — padahal Mita tidak mengenakan jilbab.
—
Sebagai orang tua, saya tidak pernah meminta anak saya melakukan sesuatu untuk kesenangan kami. Satu-satunya ‘keharusan’ bagi mereka adalah kepandaian berenang. Saya memperkenalkan mereka dengan kesukaan berolahraga, kami membiasakan diri menjelaskan pendapat dalam bertukar pikiran — dalam percakapan di meja makan — dan dengan demikian membiasaakan berpikir kritis. Saya memperkenalkannya dengan kecintaan kepada seni dan membaca. Saya ingat salah satu buku yang mereka sukai di masa kecil adalah Komedi Manusia William Saroyan, yang mengisahkan kehidupan keluarga yang kehilangan ayah dan kakak, tapi hidup di sebuah kota kecil dengan penduduk yang akrab satu sama lain. Buku lain, Pangeran Kecil St. Exupery. Buku ini menyambut kehidupan imajinasi, percintaan dan persahabatan yang tetap indah meskipun sia-sia.
Di waktu sekolah, Mita selalu menjadi juara kelas, tapi saya dan ibunya tidak pernah mendorong-dorongnya untuk itu. Bahkan praktis tak pernah membahasnya. Pada akhirnya, anak-anak itu yang akan menentukan pilihan mereka, ambisi mereka, keyakinan mereka. Baik Jati maupun Mita punya kemampuan yang bagus untuk menulis, (Mita juga sebenarnya berbakat melukis, dan pernah membuat sebuah film pendek), tapi saya tak mendorong mereka jadi penulis, mengikuti jejak saya.
Pada akhirnya, anak-anak itu yang akan menentukan pilihan mereka, ambisi mereka, keyakinan mereka.
Pernah seorang pemimpin perusahaan besar berbicara kepada saya dan mengatakan kekagumannya kepada Mita dalam bekerja — ia rupanya pernah menyaksikan presentasi Mita — dan bertanya apakah dia bisa meminta Mita bekerja untuk dia. Saya tertawa. “Dia yang memutuskan”, jawab saya.
—
Setelah melela, mengungkapkan identitasnya kepada saya, Mita terlihat lebih bahagia. Dia juga kebetulan dapat perkerjaan yang bagus, punya kesempatan untuk melakukan kegiatan yang bermacam-macam — dan tentu saja memanjakan kucingnya. Banyak orang yang tampaknya menyukai dia. Meskipun ia bisa sangat tajam dalam bicara dan terdengar arogan, ia punya rasa humor yang penuh dan seorang sahabat yang tulus.
Hal yang sempat saya khawatirkan adalah tekanan sosial kepada golongan gay dan lesbian. Saya khawatir dia akan dianggap cela, kotor, bukan hanya aneh. Baru-baru ini saya diserang di media sosial, di Twitter. Mereka mempermasalahkan anak saya seorang lesbian. Ada yang bertanya, apakah hal itu benar. Saya jawab, ya benar, benar sekali — lalu saya tambahkan: ayah dan ibunya sangat mencintainya. Yang ingin menyerang pun diam. Mudah-mudahan mereka memahami cinta seorang ayah.
Setelah mengungkapkan identitasnya kepada saya, Mita terlihat lebih bahagia.
Indonesia sekarang sudah lebih baik dalam menanggapi gay dan lesbian bila dibandingkan beberapa waktu yang lalu — meskipun ancaman masih belum lenyap. Masih banyak perjuangan LGBT yang harus dilakukan. Tekanan sosial masih ada. Apalagi bisik-bisik, diskriminasi tidak terbuka, lebih sulit dihadapi dibandingkan konfrontasi dan makian langsung. Bisik-bisik dan diskriminasi tertutup, penanganannya jauh lebih rumit. Saya tetap cemas memikirkan bahwa Mita, dan kawan-kawannya, harus melalui ini.
Hal yang juga sempat saya khawatirkan adalah bagaimana ia menghadapi keluarga besar. Tetapi ternyata sampai sekarang kami baik-baik saja. Kakaknya, Jati, meskipun antara Mita dan dia ada sibling’s rivalry, secara tak banyak bicara selalu mendukung pilihan adiknya. Mita bisa akrab sama sepupu-sepupunya. Mereka akhirnya tidak anggap hal itu sebagai masalah. Sampai hari ini tidak ada reaksi penolakan, mungkin karena mereka tahu sikap saya dan ibunya terhadap Mita.
—
Melihat Mita membawa pacarnya ke rumah memberikan saya kesempatan untuk menyaksikan langsung bagaimana hubungan mereka. Sama seperti hubungan Jati dengan pasangannya, Mita dan pasangannya adalah dua manusia yang sedang jatuh cinta. Bahkan, saya bisa melihat keindahan dalam hubungan itu. Mereka rukun, kadang pergi berdua, saling bercanda. Sangat beradab, sangat lucu, tidak ada yang aneh. Selama Mita bahagia, kami pun bahagia.
Memiliki pacar Mita di rumah membuat suasana rebih ramai. Anak saya hanya dua, jika ada pacar Mita di rumah, rasanya seperti dapat satu orang anak lagi. Kami kadang makan di luar bersama. Juga kami senang bila teman-teman Mita dan Jati datang ke rumah.
Yang saya agak kehilangan: saya makin jarang bertemu dengan Mita. Ia punya dunia sendiri, seperti halnya kakaknya. Saya tak tahu dan tak pernah bertanya apakah mereka pernah kangen kepada saya sebagaimana saya kangen kepada mereka. Seperti apa yang saya utarakan tadi, saya tak pernah mau menuntut apa yang sering disebut sebagai ‘balas budi’ kepada orang tua. Cinta orang tua harusnya tak pernah menuntut.
Anak saya hanya dua, jika ada pacar Mita di rumah, rasanya seperti dapat anak lagi.
Cinta mengalahkan segalanya. Dengan cinta kita menganggungkan semuanya. Cinta membebaskan orang yang kita benar cintai, membiarkan ia tumbuh dan menemukan kebahagiannya sendiri. Mungkin ini adalah pelajaran bagi saya dan orang tua yang lain: cinta itu sebuah kekuatan yang besar.
Sumber: Facebook
—
*Goenawan Mohamad lahir di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada 29 Juli 1941. Ia adalah salah satu jurnalis senior Indonesia yang menggagas berdirinya Majalah Tempo pada 1971. Tetapi ia juga dikenal sebagai penyair, penulis lakon, esesis. Setelah pensiun dari Tempo di tahun 2000, ia aktif mendirikan Komunitas Utan Kayu dan kemudian Komunitas Salihara, pusat kesenian yang menyajikan karya-karya seni yang bermutu dan tidak komersial. Goenawan Moehamad menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak, Hidayat Jati dan Paramita Mohamad. Dua cucu: Kiara dan Isaia. Goenawan Mohamad dapat dihubungi melalui akun twitter-nya: @gm_gm.