Oleh : Randyka A. Wijaya*
Suarakita.org- Pada tahun 2006 para ahli hukum internasional dari 25 negara mengadakan pertemuan di Yogyakarta. Pertemuan tersebut membahas isu Hak Asasi Manusia (HAM) internasional terkait orientasi seksual dan identitas gender. Para ahli hukum tersebut bukanlah perwakilan resmi dari masing-masing negara, namun mereka bertemu karena memiliki komitmen yang sama terhadap HAM terkait orientasi seksual dan identitas gender. Yogyakarta Principles bukanlah dokumen resmi, tetapi dapat menjadi acuan hukum mengenai HAM terkait orientasi seksual dan identitas gender yang sudah digunakan di beberapa negara.
Yogyakarta Principlesadalah panduan universal HAM yang menegaskan standar hukum internasional. Para ahli HAM tersebut mengakui bahwa setiap manusia terlahir dengan bebas dan setara dalam hak dan martabat yang dimiliki. Oleh karena itu, segala bentuk pelecehan dan diskriminasi harus ditiadakan. Orientasi seksual dan identitas gender adalah bagian integral dari martabat dan hak setiap orang. Yogyakarta Principles ditujukan sebagai rekomendasi untuk sistem HAM PBB, kewajiban negara dalam melindungi HAM warganya, Non-Goverment Organization (NGO), media, donatur, institusi nasional HAM dan aktor-aktor lainnya.
Pelanggaran HAM terkait orientasi seksual dan identitas gender yang terjadi di tingkat global serta tidaknya adanya pendekatan hukum dan praktik yang jelas dan konsisten menjadi perhatian serius bagi ahli hukum internasional HAM yang mengadakan pertemuan di Yogyakarta. Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender ada berbagai macam bentuknya seperti pembatasan akses pendidikan dan kesehatan, pengabaian, diskriminasi, tidak diakui, pembunuhan, pemerkosaan dan lain sebagainya. Beberapa negara masih menerapkan hukuman mati terhadap praktik seks sesama jenis. Selain itu, banyak terjadi pembunuhan yang menimpa orang dengan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda. Pembunuhan tersebut sebagian besar tidak mendapat hukuman dan dilakukan oleh agen negara.
Pemahaman kebanyakan masyarakat yang biner mengenai ide dasar gender turut berkontribusi terhadap terjadinya berbagai pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender. Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) misalnya menantang pemahaman masyarakat tentang ide dasar gender bahwa LGBT berada diluar dua pengkategorian gender yang selama ini dipahami. Ketidakmampuan kita untuk memahami realitas dunia sosial membuat kaum LGBT harus membayar dengan berbagai pelanggaran HAM yang harus dialaminya.
Terdapat beberapa kritik dalam penyusunan draftYogyakarta Principles. Salah satunya dari O’Flahrety dan Fisher (2008) dalam “Sexual Orientation, Gender Identities, and International Human Rights Law: Contextualising the Yogyakarta Principles”. Pada prinsip 19, hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi, dimana mengidentifikasi negara untuk mengatur media dalam menghindari diskriminasi, hanya sebatas mengacu pada media yang diatur oleh negara. Sedangkan media yang diatur oleh non-negara terhindar dari prinsip tersebut. Terdapat beberapa prinsip yang agak kabur dan tidak memberi ketentuan, mungkin mencerminkan kondisi hukum serta aplikasinya yang tidak pasti. Pada prinsip 21 (b), ekspresi, praktik, dan promosi pendapat yang berbeda, keyakinan dan kepercayaan dengan mengakui orientasi seksual atau identitas gender dilakukan dengan cara yang sesuai dengan HAM. Hal tersebut tidak begitu jelas apakah suatu komunitas keyakinan dapat mengekslusi seorang anggotanya karena orientasi seksualnya, meskipun prinsip tersebut, dalam tingkat minimum membutuhkan refleksi sebagai legitimasi dalam hukum seperti suatu eksklusi. Selain itu, dalam teks akhir terdapat kelalaian yang disengaja. Misalnya tidak terdapat ekspresi yang membenarkan hak pernikahan non-hetereoseksual. Dalam Prinsip 24 hak untuk membina suatu keluarga, dalam paragraf (e) hanya berbicara hak perlakuan non-diskriminatif bagi pernikahan sesama jenis dalam negara-negara yang sudah mengakui itu.
Meskipun masih dalam proses perbaikan dan pengembangan dari beberapa kritik yang ada, Yogyakarta Principles tetap menjadi penting sebagai acuan atau panduan hukum internasional HAM terkait orientasi seksual dan identitas gender. Yogyakarta Principles dapat menjadi referensi bagi penyelenggaran hukum HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender baik bagi PBB maupun bagi berbagai negara. Prinsip-prinsip tersebut dapat berguna dalam masa depan kehidupan sosial yang tidak diskriminatif dan terhindar dari pelecehan berbasis orientasi seksual dan identitas gender. Yogyakarta Principles juga mencoba menghindari atau menolak konstruksi biner masyarakat tentang gender.
*Randyka A. Wijaya, Mahasiswa S1 Sosiologi Universitas Indonesia.
Daftar Pustaka :
-O’Flaherty, Michael dan Fisher, John. 2008. Sexual Orientation, Gender Identity and International Human Rights Law: Contextualising the Yogyakarta Principles. Dalam Human Rights Review 8: 2. Oxford University Press.
-The Yogyakarta Princples. Maret 2007. “The Yogyakarta Principles” Diunduh 17 November 2013. (www.yogyakartaprinciples.org/principles_en.pdf)
Bahasa Indonesia klik : Yogyakarta Principles