Search
Close this search box.

Tubuh Pencerahan

Oleh:

Hartoyo*

Suarakita.org- Tubuh dan seksualitas dalam konteks sekarang selalu dimasukan dalam ruang yang suci dan yang kotor.  Suci sehingga perlu dijaga sebegitu ketatnya untuk tidak menjadi kotor dan hina.

Konsep kesucian atau kesakralan tubuh sudah ada sejak dulu dalam sejarah kekayaan seksualitas nusantara. Budaya nusantara sudah punya nilai-nilai sendiri bagaimana seksualitas atau tubuh ditempatkan. Bukan selalu hal yang kotor tetapi dapat “merayakan” tubuh sebagai hal yang suci.

Point itu yang disampaikan dalam seri Kuliah Umum Ourvoice, Minggu,24/11/13 bersama Saras Dewi,dosen Filsafat UI.  Menurut Saras, dalam ajaran Shiwa-Budha (cikal bakal agama Hindu dan Budha di Indonesia ) bahwa seksualitas nusantara ada tiga hal; 1. Hedonisme, 2. Kamasutra, 3. Tantrayana.  Pada point ketiga menurut ajaran tersebut sebagai seksualitas yang paling puncak menuju pencerahan.  Sedangkan pada Hedonisme dan Kamasutra tujuannya untuk kesenangan diri atau untuk memanjakan tubuh, tidak bermakna spritualitas.

Dalam kuliah tersebut, Saras menjelaskan bahwa ajaran Tantrayana didalam Tantraloka menjelaskan bahwa praktek seks melampui simbol-simbol apapun, jelek-cantik/tampan, kaya-miskin, laki-laki-perempuan-waria-priawan, maskulin-feminin, heteroseksual-homoseksual, semua melampui dan tak beridentitas.  Hal ini mungkin yang dimaksud oleh Judith Butler sebagai konsep Querr dalam kajian filsafat Barat. Seksualitas yang cair tanpa identitas.

Seksualitas Tantrayana menggunakan tubuh sebagai medium untk mencapai pencerahan manusia. Tubuh bukan dilihat sebagai hal yang kotor.  Kunci dari praktek sex ajaran Tantrayana ada relasi yang setara, cinta kasih, adil, non diskrminasi, tanpa kekerasan. Karena pada saat itulah sang dewa atau Tuhan menyatu dalam tubuh itu. Artinya persetubuhan dalam ajaran Tantrayana tidaklah aktivitas yang dilaksanakan dengan sembarangan pasangan, substansinya perwujudan cinta kasih dengan orang yang kita cintai. Dapat dilakukan berdua, bertiga,berempat ataupun beramai-ramai.

Ajaran Tantra berarti meyebar atau merajut, dalam ajarannya meyakini pemujaan pada Shakti yakni aspek maskulin dan feminin dari dewa Shiva dan Shakti. Dalam teknik Tantrayana ada yang disebut dengan Panca Makara, yaitu meliputi: madira (anggur), matsya (ikan), mamsa (daging), mudra (gerakan tangan) dan maithuna (hubungan seksual). Tahapan maithuna dianggap sebagai teknik yang paling penting dalam ajaran Tantrayana.

Seksualitas pada masa dulu, sebelum masuknya agama-agama ‘import” ke nusantara sangat digambarkan sebagai bagian dari kehidupan manusia. Bukan untuk ditabukan untuk dibahas dalam kajian publik.  Sex menjadi satu kesatuan dalam nilai-nilai keyakinan masyarakat yang harus mendapatkan tempat yang sama dihadapan Tuhan.

Hal ini bisa tergambar dalam candi-candi di Borobudur, Prambanan, candi Suku maupun candi Ceto. Artefak Lingga-Yoni (penis-vagina) digambarkan sebagai hal yang wajar untuk diketahui publik sebagai simbol kesuburan. Sampai sekarang simbol Tugu Monas dengan puncak emas juga merupakan simbol Lingga-Yoni yang selalu dapat kita dilihat di Jakarta.

Menurut Saras, ironisnya simbol-simbol artefak candi khususnya yang memperlihatkan simbol-simbol seksualitas banyak mengalami kerusakan akibat “banalisme” pihak-pihak lain yang menganggap itu sesuatu yang kotor.  Masuknya Islam ke nusantara juga berkontribusi besar atas rusaknya artefak-artefak tersebut. Lagi-lagi atas keyakinan agama merusak artefak-artefak bersejarah itu.

Padahal artefak-artefak di candi tersebut membuktikan adanya pemujaan terhadap Ardhanareswari, simbol penyatuan Shiwa dan Shakti, penyatuan antara yang maskulin dan feminin.  Penyatuan apa yang disebut dengan laki-laki dan perempuan, manusia yang Androgini. Tidak maskulin tidak juga feminin, menyatu dalam satu tubuh untuk mencapai pencerahan sang Tuhan.

Fokus Meresapi Materi Kuliah Umum (Foto: Yatna/Suara Kita)
Fokus Meresapi Materi Kuliah Umum
(Foto: Yatna/Suara Kita)

Saras menegaskan lagi bahwa pemujaan pada Lingga dan Yoni di Candi Sambisari juga menjadi bukti bagaimana dualisme energi maskulin dan feminin dianggap sebagai bentuk kesempurnaan Tuhan. Seksualitas sebagai sesuatu yang spritual bukan hal yang kotor dan menjijikan seperti yang banyak kita pahami sekarang ini. Hubungan seks hanya bisa dilakukan oleh kelompok heteroseksual dalam institusi perkawinan formal belaka, padahal sistem itu tidak menjamin relasi seksual yang setara dan penuh cinta kasih.

Sejarah ini membuktikan sangat nyata bagaimana tubuh digunakan oleh leluhur bangsa Indonesia sebagai sesuatu yang tidak perlu ditutupi atau dianggap kotor. Tubuh sebagai simbol kesuburan bukan untuk ditutup rapat oleh kain berlembar-lembar, bahkan untuk “mendesa” menikmati seks  juga dilarang.

Padahal puncak kenikmatan dalam seks bukan persoalan kenikmatan fisik belaka tetapi kenikmatan spiritual yang jauh melampui apa yg manusia pikirkan dan bayangkan tentang kenikmatan kebertubuhan.

Sekali lagi tentunya hubungan seks yang dimaksud dalam ajaran Tantrayana adalah hubungan sex yang didasarkan atas suka sama suka,setara,non kekerasan, non eksploitatif dan tak beridentitas kelamin atau gender apapun.  Sayangnya dalam konteks sekarang hubungan seks walau telah masuk ke institusi perkawinan atas nama agama justru menjadi tempat eksploitasi dan kekerasan seksual  untuk terus dilanggengkan.  Bukan pencerahan yang didapat justru perkosaan dan perbudakan seks yang terjadi.

*Penulis adalah Sekretaris Umum Suara Kita

Makalah lengkap dapat diunduh di sini