Suarakita.org- Dari awal Aku sudah meragukan kekuatan cerita film “Taman Lawang” versi Olga Syahputra yang katanya menghabiskan budget hingga 5 millyard. Sempat malas menonton ketika ada beberapa teman waria yang telah menonton menyampaikan kepadaku bahwa dalam film ada kesan membuat orang-orang beranggapan waria di taman lawang itu suka “geta”/ mencuri handphone milik tamu. Dan ada teman waria lainnya juga menyampaikan bahwa film ini adalah film lelucon untuk menghibur penonton dengan banyak adegan bodor-bodoran versi Olga dan kawan-kawan dengan kostum wanita. Sampai akhirnya membuatku penasaran untuk menyaksikannya sendiri, dan tibalah saatnya mendapatkan kesempatan emas ditraktir nonton oleh Rikky Our Voice, Sabtu, 16 November 2013 di XXI Kalibata Mall, sehingga tercetuslah komen berikut ini :
Sebagai Waria yang pernah mencari uang di Taman Lawang, Aku rasa situasi yang tergambar dalam film tidak sepenuhnya sama, memang benar ada waria yang agak usil suka mengambil barang-barang tamu, akan tetapi tidak semua waria melakukan hal yang sama. Memang pernah ada waria yang meninggal karena nyemplung ke kali akibat menyelamatkan diri dari razia Satpol PP, tetapi tidak menjadi hantu dan menteror orang-orang bahkan orang yang tidak ada hubungan dengan kematiannya. Ya, memang sah-sah saja jika cerita dikembangkan, tapi Aku rasa pembuat film harus banyak melakukan survey. Jangan buru-buru merampungkan film, agar konten film tidak hanya berdasarkan asumsi beberapa golongan saja. Agar tidak hanya menjadikan nama Taman Lawang sebagai daya tarik film semata. Banyak hal yang bisa digali dan diangkat dibalik kehidupan para waria teman-temanku disana. Seperti betapa pendidikan yg rendah mempengaruhi kehidupan kami, betapa hak atas pekerjaan sulit untuk kami dapatkan, betapa bullying memiliki dampak besar pada perkembangan kami. Berikut stigma dan diskriminasi yg masih melekat pada kami. Aku rasa pembuat film perlu menggali lebih dalam pergerakan update yang telah dirasakan oleh waria, seperti dalam film ada dialog ketika Ridwan kekasih Alm. Ningrum menyarankan kepada Chyntia (Olga) untuk melaporkan tindakan kekerasan yang didapatkannya oleh pasangannya dirumah sebagai KDRT dan Chyntia menjawab, “Terus maksud loe gue harus ngelapor ke KOMNAS Perempuan gitu?? Gak mungkin banget”. wah kalimat itu sesuatu yang keliru sekali. KOMNAS Perempuan itu sangat membuka diri dan peduli terhadap komunitas waria dan bahkan mereka pernah melibatkan kami dalam workshop pendokumentasian kekerasan untuk pemenuhan hak-hak konstitusional komunitas transgender. Dan definisi “Perempuan” menurut mereka adalah seseorang yang lahir secara biologis sebagai perempuan dan atau seseorang yang tidak terlahir dengan biologis perempuan namun memerankan peran sosial sebagai perempuan (WARIA).
Pada akhirnya secara keseluruhan, film Taman Lawang adalah film komedi horor yg terkesan menjual sensualitas kelompok waria dan mendompleng nama besar Taman Lawang sebagai daya tarik film. Diawal pembukaan film saja ada tulisan testimoni keliru, “Taman Lawang bukan sekedar taman, tapi juga tempat mangkal para Pelacur Waria”. WOW kata “pelacur” sudah lama sekali ditinggalkan, seharusnya dengan kata “Pekerja Seks Waria”. Pembahasan kata saja akan luas. Oleh sebab itu, lagi-lagi masukanku buat pembuat film, cobalah survey dan gali yang serius dulu dari berbagai perpektif. Akan berbeda perspektif antara “waria aktivis” dengan “waria show”. Juga tidak akan sama dengan perspektif waria-waria dalam lingkup lain-lainnya. Pada penutup film diakhiri dengan suara Alm. Chyntya yg akhirnya meninggal dibunuh Pasangannya, “Dendamku sudah terbalaskan, namun ini semua tidak dapat menebus dosa dosaku atas jalan hidup yang tidak semestinya aku jalani”. DOSA?? sungguh aku berkeberatan jika hidup sebagai waria dianggap sebagai dosa. itu Given/terberi bukan Pilihan.
Anggun Pradesha