Search
Close this search box.

Jilbab: Metafora Penuh Makna

Suarakita.org- Jilbab sebagai metafora memiliki banyak makna yang tidak tunggal tapi multi-vokal. Itulah salah satu poin penting dalam kuliah umum Spritualitas Sang Liyan : Praktek Jilbab Di Kalangan Waria, bersama Dewi Candraningrum,  Pada Jum’at 8 November 2013.

Dewi Candraningrum mengawali penjelasannya dengan menjabarkan konsep Sozialkoerper, tubuh sosial. Dewi memilih memperkenalkan konsep tubuh sosial dalam bahasa Jerman bukan karena bahasa Jerman lebih tinggi dari bahasa Indonesia tetapi kaena dia mencintai bahasa. Dan baginya bahasa adalah kolong kolong keindahan yang bisa kita pakai sebab terkadang dalam menjelaskan sesuatu ada ruang ke-tak-terjemahan. Juga dia ingin mengajarkan sesuatu dari akarnya.

Tubuh sosial adalah tubuh yang dibayangkan, diimajinasikan dan didefinisikan oleh sebuah masyarakat modern. Dalam makalahnya yang berjudul Sozialkoerper des Islam, dewi fokus pada interaksi jilbab sebagai bagian dari tubuh sosial dengan masyarakat. karena Dewi melihat penelitian sebelumnya hanya fokus pada selembar kain yang disebut jilbab.

Menurut Dewi, fasisme rasionalitas yang mengagung-agungkan otak sebagai pusat menjadikan tubuh sebagai sesuatu yang inferior.  Tubuh dianggap sebagai sekedar saja bukan sebagai pusat wacana.  Sehingga tubuh dianggap bukan sebagai pengetahuan. Anggapan ini merupakan suatu gejala masyarakat yang menolak tubuhnya sendiri, “Dan ini menyedihkan” ungkap Dewi.

Dewi pun menyarankan bahwa tugas pertama sebagai aktivis minoritas seksual (LGBT) adalah mempelajari tubuhnya dahulu. Ketika kita bahagia dengan apa-apa yang kita punya dari tubuh kita maka keindahan akan muncul dari diri kita. Sebab proses liyan yang pertama kali adalah dengan me-liyankan tubuhnya sendiri.

Jilbab dikalangan waria adalah bentuk afirmasi, bentuk ekspresi, dan pengukuhan eksistensi dirinya. Dewi melihat spriritualitas  sang liyan dirayakan dengan syahdu dalam praktek jilbab. Ini pun masih saja dianggap hina oleh sebagian orang. Hanya karena waria tidak masuk dalam definisi tubuh yang diyakini dunia.

Dewi pun menjelaskan bawah liyan tidak melulu susah, tidak melulu  berdarah-darah. Liyan juga bisa ditemukan  di lingkaran kekuasaaan. Dia pun memberi contoh, seorang perempuan berjilbab yang menjadi Bupati di Karang Anyar, Jawa Tengah. Berdasarkan pengamatannya, Jilbab yang digunakan berguna secara politik dan etik. Secara politik, dengan Jilbab bisa meraup suara banyak dengan cara cepat. Secara etik, Jilbab membuat perempuan Bupati itu jadi lebih didengar dan terlindungi dari pelecehan. Sang perempuan Bupati itu adalah Liyan. Sebab dia tidak bisa mengafirmasi tubuhnya sendiri.

Di sini bisa dilihat bahwa Jilbab dapat menjadi strategi untuk pertahanan hidup. Dan dapat dilihat pula jilbab menjadi perkakas yang bisa digunakan untuk mempertahankan hidup. (Gusti Bayu)

Makalah lengkap dapat diunduh di sini