Search
Close this search box.
Berbagai masalah seperti gaji tidak dibayar dan ancaman hukuman mati melilit buruh migran.
Berbagai masalah seperti gaji tidak dibayar dan ancaman hukuman mati melilit buruh migran.

Suarakita.org- Sejumlah mantan tenaga kerja wanita (TKW) mengaku berangkat dalam keadaan terdesak dan dengan pengetahuan minim tentang negara tujuan mereka.

“Saya kasihan sama suami yang terlilit utang karena sebetulnya dia yang mau berangkat (ke luar negeri). Saya mau bantu dia bayar utang itu,” kata Saodah.

Dia adalah salah satu dari mantan TKW yang berasal dari Desa Tersana, Indramayu, Jawa Barat. Rumah Saodah rimbun oleh pohon mangga yang mulai berbuah. Dindingnya bata merah tidak diplester apalagi cat.

Duduk di lantai ubin yang dialasi tikar, perempuan kelahiran 1975 ini memulai cerita tentang kegagalan suaminya berangkat bekerja ke Korea yang menyisakan utang yang cukup besar.

Pada tahun 2007 meski tidak sepenuhnya diijinkan suami, Saodah berangkat juga ke Kuwait bersama beberapa orang TKW asal Indramayu dan langsung dipertemukan dengan calon majikan oleh agen yang menempatkannya.

Saodah menceritakan keluarga majikannya sebenarnya cukup baik, tidak pernah membentak ataupun memukul.

Berat badan susut

Mantan TKW asal Indramayu, Saodah, kini mengajar mengaji setiap sore di rumahnya.
Mantan TKW asal Indramayu, Saodah, kini mengajar mengaji setiap sore di rumahnya.

Namun ibu tiga orang anak ini belum pernah tahu apapun mengenai kebiasaan di Kuwait.

Makanan di rumah tempatnya bekerja melimpah, tetapi bila datang waktu makan tidak satupun dari mereka menyisihkan piring berisi makanan untuknya.

Saodah rikuh. Dia tidak mau mengambil makanan majikan untuk dimakan sendiri karena menganggap itu mencuri. Dia juga tidak mengerti bahwa menurut adat setempat boleh-boleh saja memakan makanan yang ada di rumah itu.

Tetapi kendala bahasa membuat Saodah tidak bisa bertanya.

“Saya merasa tidak diberi makan dan tidak berani mengambil makan sedangkan majikan berpikir saya sudah mengambil makan.”
Akibatnya berat badan Saodah susut lebih dari 25 kilogram hanya dalam tiga bulan selama ia bekerja.

Karena kurang makan dan lemas, suatu hari Saodah lalu terjatuh berguling dari tangga di lantai enam hingga ke lantai satu dan harus dirawat intensif di rumah sakit sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia.

Tidak akrab
Setelah berhasil kembali pulang ke Indonesia, bukan berarti masalah berhenti setelah memasuki pintu rumah.

Berada di jarak yang jauh selama beberapa lama juga bisa merenggangkan hubungan keluarga. Hal ini yang dialami dialami Nur Khafidzoh, ibu muda berusia 24 tahun, dengan anak balita semata wayangnya.

Nur masih tinggal dengan orang tua dan saudara-saudaranya di desa yang berjarak jarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota Indramayu.

Ia baru pulang September lalu setelah sembilan bulan merantau ke Bahrain. Berkali-kali berusaha mendekati anaknya, tetapi yang dipanggil malah lari bersembunyi di balik tirai.

“Ga’ mau dia sama ibunya, orang dia ditinggal masih kecil banget,” Nur yang tadinya bekerja di Bahrain menggambarkan hubungannya dengan sang anak.

Ia terpaksa meninggalkan bayinya yang waktu itu baru berumur kurang dari tiga tahun setelah pernikahan yang ia bangun tahun 2009 kandas.

“Saya harus cari nafkah buat dia. Saya cuma lulusan SMA dan cari kerja di sini juga sulit. Katanya di luar (negeri) gajinya lebih besar.”

Arimbie Heroepoetri Ketua sub-komisi pemantauan Komisi Nasional Anti-kekerasan Terhadap Perempuan mengatakan fenomena keluarga yang terpisah ini banyak terjadi di kantung-kantung pengiriman TKI.

“Suami kerja, istri kerja, anak dititip ke neneknya. Pulang-pulang tiba-tiba ibunya bawa anak atau suaminya kawin lagi,” kata Arimbie menyesalkan fenomena ini.

Sumber : BBC | Indonesia