Suarakita.org- Pada sosialisasi kondom produk PT RNI dalam tas bingkisan di pertemuan Forum Pemimpin Redaksi di Bali dimaksudkan dalam rangka sosiasilisasi produk dalam negeri. PT MRB yang memproduksi kondom 1 juta buah per tahun, tapi produk itu hanya 430 ribu yang diserap pasar dalam negeri.
Dari total produksi itu ekspor hanya 25 persen dan sisanya idle. Di sisi lain 79 persen kondom di dalam negeri merupakan produk impor.Itu sebabnya Direktur Utama (Dirut) PT RNI Ismed Hasan Putro mengampanyekan produk Indonesia. Padahal, penjualan kondom nasional bisa 15 juta buah per tahun. Maraknya produk-produk kondom impor di Indonesia menegaskan pangsa pasar untuk kondom masih terbuka luas. Produk lokal yang kualitasnya jauh lebih bagus justru kalah bersaing karena kurang promosi.
Harga kondom lokal sebenarnya lebih murah. Kondom merek Sutera yang diproduksi Thailand dijual dengan harga sekitar Rp 5.000 per pak. Sedangkan kondom lokal merek Artika hanya dijual Rp 2.600 dan yang bergerigi hanya Rp 3.500 per pak.
Namun untuk kondom impor China, harga kondom lokal memang bisa dibilang lebih mahal. Jika dilihat dari segi kualitas, mutu kondom lokal berani bersaing. Produsen kondom lokal telah memiliki lisensi ISO 9001 Under License URS & TUV Nord, ISO 13485, WHO Standard dan CE Certificate sehingga dijamin sudah memiliki kualitas ekspor ke Eropa. Namun sayang, sistem ditribusi dan promosi produknya masih sangat lemah.
“Kami akui kami kalah dari segi promosi dan distribusi. Kendalanya adalah kurangnya promosi dan bea impor yang sangat rendah jadi produk impor bisa dijual dengan harga yang lebih murah. Kebanyakan kondom impor juga bisa laris karena didukung oleh LSM internasional,” ujar Ismed.
Perusahaan ini sempat mendapat pesanan untuk memproduksi kondom merek Sutera waktu pertama kali kondom tersebut masuk ke Indonesia. Namun entah kenapa, sejak tahun 2005 berhenti pemesanannya dan dialihkan ke Thailand.
Perusahaan ini dari tahun 2009 sampai 2011 juga sempat mendapat pesanan kondom rasa Coffee Shop dari Iran dengan merek Vitalis. Tak hanya itu, perusahaan ini pada tahun 2007 juga sempat mendapat permintaan produksi kondom dari Bangladesh sebanyak 3.000 gross. Bahkan sampai sekarang juga masih mendapat pesanan dari Singapura sebanyak 10 ribu gross dengan merk Pro-Safe.
“Kami pernah menguji kondom Cina dan kondom lokal dengan dijemur dalam ruang beruhu 70 derajat Celcius. Setelah seminggu, kondom lokal masih tetap bagus. Sedangkan kondom buatan Cina sudah lumer. Namun untuk masalah harga, produk Cina memang jauh lebih unggul. Produk lokal bisa mematok harga sekitar Rp 150 ribu tiap gross. Sedangkan produk Cina bisa dijual dengan harga di bawah Rp 100 ribu per grossnya,” keluhnya.
Yang lebih menyedihkan adalah, produk kondom lokal hanya mampu meraih pangsa pasar sebesar dua persen dari penjualan kondom nasional. Untuk lebih mempopulerkan kondom lokal, PT. MRB bertekad akan menggencarkan promosi tahun ini dan seterusnya. Provinsi yang dijadikan titik start, tentulah Jawa Barat. (ers/jpnn)
Sumber : riaupos.co