Search
Close this search box.
Pendeta Ngeo Boon Lin. Foto : Sebastian Partogi, The Jakarta Post.
Pendeta Ngeo Boon Lin. Foto : Sebastian Partogi, The Jakarta Post.

Oleh: Sebastian Partogi*

Apabila kita percaya bahwa hakikat Tuhan adalah cinta, lantas mengapa kita mengutuk kaum homoseksual? – pendeta Ngeo Boon Lin

Ourvoice.or.id- Pendeta Ngeo Boon Lin percaya bahwa meskipun gereja dan banyak buku karya teolog Kristen mengatakan bahwa menjadi seorang gay adalah dosa, seseorang tetap bisa mendamaikan homoseksualitas dengan iman Kristennya.

“Sejak saya masih kecil, saya melihat Kekristenan sebagai agama yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Banyak orang Kristen yang percaya bahwa homoseksualitas adalah sebuah dosa yang orang pilih untuk lakukan,” ia bicara pada The Jakarta Post baru-baru ini dalam sebuah wawancara eksklusif setelah memberikan kuliah umum mengenai teologi queer di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Halimun, Jakarta Selatan.

Menurut Ngeo – seorang pendeta gay yang sudah coming out secara publik dan saat ini memimpin jemaat di Metropolitan Community Church (MCC), sebuah gereja lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di New York, Amerika Serikat, sikap negatif banyak orang Kristen terhadap homoseksualitas menyebabkan banyak individu LGBT menderita dan susah karena hidup dalam penyangkalan atas orientasi seksual mereka.

Ia mengatakan bahwa sikap negatif ini dapat dihindari apabila orang Kristen mencoba untuk tidak menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang seolah-olah mengutuk homoseksualitas secara harafiah.

“Contohnya saja, kisah Sodom dan Gomora. Kisah itu kan bercerita tentang pemerkosaan beramai-ramai antara lelaki. Jadi yang dikutuk dalam kisah itu adalah pemerkosaan beramai-ramai, bukan homoseksualitas,” pungkasnya.

Ia lantas mempertanyakan integritas orang Kristen yang mengaku mempraktekkan ajaran Kristus mengenai belas kasih namun menunjukkan prasangka terhadap individu LGBT.

“Apabila kita percaya bahwa hakikat Tuhan adalah cinta, lantas mengapa kita mengutuk kaum homoseksual?” ia bertanya.

Ngeo (43), seorang Malaysia keturunan China, menghimbau orang Kristen untuk berpikir kritis dan mendengarkan pendapat ilmuwan sosial dan alam mengenai homoseksualitas alih-alih berpegang pada asumsi-asumsi yang tidak memiliki dasar ilmiah sama sekali.

”Banyak orang Kristen percaya bahwa kita memilih untuk menjadi gay dan bisa ‘disembuhkan’. Namun berbagai penelitian ilmu sosial telah menunjukkan bahwa kita tidak memilih orientasi seksual kita,” ujarnya.

“Menurut saya, orang heteroseksual tidak bangun suatu hari dan membuat keputusan untuk menjadi heteroseksual. Hal yang sama juga berlaku untuk kaum homoseksual. Homoseksualitas bukanlah sesuatu yang saya pilih. Saya terlahir sebagai seorang gay,” tambahnya.

Ia mengatakan bahwa ia sudah tertarik pada laki-laki sejak ia berusia empat tahun, meskipun ia baru mengenal istilah homoseksualitas saat berusia 10 tahun.

“Saat itu tidak ada yang berbicara secara terbuka mengenai homoseksualitas. Saat saya berusia 10 tahun, saya membaca sebuah koran dan melihat istilah homoseksualitas. Dan saya tahu bahwa itu adalah tentang diri saya,” katanya.

Ia mengatakan bahwa saat itu ia masih percaya bahwa menjadi gay adalah sebuah dosa dan bahwa Tuhan bisa membuat dirinya “normal” suatu hari nanti.

“Jadi saya berdoa setiap hari, meminta Tuhan mengubah saya untuk menjadi individu heteroseksual. Saya sampai berpuasa karena berpikir bahwa ritual tersebut akan mengubah orientasi seksual saya. Namun tidak ada yang berubah,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa ia menikahi seorang perempuan saat ia berusia 26 tahun dengan harapan bahwa itu akan “menyembuhkan” homoseksualitasnya.

“Saya mengatakan padanya bahwa saya sudah pernah berhubungan seks dengan seorang laki-laki sebelumnya, tetapi saya percaya bahwa saya bisa berubah dan bahwa saya bukanlah seorang gay. Saya meminta bantuannya untuk mengubah diri saya, dan dia bersedia. Jadi kami menikah dan hijrah ke Amerika Serikat untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi,” katanya.

Namun, katanya, pada tahun 2002 istrinya bertanya mengapa ia adalah pihak yang selalu memeluk dan mencium Ngeo duluan sementara Ngeo sepertinya tidak pernah berinisiatif untuk melakukan hal tersebut.

“Lalu saya berkata padanya, ‘sepertinya ini karena saya gay.’ Lalu ia menatap saya dan berkata, ‘saya sudah tahu soal itu. Dengar, kita hanya hidup sekali. Kamu harus menjadi siapa diri kamu yang sebenarnya’,” katanya.

“Lalu ia melanjutkan ucapannya, ‘Saya hanya memiliki satu permintaan. Kapanpun kamu menemui lelaki yang kepadanya kamu tertarik, perkenalkan orang itu padaku terlebih dahulu karena aku bisa membaca orang dengan lebih baik daripada kamu.’ Bagi saya, dia adalah seorang malaikat, yang membantu saya untuk menerima seksualitas saya,” katanya.

Ia mengatakan bahwa ia memutuskan untuk coming out kepada public setelah membaca buku karya Mel White, Stranger at the Gate.

“Buku tersebut menginspirasi saya untuk memberitahu saudara-saudara saya bahwa mereka tidaklah sendirian,” katanya.
Di tahun yang sama, ia memutuskan untuk mempelajari teologi di Episcopan Divinity School, Boston, dan menyandang gelar Master pada tahun 2004.

“Saya memang sudah bercita-cita menjadi seorang pastor sejak saya masih berusia 12 tahun. Saya senang menyanyikan lagu rohani dan melayani Tuhan melalui gereja,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa ia bergabung dengan MCC sebagai seorang pendeta pada tahun 2007, sebuah pengalaman yang digambarkannya sebagai sebuah “perjalanan pulang ke rumah”.

“Saya bernyanyi dan berdoa bersama saudara-saudara LGBT saya, dan pengalaman tersebut sungguh membebaskan saya karena saya tidak perlu berbohong pada siapapun mengenai seksualitas saya,” katanya.

Pada Agustus 2012, ia menikahi Phineas Newborn III, seorang penari balet dan produser musikal Broadway, di Malaysia.

Ia menyampaikan ini kepada komunitas LGBT di Indonesia: “Kalian adalah ciptaan Tuhan, kalian diciptakan berdasarkan citraan Tuhan. Jangan hiraukan orang-orang yang berbicara jahat tentang kalian. Kalian dicintai oleh Tuhan.”

*Penulis adalah wartawan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post

Artikel ini dimuat dalam bahasa Inggris di harian The Jakarta Post pada hari Jumat, 23 Agustus 2013. dengan judul : Ngeo Boon Lin: Being gay and Christian