Search
Close this search box.
Ilustrasi foto : DW.DE
Ilustrasi foto : DW.DE

Suarakita.org- Puisi bukan tempat untuk menemukan jawaban atau kesimpulan suatu masalah, tapi tempat menemukan pertanyaan atau pemikiran.

„Sastra adalah jati diri suatu bangsa“. Begitu tegas Dorothea Rosa Herliany menutup acara pembacaan puisinya di Universitas Bonn beberapa waktu lalu. Ia mengomentari Indonesia yang akan menjadi Tamu Kehormatan ajang pameran buku terbesar di dunia, Pekan Buku Frankfurt pada tahun 2015 nanti.

Ada kecemasan pada Rosa, begitu nama panggilannya, bahwa di pameran buku Frankfurt akan tampil banyak hasil penelitian ilmiah yang dibukukan, tapi miskin buku sastra, khususnya puisi.

Kenyataannya karya sastra Indonesia yang telah diterjemahkan ke bahasa Jerman bisa dihitung jari, beberapa tulisan Rosa termasuk di antara yang sudah dialihbahasakan.

Pencipta bukan penafsir tunggal

Dua karya prosanya, „Mengalir“ dan „Diam–diam Kusimpan Belati“ diterjemahkan 2002 oleh kelompok kerja mahasiswa Universitas Bonn yang mempelajari sastra modern Indonesia. Selain itu ada dua kumpulan puisinya dalam bahasa Jerman, termasuk sekumpulan puisi dari bukunya „Szenario eines Selbstmords“ atau „Skenario Bunuh Diri“ yang dia bacakan siang itu di Universitas Bonn.

Bergantian dengan Berthold Damshäuser, mengalir renungan-renungan dalam bahasa Indonesia dan Jerman mengenai perempuan-perempuan yang melawan struktur patriarki dalam kehidupannya. Seperti dalam prosanya, belati kembali menjadi simbol dalam Surat Lorena:

masih kausimpankah pisau itu?/ jangan kaubasuh darahnya. masih kudengar erangan manis itu./ kucatat dalam berhalaman buku cinta. kita baca malammalam,/ketika darah mendidih dan memancur bersama nafas/yang memburu.

kaunikmati ketakberdayaan./seperti ikan yang kaupelihara dalam rahimmu./menggelepar dalam lumatanlumatan nafsu/ dan rintihan halus dan gaib dari mulut terbukamu./

masih kausimpankah pisau itu?/sebelum kaucapai puncak cinta, ribuan wanita/ akan menghunus dan menikamkannya: entah pada/daratan tubuh dan gumpalan daging yang mana.

Para perempuan dalam sajak itu tak lagi melihat pisau sebagai sekedar alat dapur, tapi belati pembela diri. Apabila perlu.

„Sebagai peringatan“, ungkap penyair itu. Menerangkan lebih jauh, disebutkannya bahwa puisi sebetulnya hanya sebuah tawaran nilai, atau lontaran gagasan dan ide, dimana pencipta bukan penafsir tunggal dan pembaca bebas melakukan penafsiran sendiri.

Dalam menulis, laporan media maupun peristiwa keseharian sering menginspirasinya. Berbagai kejadian nyata itu digarap kembali menjadi karya fiktif yang memiliki realitas baru ketika dicerna oleh pembaca, “rasa sakit yang mendalam, kemurungan yang mengakar, itu yang dialami sosok-sosok di sini”.

Tambahnya, “tradisi patriarkal berada di mana-mana menindas yang lemah. Kemurungan yang tersirat, juga bisa merupakan satu cara untuk melihat Indonesia”

68 tahun merdeka dan buku “sesa’at”

Ilustrasi
Ilustrasi

Berthold Damshäuser, pencinta puisi dan pengajar bahasa Indonesia di Universitas Bonn, menyebut Rosa sebagai “aktivis sastrawi”, karena kegiatannya dalam dunia sastra dan budaya. Dorothea Rosa Herliany tak hanya sering tampil di ajang internasional, di Indonesia ia mendukung berbagai aktifitas, termasuk Festival Lima Gunung di Jawa Tengah.

Dalam wawancara terpisah Rosa bercerita kepada Deutsche Welle bahwa saat ini di Indonesia yang telah 68 tahun merdeka ada perkembangan bagus. Secara kuantitas, telah bertambah jumlah orang yang punya minat dalam dunia tulis menulis. Menerbitkan buku relatif lebih mudah dan karenanya, jumlah penerbit juga melonjak.

Dari segi jumlah ada lonjakan naik. Menggunung buku-buku yang diterbitkan, juga yang dipajang di toko-toko buku maupun di situs-situs internet. Namun menurut Rosa, dari segi mutu banyak yang hanya buku “sesa’at“.

“Kita jarang mendapat sesuatu yang sungguh-sungguh sebuah “bacaan” yang bermanfaat dan memberi “nilai” untuk kehidupan ini. Dulu buku memang sedikit, tapi buku yang diterbitkan telah melalui pemeriksaan tim editor yang tidak sembarangan dan berpengalaman“, tambahnya. Menurut dia, peran buku dalam pembentukan karakter dan jiwa manusia selama kurun 68 tahun terakhir juga relevan untuk diteliti, karena “pasti ada fakta menarik dari sana“.

Dorothea Rosa Herliany, yang juga mengelola Rumah Buku Dunia Tera, tengah menyusun antologi puisi berjudul “The Lontar Anthology of Indonesian Poetry” yang akan diterbitkan oleh Yayasan Lontar di Jakarta. Rosa kala ini tengah menjadi tamu lembaga pertukaran akademisi Jerman, DAAD, dalam program residensi di Berlin.

Sumber : DW.DE