Ourvoice.or.id- Di hari ke 24 Ramadhan 1434 Hijriah, Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mengadakan diskusi publik dengan tema “Menggugat Empat Pilar Kebangsaan”. Tema tersebut diangkat karena akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat. Contohnya saja pada 1 juni lalu, ada demonstrasi di berbagai daerah yang menyatakan pancasila harga mati negara. Ada penilaian respon negatif pada MPR. Isinya tidak ada perbedaan, namun istilah pilar menyebabkan multi interpreteble di masyarakat. Acara ini berlangsung di gedung PBNU Jl kramat raya no 104 jakarta pusat.
Guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Kaelan, M.S. membuka diskusi dengan maksud Ir Soekarno memberikan dasar filsafat negara yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka tunggal ika. Esensinya, Pancasila adalah dasar negara yang dijabarkan oleh azaz norma melalui peraturan perundang-undangan. Lalu yang menjadi praksis adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan simbol Bhinneka Tunggal Ika. Pilar sudah menjadi icon untuk permasyarakatan.
Di berbagai negara ada berbagai macam teori kebangsaan yang antara lain pragmatis, komunis, atheis, liberal, sekuler, dan hanya Indonesia yang berketuhanan yang maha esa. Pancasila negara Indonesia punya ciri khas karena Pancasila sebagai paradigma filsafat atau landasan untuk hukum yang menentukan UU tersebut apakah adil atau tidak bermakna. Sayangnya pada praktek di lapangan, saat ini hukum yang diterapkan di Indonesia seperti pisau kebawah tajam keatas tumpul. Dimana ada pencuri sandal di kenakan sanksi berat sedangkan koruptor dikenakan sanksi ringan.
Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA yang merupakan peneliti pusat penelitian politik LIPI, berpendapat Pancasila bukanlah pilar, tetapi landasan. Pada sesi ini Siti Zuhro melontarkan beberapa pertanyaan kritis “Kenapa 3 pilar lainnya tidak membumi dan tidak diresapi masyarakat? Kenapa demokrasi di indonesia sangat terpuruk? Kenapa kita seolah-olah tercabut dari akar kita? Kenapa demokrasi yang universal yang kita terapkan rasanya sudah tercerabut dari akar kita?”
Negara sebagai “rumah” rakyat seharusnya bertanggung jawab untuk mencerdaskan dan mensejahterahkan. Namun yang dibangun cuma elit dan tidak ada bedanya dengan orde baru.
Seharusnya Indonesia adalah negara kepulauan dan nusantara yang memiliki nilai sama. Kita mengimpikan adanya demokrasi yang ideal dan aplikatif yang dilandasi oleh pilar kebangsaan, bukan demokrasi liberal.
MPR selaku perwakilan rakyat harus mencerminkan nilai demokrasi yang baik ke publik. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal, masyarakat gotong royong. Harusnya ini ditumbuh kembangkan oleh para pemimpin, termasuk instansi keagamaan.
K.H. Masdar F. Mas’udi, Rais Syuriah mengungkapkan, “Jika di bandingkan dengan Islam, di dalam Islam 5 pilar (rukun islam). Harusnya dalam rukun islam syahadad itu hal yang paling mendasar”.
Akhir-akhir ini ada kejadian yang melukai NKRI, yaitu dibiarkannya deklarasi khilafah oleh HTI di senayan. “Kenapa diberi fasilitas stadion, TVRI menayangkan secara lengkap?”, tanya K.H. Masdar.
Gambaran Indonesia sekarang, gejolak yang sampai di Indonesia belum sampai mengoyakkan fondasi negara kita. Tidak seperti kehancuran pada negara Mesir, Pakistan dan Afganistan. Namun tidak boleh dibiarkan, harus ada perubahan untuk memperbaiki.
Kalau bicara negara kita tidak boleh memasung orang lain dengan keyakinan kita. Ketuhanan basis spiritual, karena di dalam negara ada manusia yang memiliki keyakinan dan iman. Manusia yang adil dan beradab adalah sumber moral kita. Kemanusiaan universal ada pada orang beragama dan kafir sekalipun. Maka dari itu harus kita hormati. Negara tidak boleh menghakimi warganya berdasarkan prevensi keimanan. Iman ada dalam relung hati, tidak ada yang tau, hanya Allah yang tau. Yang bisa dihakimi adalah hal yang objektif seperti prilaku dan kata-kata kasar.
Pancasila bagaikan wahyu dari langit ketujuh. Ini keistimewaan dari bangsa indonesia. Label nama negara islam tidak akan mempengaruh kalau keadilan tidak ditegakkan. Jadi jangan tertipu dengan label agama. Ketika negara berlabel agama, label itu akan memprovokasi sebagai wakil agama. Ketika seorang merasa dirinya sebagai wakil agama maka dia akan mendefinisikan dirinya mutlak pada posisi agama yang dilabelkan dan itu berbahaya.
Menanggapi ketiga narasumber sebelumnya, wakil kegua MPR RI, Lukman Hakim Saifuddin., MA. menjelaskan perubahan UU yang cukup besar, sehingga masyarakat awam dan para penyelenggara banyak yang tidak menyadari perubahan UU yang terjadi di konstitusi. Hal lain juga dipengaruhi oleh globalisasi dan tekanan hidup masyarakat Indonesia yang semakin keras. Sehingga mengubah tatanan nilai berprilaku dalam masyarakat.
Ada Sembilan hal yang menyebabkan lunturnya nilai-nilai bangsa yang antara lain pelanggaran nilai moral dan hukum, tumbuhnya ideology asing, meluasnya praktek ketidak adilan, kesenjangan social, maraknya perilaku koruptif, semakin marak aksi kekerasan, intoleransi, eskalasi gerakan separatisme dan mewabahnya perilaku main hakim sendiri.
Ada empat hal yang sangat penting untuk kembali menjadi wacana publik yang akhirnya akan diaplikasikan menjadi perilaku kehidupan. Sebenarnya masih banyak pilar-pilar bangsa yang harus dipikirkan seperti bahasa Indonesia yang sudah di sepakati tahun 1928, lagu Indonesia raya, bendera merah putih. Lukman Hakim menambahkan, “Jangan terjebak dengan konsep kesetaraan, karena antar pilar tidak bisa disetarakan”(Rikky)