Search
Close this search box.

Dangdut, perempuan dan seksualitas

Dangdut, perempuan dan seksualitas : Sensualitas suara, tubuh dan tarian penyanyi perempuan Indonesia dalam menerjemahkan hasrat seksual yang tertekan.

Oleh : Tanti Noor Said*
Suarakita.org- Sudah sekian lama, dangdut menjadi genre atau jenis music yang menjadi subyek diskusi dan perdebatan dalam ranah agama dan politik di Indonesia. Andrew Weintraub, seorang etno-musikolog menceritakan kronologis perkembangan musik dangdut di Indonesia, dalam konteks sosial dan politik. Selama rezim Orde Baru (1966-1998), produksi budaya pop dikontrol secara ketat oleh pemerintah. Kontrol ini bertujuan untuk membuat semua bentuk hiburan menjadi bebas politik. Hampir tidak ada ruang yang tersisa untuk terjadinya perlawanan terhadap kekuasaan absolut yang saat itu dimiliki oleh pemerintah. Bahkan isi teks lagu dan kostum artis, tidak luput dari pengawasan.

Andaipun musik dapat digunakan sebagai sebuah instrumen untuk perlawanan, namun bukanlah perlawanan yang massif ataupun substansial. Bentuknya sangat subtiel dan lebih kepada sebuah ekspresi resistensi rakyat yang “susah” karena himpitan kesulitan ekonomi. Dangdut selalu dikait-kaitkankan dengan kelompok kelas buruh dan kaum miskin sebagai konsumen atau penikmatnya, terutama di daerah pedesaan, di mana keadaan ekonomi mayoritas warga pas-pasan dan kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah dalam hal fasilitas. Sementara kesejahteraan yang tidak merata dan kesenjangan semakin tinggi, dangdut menjadi alat atau media untuk kelompok kelas buruh untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan kesedihan mereka dalam bentuk hiburan.

Dalam satu dekade yang berbeda, fungsi dangdut telah mengalami pergeseran terus menerus dalam memproyeksikan perubahan sosial dan politik di Indonesia. Pada 1970-an, dangdut adalah medium untuk berkhotbah dan mensosialisasikan ideologi Islam. Pada tahun 1980-an, penyanyi wanita mulai muncul dalam blantika musik dangdut. Lirik yang dibawakan biasanya menyuarakan kesedihan dan ratapan kaum perempuan atau istri mengenai kisah cinta dan perselingkuhan yang menyakitkan. Dapat disimpulkan, bahwa lirik-lirik dangdut pada umumnya menggambarkan pengalaman perempuan yang mencoba bertahan dalam pernikahan yang tidak membahagiakan dalam konteks tradisi masyarakat yang patriarkal dan tidak melihat perempuan sebagai partner yang setara dengan laki-laki. Selama era 1990-an, dangdut didefinisikan sebagai genre nasional oleh pemerintah Indonesia. Dalam rezim pasca orde baru, kontrol di industri hiburan mulai melunak. Bersamaan dengan itu, perdebatan seputar tema jender, agama dan politik terkait dengan penampilan musik dangdut juga makin menghangat.

Di Indonesia, seperti di negara lainnya, ideologi seksual terus-menerus di rekonstruksi. Ada juga peristiwa-peristiwa yang membawa pengaruh kebudayaan lain seperti penjajahan Belanda dengan kekristenannya dan tradisi Islam ataupun tradisi-tradisi lain yang terdistribusi dan diadopsi dalam era globalisasi. Selain pengaruh dari luar,  tekanan dan dominasi yang kuat yang terjadi di masa pemerintahan Orde Baru, memberikan kontribusi terhadap pergeseran ini. Tradisi-tradisi lokal secara bertahap dihilangkan, termasuk praktek-praktek seksual.Sampai pada abag 19, praktek seksual lebih bebas dan luwes. Menurut seorang peneliti dan ahli sejarah Indonesia, Anderson, pada masa lalu, praktek seksual di bumi Nusantara tidak dikaitkan dengan dosa atau malu. Praktek seksual juga tidak ketat terkait dengan cinta dan pernikahan. Yang ada bukanlah rasa geli, jijik dan dosa, namun keisengan tentang birahi yang menggila dan gairah yang hangat.

Sebagai salah satu negara muslim terbesar, Indonesiapun terkondisikan dan mungkin mengkondisikan diri untuk menerapkan nilai-nilai kesusilaan, khususnya yang berkaitan dengan praktek seksual. Dalam tekanan untuk mengekspresikan praktek dan naluri seksual inilah, dangdut kemudian menjadi sebuah media atau produser yang menyediakan erotisme melalui tubuh, tari dan suara perempuan. Ada berbagai macam bentuk variasi dalam dangdut ini, seperti dangdut Pantura dan Koplo. Pertunjukan semacam ini menyajikan atribut seksual seperti  kostum yang seksi dan kadang terkesan murahan, tarian erotis (joget) dan lirik yang isinya mengundang dan menggiurkan untuk penonton laki-laki. Selain itu, ada juga tradisi saweran didalam pertunjukan dangdut yang sebenarnya berasal dari tradisi ronggeng di Jawa Barat, di mana orang-orang memberikan uang kepada penyanyi wanita sebagai hadiah untuk tarian sensual mereka. Selain itu juga sebuah pertanda dari penonton laki-laki yang meminta untuk diajak menari di atas panggung.

Di satu sisi, dangdut telah digambarkan sebagai komodifikasi tubuh perempuan dalam rangka untuk melayani fantasi seksual pria. Di sisi lain, kita dapat memahami bagaimana pertunjukan ini sebenarnya juga telah menjadi media untuk menyediakan zona aman kepada masyarakat untuk mengekspresikan hasrat seksual mereka yang ditekan oleh kesopanan budaya timur sebagai bagian yang sangat integral dalam identitas bangsa Indonesia. Sebuah upaya pemerintah untuk menggabungkan budaya nasional dengan kesopanan dihadapkan dengan nostalgia keinginan akan  kebebasan untuk mengekspresikan seksualitas di masa pra-kolonial, yaitu ketika praktek seksualitas tidak dibenturkan dengan norma dan nilai-nilai agama yang dominan, seperti Kristen dan Islam.

Kita dapat memahami dangdut sebagai media untuk mengekspresikan kerinduan dan nostalgia akan sebuah kebebasan seksual. Dalam menganalisa fenomena dangdut ini, saja meminjam teori dari Mikhail Bakthin, seorang filsuf Rusia. Bakhtin memahami peristiwa karnaval sebagai sebuah peristiwa di mana massa memperoleh kesempatan dan kebebasan dalam bertindak dan melepaskan diri dari kekangan norma dan moral yang biasa ada dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam konteks dangdut, sebagai sebuah peristiwa, pertunjukan dangdut dapat dipahami sebagai satu-satunya zona di mana ekspresi seksual diperbolehkan untuk disajikan atau dipertunjukkan. Dalam kasus dangdut ini, penyanyi dangdut menyajikan pengalaman bagi penonton terhadap kerinduan untuk masa lalu dan sebuah bentuk protes yang banal terhadap penindasan seksual yang sangat provokatif dan mengikat.

Saya menyimpulkan, kita bisa melihat para artis dangdut wanita sebagai korban dari sistem patriarki yang melayani kebutuhan seksual pria atau komoditas ekonomi dalam industri musik Indonesia. Tapi kita juga bisa memahami Wanita-wanita ini sebagai subjek yang memiliki kekuatan melalui penampilan dan aksinya. Oleh sebab itu, pertunjukan dangdut memiliki penjelasan yang jauh lebih rumit dibandingkan kapitalisme dan dominasi ketidaksetaraan jender bagi penyanyinya. Ideologi seksual kita adalah merupakan bentuk fenomena sosial yang sarat dengan penindasan seksual, tradisi budaya lokal dan pengaruh pasca-kolonial. Dengan memahami pertunjukan dangdut dengan melihat wanita penyanyi sebagai subyek, kita juga akan dapat memahami penjelasan yang jauh lebih menarik tentang dinamika kelas sosial dan relasi jender.

*Penulis adalah Antropolog lulusan program Master Antropologi Budaya dan Sosiologi Masyarakat Non-Barat Universiteit van Amsterdam dan kontributor Our Voice