Suarakita.org- Beberapa waktu terakhir, sejumlah negara melegalkan perkawinan sejenis. Penulis perempuan terkenal Ayu Utami membagi perspektif tentang isu ini dan konsekuensi etik di baliknya.
Kabar baik bagi kawan-kawan gay: tambah satu lagi negara yang melegalkan pernikahan sejenis. Ratu Inggris mengesahkannya Juli 2013 ini. Para agamawan-wati pasti banyak yang geram. Tapi, eh, sejak menempuh Sakramen Perkawinan dua tahun silam sebetulnya saya menyatakan diri beragama juga lho. Sebagai Katolik yang selalu siap traveling iman, demi konsistensi-sistemik diri, saya harus punya pendapat tentang perkawinan sejenis.
1) Kalau iseng baca kisah Sodom Gomora di Alkitab (Genesis atau Kejadian 19), ketemulah kita dengan satu narasi yang sangat menarik tentang kejahatan penduduk kota Sodom. Ceritanya, dua utusan Tuhan datang dan menginap di rumah Lot di kota itu. Lantas laskar Sodom malah menggeruduk rumah Lot dan menyuruh ia menyerahkan tamunya “untuk kami pakai”. Yang mengerikan (dan jarang dikutip orang): Lot justru berniat memberikan dua anak perawan untuk melindungi tamunya. Ini mengerikan sekali! Perempuan dikorbankan untuk melindungi kehormatan utusan Tuhan! Untungnya warga kota tidak mau memangsa dua perawan itu dan bertahan mau menggarap dua tamu. Tentu saja di akhir cerita keluarga Lot selamat (kecuali istrinya yang menoleh ke belakang) dan Sodom Gomora dihancurkan.
Cerita itulah asal-usul kata “sodomi”. Tapi, buat saya ada yang tidak fair saat kita mengidentikkan kejahatan sodom hanya dengan semburit. Cermatilah cerita itu dan kita bisa melihat bahwa kejahatan yang disebutkan adalah pemerkosaan. Atau, kalau mau lebih ketat: pemerkosaan dengan semburit. Sodomi yang ada di Genesis tidaklah identik dengan semburit-suka-sama-suka.
Tapi, apakah dengan begini s-s-s-s tadi berarti tidak dosa? Tetap dosa sih, sebab melalui jalur pembuktian lain (yang tak cukup diuraikan di sini) akan tercapai kesimpulan bahwa semua seks yang dilepaskan dari fungsi reproduksi adalah dosa. Padahal itulah yang kita lakukan: bersenang-senang dengan seks! Hah! Hiburannya: dosa kaum homoseksual setara dengan kaum heteroseksual yang bersenang-senang belaka. Artinya, kaum hetero tidak berhak merasa lebih suci daripada kaum gay. Eh, kita semua berdosa buka? Jadi jangan khawatir. Meskipun saya menikah, saya tidak lebih benar daripada homo manapun.
2) Jadi, apa itu pernikahan jika suami-istri yang bersenang-senang dengan seks ternyata diam-diam berdosa juga? (Ya ampun, sudah dibilang semua orang berdosa. Jangan khawatir. Konon katanya ada sang penebus.) Pertanyaan ini begitu sederhana tapi sebetulnya kompleks. Perkawinan punya banyak aspek, dan salah satu aspek pentingnya adalah membangun keluarga untuk menumbuhkan bayi-bayi yang akan lahir menjadi manusia. Perkawinan adalah untuk menyiapkan penyemaian manusia. Di sinilah saya berbeda dari kelompok liberal.
3) Kaum liberal umumnya melihat berketurunan sebagai hak manusia belaka. Konsekuensi terjauh dari perkawinan gay adalah pengesahan metode-metode artifisial dan teknologis dalam memproduksi bayi. Pasangan perempuan bisa membeli sperma dan pasangan pria menyewa rahim. Ada masalah? Buat saya, ada masalah. Mengerikan sekali membayangkan bahwa manusia diproduksi dengan teknologi. Ada dua tingkat kengerian:
4) Kengerian pertama. Bayangkan, beberapa sperma dipilih dari jutaan; sperma terpilih dipasang-pasangkan dengan sel telur dan terjadilah beberapa zigot. Dari beberapa zigot itu kita memilih lagi mana yang mau dimasukkan ke dalam rahim (rahim sendiri atau sewaan). Dasar proses memilih itulah yang mengerikan: rasionalisasi. Sulit buat saya memilih bahkan anak anjing yang mau saya beli. Bagaimana saya memilih calon bayi? Kita akan memilih yang bagus dan membuang yang jelek? Itu sudah langsung bertentangan dengan cinta. Dalam persetubuhan (pembuatan bayi yang alamiah) memang belum pasti ada cinta juga. Tapi dalam produksi bayi teknologis sudah pasti tidak ada cinta. Kita memproduksi bayi yang berawal dari kerakusan untuk berketurunan, dan menempuh proses yang sepenuhnya berdasarkan hitung-hitungan untung-rugi. Tak ada pertimbangan etis di sini. Pertanyaannya: jika manusia memang berhak meneruskan keturunan, apa juga berarti wajib?
5) Kengerian kedua. Hak manusia berketurunan tadi sebetulnya hanya mengasumsikan hak manusia yang sudah terlanjur hidup dan memiliki nafsu-nafsu. Apakah pada saat yang sama kita berpikir tentang manusia yang akan diproduksi: dilemparkan ke dalam pasar kehidupan ini? You play God, beneran! Apa relasimu dengan anak yang akan kamu produksi? Bagaimana kamu menerangkan hak mereka untuk diproduksi?
***
Kembali ke perkawinan gay. Inilah sikap saya: saya mendukung legalisasi perikatan sekular bagi pasangan sejenis demi jaminan keamanan mereka sebagai manusia. Tapi sampai detik ini saya menolak―saya belum bisa menemukan pembenaran etis―proses produksi manusia dengan teknologi dan rasionalisasi, oleh pasangan gay maupun hetero.
Sumber : DW.DE