Ourvoice.or.id-Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Jawa Tengah menyatakan kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah masih sangat marak. Selama satu semester terakhir, antara November 2012 hingga Juni 2013, LRC-KJHAM mencatat telah terjadi 301 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban sebanyak 425 orang perempuan.
“19 perempuan diantaranya meninggal dunia, yang sebagian besar korban meninggal dunia terjadi di ranah domestik, baik dalam relasi rumah tangga, sebagai istri maupun PRT maupun dalam relasi subordinasi seperti pacaran dan pengasuhan,” kata Divisi Informasi dan Dokumentasi LRC-KJHAM Witi Muntari dalam acara Refleksi 29 Tahun Ratifikasi CEDAW dan Milad LRC-KJHAM Ke-14 dengan tema: “Mengakhiri Diskriminasi dan Pelanggaran Hak Asasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual”, Kamis (25 Juli 2013).
Sebaran kasus kekerasan yang paling banyak terjadi di Kota Semarang, yakni sebanyak 136 kasus, Kendal 12, Salatig, Pekalongan, Demak, Surakarta, Sukoharjo masing-masing 10 kasus, Wonosobo 8 serta Semarang dan Sragen masing-masing 7 kasus.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan di Jawa Tengah terdiri dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 135 kasus, perkosaan sebanyak 75 kasus, kekerasan dalam pacaran (KDP) 50 kasus, kekerasan terhadap buruh migran perempuan sebanyak 21 kasus, kekerasan terhadap pekerja prostitut sebanyak 12 kasus, dan perdagangan perempuan 1 kasus.
Adapun bentuk kekerasan yang banyak dialami oleh perempuan di Jawa Tengah yaitu kekerasan seksual 265 kasus, kekerasan fisik dengan 100 kasus, dan disusul kekerasan psikis dengan 60 kasus. Sedangkan kelompok usia korban terdiri dari 47,77 persen perempuan dewasa, 40,47 persen anak-anak perempuan, dan 0,47 persen lansia.
Witi menambahkan pelaku kekerasan ternyata yang paling banyak adalah aparatur negara yaitu pejabat publik/PNS/TNI/POLRI. Parahnya, mereka tidak dihukum secara maksimal. Bahkan vonis pengadilan yang rendah, banyak diantara yang tidak sampai ke proses penuntutan karena hambatan kurangnya alat bukti, dan tidak ada sanksi kedinasan atau disiplin yang tegas untuk memberikan efek jera akan tetapi terkesan institusi negara telah melindungi pelaku.
LRC-KJHAM mendesak agar pemerintah merumuskan perundang-undangan khusus yang berkaitan dengan jaminan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak perempuan dalam upaya pencegahan kekerasan seksual. Dalam aturan itu harus diatur tata cara perlindungan, pemulihan, serta reintegrasi bagi perempuan korban kekerasan seksual, agar sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan layanan-layanan khusus tersebut dan menjadi acuan kebijakan untuk penyelenggaraannya yang sesuai dengan standar hak asasi manusia.
Sumber : Tempo.co