Ourvoice.or.id- Wahabisme, sebuah faham garis keras yang berkembang di Arab Saudi, kini mengancam negeri yang dikenal memiliki wajah Islam moderat.
Ratusan orang menyerang sebuah desa kecil yang dihuni pemeluk Syiah. Membakar rumah, menganiaya, membunuh satu orang dan melukai puluhan lainnya. Tak hanya itu, para penyerang kemudian mengusir warga desa itu karena dianggap murtad.
Tidak, ini bukan kejadian di Peshawar, Pakistan atau Kandahar, Afghanistan. Peristiwa itu terjadi akhir tahun lalu di pulau Madura yang terletak di wilayah Jawa, sebuah tempat yang dikenal sebagai basis Islam moderat Indonesia.
Kekerasan itu hanyalah potret kecil. SETARA Institute, sebuah lembaga pengawas toleransi mencatat, dari tahun ke tahun jumlah kekerasan atas nama agama terus meningkat. Tahun lalu ada 264 kasus.
Berbagai jajak pendapat, secara konsisten juga menunjukkan masyarakat Indonesia semakin tidak toleran terhadap perbedaan iman. Bahkan polling Lingkaran Survei Indonesia menemukan: hampir satu dari empat orang Indonesia bisa mentolerir kekerasan, untuk menegakkan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran agama.
Lalu apa yang mengubah Indonesia? Sejumlah kalangan menuding menguatnya pengaruh Wahabisme, paham yang dianggap memberi saham bagi munculnya gerakan radikal.
Saham Wahabisme
Jejak Wahabisme dalam kasus intoleransi antara lain muncul dalam persekusi terhadap kelompok Syiah.
“Ada gerakan dari kelompok Wahabi yang menyebarkan selebaran bahwa Syiah sesat, dan memobilisasi massa untuk menyerang,“ kata Jalaluddin Rakhmat, intelektual yang juga dikenal sebagai tokoh Syiah Indonesia kepada Deutsche Welle.
“Bukti pengaruh Wahabisme dalam kasus ini bisa kita lihat dari fatwa ulama yang menganggap Syiah itu sesat,“, kata Rakhmat sambil menambahkan bahwa selama berabad-abad, Islam di Indonesia tidak punya sejarah konflik dengan kelompok Syiah.
“Fatwa itu pasti disponsori Wahabisme.”
Faham Wahabi yang berpusat di Arab Saudi, didirikan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, dikenal sebagai sekte garis keras yang ingin memurnikan ajaran Islam dengan menafsirkan kitab suci secara literal dan menganggap kelompok lain yang berbeda pandangan sebagai bid’ah, termasuk Syiah.
Konflik antara Wahabisme dan Syiah punya akar di Timur Tengah dan termanifestasi dalam kontestasi politik antara Arab Saudi dengan Iran hingga hari ini.
“Kerjasama kebudayaan”
Syafiq Hasyim yang sedang merampungkan studi doktoral tentang Islam di Freie Universität Berlin, kepada Deutsche Welle mengatakan bahwa kemunculan faham Wahabisme di Indonesia adalah bagian dari gerakan Islam lintas negara.
Wahabisme masuk lewat “kerjasama kebudayaan“ yang dibangun antara pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi pada tahun 80’an. Sebagian besar masuk lewat bantuan yayasan milik pemerintah Saudi.
“Ulama Indonesia yang datang ke Arab Saudi mendapat bantuan finansial, para pelajar Indonesia juga ditawari beasiswa untuk studi Islam ke sana.“
Selain itu, kata Hasyim, pemerintah Arab Saudi melalui yayasan-yayasannya menawarkan bantuan pembangunan rumah ibadah dengan paket komplit: “Bukan cuma bangunan mesjid, tapi juga berikut pendakwah dan buku-buku Wahabisme“.
Belakangan seiring pemberantasan terorisme, bantuan finansial itu berkurang karena bank sentral Indonesia menerapkan pengawasan yang ketat terhadap aliran dana dari luar negeri.
“Sekarang Wahabisme disebarkan melalui internet termasuk lewat Social Media Facebook dan Twitter.”
Selain itu, kelompok ini memanfaatkan majelis taklim atau kelompok pengajian serta membangun situs berita internet.
“Arrahmah.com jelas representasi suara Wahabi,” kata Hasyim merujuk pada situs berita yang belakangan menjadi referensi penting di kalangan Islamis Indonesia.
Menajamkan Perbedaan
Direktur Yayasan Indonesia Tanpa Diskriminasi, Novriantoni Kahar menyebut Wahabisme sebagai aktor utama dramatisasi perbedaan di kalangan umat Islam: ”Di mana pun Wahabisme menguat, maka urusan-urusan keagamaan yang sebetulnya sepele jadi dianggap persoalan besar. Akibatnya, ketegangan antar golongan di dalam Islam meningkat…”
Survei Yayasan Indonesia Tanpa Diskriminasi mengungkapkan ketegangan itu: 46,6 persen umat Islam mengaku tidak suka bertetangga dengan Ahmadiyah, sebuah sekte dalam Islam yang juga sering menjadi sasaran persekusi.
Sementara ketika ditanya: apakah anda bersedia hidup berdampingan dengan penganut Syiah? 41,8 persen mengaku tidak nyaman. Angka ini lebih tinggi dibanding sikap tidak suka, jika hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain bukan Islam yang angkanya 15,1 persen.
“Yang paling bahaya dari Wahabisme karena ia mengancam kebebasan berpikir dan berekspresi,“ kata Syafiq Hasyim menambahkan.
“Wahabisme mematikan diskursus dan pada gilirannya membunuh ilmu pengetahuan. Bagi kaum Wahabi, semua yang bertentangan dengan ajaran mereka adalah kafir…“
Negara Absen
Intoleransi akibat sikap masyarakat yang dipengaruhi kelompok garis keras, sebenarnya bisa diatasi jika Negara tegas menegakkan hukum. Tapi masalahnya, pemerintah Indonesia lemah ketika berhadapan dengan aktor-aktor kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Imdadun Rahmat , Wakil Ketua Komnas HAM, yang menangani masalah kebebasan beragama, kepada Deutsche Welle menyebut pemerintah Indonesia cenderung membiarkan terjadinya kekerasan atas nama agama: “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak serius. Hanya retorika…”
“Presiden tidak punya keberanian berhadapan dengan kelompok radikal, karena takut dianggap melawan umat Islam…“
Akhir Mei lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat penghargaan World Statesman Award di New York (30/5), karena dianggap sukses membangun toleransi.
Ketika menerima penghargaan itu, presiden Yudhoyono berpidato: “Kami tidak akan menoleransi setiap tindakan kekerasan oleh kelompok yang mengatasnamakan agama… Kami juga akan melindungi minoritas dan memastikan tidak ada yang mengalami diskriminasi.”
Retorika tinggal retorika. Kenyataannya, intoleransi terus terjadi. 15 tahun demokrasi Indonesia, ditandai dengan musim semi Wahabisme.
Sumber : dw.de