Oleh : Nurdiyansah*
Ourvoice.or.id- Dalam masyarakat dengan nilai-nilai kepercayaan budaya tradisional seperti Indonesia, bisa dipastikan peluang masyarakat berkecenderungan homopobia, terbuka begitu lebarnya. Tak mengherankan kalau kaum minoritas para lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), sama sekali tidak mendapat tempat dan semakin termarginalisasi dari masyarakat.
Kecenderungan masyarakat Indonesia untuk membenci para LGBT, didasarkan atas kepercayaan yang mengatakan bahwa hubungan sesama jenis kelamin adalah dosa yang tidak termaafkan. Kalaupun tidak mengkambinghitamkan agama yang melarang aktivitas seksual LGBT, budaya barbar Barat-lah yang kemudian dijadikan alasan. Bahwa jika mereka mengenal seorang LGBT, ia lantas dikatakan terlalu banyak terpengaruh budaya “luar”. Penganggapan seseorang dengan kecenderungan bukan heteroseksual sebagai “orang luar”, kemudian menjadi semacam isyarat untuk meng-alien-asikan seseorang atau sekelompok orang dari segala bidang pemberdayaan, sebut saja pendidikan. Tak jarang mereka yang memiliki orientasi seksual sesama jenis ini, mendapat olok-olok dan menjadi bulan-bulanan pada lingkup di mana ia berada, seperti sekolah. Sehingga, banyak para remaja yang pada akhirnya keluar dari lingkup institusi pendidikan dengan alasan tak tahan atas cemoohan yang biasa dilakukan teman sejawatnya sendiri atau orang-orang di lingkungan tersebut. Fenomena ini lalu menjadi dampak lanjutan terhadap para LGBT yang dibatasi dari dunia kerja.
Tentu kita semua tahu stereotipe terhadap para transgender, yang biasanya turun ke jalan melacurkan diri demi memenuhi kebutuhan hidupnya, bekerja di salon, atau menjadi penghibur karena tak banyak ruang diberikan kepada mereka). Itu terjadi dikarenakan oleh tidak dibekalinya mereka dengan keterampilan dan pengetahuan memadai yang mampu memberdayakan mereka. Kalaupun memang ternyata mereka berpendidikan, pada akhirnya, mereka juga tidak bisa memanfaatkan bekalnya karena banyak ketidakadilan pada dunia kerja yang masih memandang sebelah mata terhadap kaum transgender. Tak urung mereka pun diposisikan pada dunia hiburan sebagai penghibur malam, yang mengundang senda gurai para penonton laki-laki. Meski tak menutup kemungkinan tentu saja ada banyak transgender yang bekerja sebagai eksekutif profesional dengan perjuangan yang berlipat-lipat ganda.
HAM dan Kaum LGBT
Pada beberapa negara di Afrika, kaum homoseksual bisa dihukum penjara atas sikapnya yang ingin meminang kekasihnya yang berjenis kelamin sama, bahkan bukan mustahil kalau terdapat hukuman mati bagi mereka untuk kasus lanjutannya. Di Indonesia sendiri, memang belum ditemukan pasal-pasal berarti yang menyudutkan para kaum yang dipinggirkan ini, tetapi pada prakteknya, banyak para aparat penegak hukum yang memberikan perlakuan tidak adil pada mereka. Contohnya saja adegan penggrebekan yang dilakukan aparat dalam menangani para transgender, terkadang sangat tidak manusawi.
Tak hanya negara yang melakukan kekerasan terhadap individu LGBT, pembunuhan dan kekerasan (fisik dan psikologis) lainnya pun kerap kali dilakukan oleh seseorang dan atau sekelompok orang dengan main hakim sendiri pada beberapa wilayah di banyak negara. Bisa jadi ini adalah refleksi dari ketakutan akan runtuhnya budaya patriarki. Kemunculan para LGBT yang tidak tunduk pada gender ini dinilai sebagai pencorengan terhadap budaya. Oleh karena itu, menjadi agenda penting bagi para LGBT untuk terus memperjuangkan hak-hak yang sebetulnya sudah tertera pada beberapa pasal Hak Asasi Manusia (HAM). Hak sebagai manusia yang bebas, hak untuk bebas dari semua bentuk diskriminasi dan kesetaraan dalam hukum, dan hak untuk memiliki privasi, merupakan HAM mendasar yang sudah sepatutnya juga berlaku bagi semua manusia, baik homoseksual, heteroseksual, biseksual, ataupun transgender.
Pada Montreal Declaration yang merupakan rekomendasi dari LGBT Conference, tertera bahwa permintaan utama yang mendukung eksistensi kaum LGBT adalah dengan menjaga dan melindungi hak paling mendasar dari orang-orang LGBT, yaitu:
(a) Perlindungan dari kekerasan negara dan perorangan.
(b) Kebebasan untuk berekspresi, berkumpul dan membentuk perkumpulan.
(c) Kebebasan untuk melakukan aktivitas seksual dengan sesama jenis (antara orang dewasa yang konsensual dan tidak dilakukan di depan publik).
Maka, menjadi penting bagi kita semua untuk mau mengakui kehadiran para LGBT yang jelas-jelas ada dalam masyarakat kita. Perlu diketahui bahwa orientasi seksual dan identitas gender adalah hak pribadi seseorang. Melihat fakta ini, semestinya sebagai bagian dari masyarakat, kita bisa turut berperan aktif dalam memberdayakan semua manusia tanpa membedakan seseorang berdasarkan ras, etnis, seks, gender, dan lainnya.
Feminisme, Kesetaraan Gender, dan LGBT
Feminisme sebagai suatu gerakan, ide, bahkan metode dalam membebaskan seseorang dari kungkungan ketertindasan, khususnya bagi perempuan, adalah sesuatu yang seharusnya bisa dipandang sebagai wujud perayaan bagi kaum LGBT. Nilai dan kritik yang terkandung pada feminisme, rupanya dapat memberi angin segar bagi para LGBT untuk memperoleh penyetaraan dalam segala bidang di masyarakat. Sebab, seperti halnya kaum LGBT, kaum perempuan pun merupakan kaum minoritas yang banyak mengalami perlakuan tidak adil.
Dalam proses peraihannya menjadi manusia bebas, feminisme bisa dijadikan sebagai tumpangan yang berusaha memahami persoalan ketidakadilan gender, tak hanya bagi perempuan semata, tetapi juga kaum LGBT. Pendominasian budaya patriarki yang begitu kental, dirasa merupakan akar ketertindasan terhadap kaum yang dipinggirkan oleh maskulinitas. Para LGBT umumnya, banyak mendapat stigma yang didasarkan pada bentuk maskulinitas. Misalnya saja, para gay seringkali dipandang sebagai laki-laki yang gagal mengadaptasi budaya maskulinitas, sehingga banyak terpinggirkan dari para laki-laki atas cemoohan dari perilaku yang terlalu feminin. Sama halnya dengan lesbian, yang dianggap sebagai wujud yang berusaha mengalahkan maskulinitas dengan sikap yang sangat maskulin. Ia bagi budaya patriarki adalah ancaman, sangat tidak sesuai dengan tuntutannya yang harus bersikap pasif. Transgender pun mengalami perlakuan yang tidak kalah beratnya. Kaum transgender kerap dijadikan objek guyonan bagi laki-laki yang senang mentertawai bentuk lucu tubuh perempuan dalam wujud maskulin. Padahal, sesungguhnya tidak semua gay berperilaku feminin, sama halnya dengan lesbian yang tak melulu berperangai maskulin.
Stigma yang ada pada LGBT ini merupakan bagian dari penggenderan identitas individu, di mana seseorang diwajibkan menerapkan tipe gendernya berdasarkan seks yang dimiliki. Ini membuktikan bahwa tak hanya tubuh yang diartikan sepihak oleh maskulinitas, bahkan seksualitas seseorang pun ikut mengalami pendefinisian sepihak. Para LGBT ini semua sedang diusahakan untuk takluk oleh budaya patriarki dengan kesimpulan sebagai kaum yang kalah dan dipinggirkan. Padahal, kaum LGBT bisa dikatakan sebagai kaum bebas yang terlepas dari pendefinisian gender. Tindakan politik liberalisasi kaum LGBT, bukan tidak mustahil akan sanggup memberikan redefinisi identitas murni dari seorang manusia karena pada dasarnya mereka tidak terikat pada budaya mainstream yang mengkotakkan manusia hanya pada dua kubu, yaitu feminin dan maskulin atau berkelamin laki-laki dan perempuan. Mereka mendefinisikan dirinya kembali dengan menggali aspek-aspek pribadi yang mereka temukan pada diri mereka masing-masing.
Dengan adanya kerja sama yang terjalin baik antara perempuan dan kaum LGBT, diharapkan ke depannya dapat menciptakan revolusi budaya dalam pengorganisasian sosial dan identitas individu. Sehingga, bisa membuka jalan lebar-lebar bagi pencerahan dan kesetaraan yang adil bagi semua kalangan umat manusia.
*Nurdiyansah adalah penyuka malam, kopi, dan kretek. Bersama kawan membuat portal www.jejakwisata.com dan www.candinusantara.com. Twitter: @nurdiyansah