Search
Close this search box.
Ilustrasi @Reuters
Ilustrasi @Reuters

Ourvoice.or.id- Sekitar 200 ribu tewas dalam dekade perang saudara Aljazair, setelah militer menolak hasil pemilu yang memenangkan kelompok Islamis, sebuah contoh gelap bagi Kairo, setelah presiden Ikhwanul Muslimin digulingkan.

Jika kelompok Islamis Aljazair tidak pernah diperbolehkan memerintah, maka Mohamed Mursi dari Mesir diperbolehkan berkuasa selama satu tahun. Perasaan yang meluas bahwa ia sedang menulis sendiri nasib malangnya bisa jadi akan mencegah mereka yang ingin mengangkat senjata untuk membelanya.

Tapi pelengseran Mursi telah memecah kelompok Islam yang mulai masuk ke politik pasca revolusi 2011 yang menggulingkan diktator Husni Mubarak, yang menindas mereka selama puluhan tahun.

Kelompol Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan bekas sekutu ultrakonservatif mereka kini berisiko kehilangan pengikut, khususnya diantara kaum muda, yang menyimpulkan bahwa eksperimen demokrasi Mesir telah gagal dan bahwa politik damai tidak akan membuat mereka bergerak ke mana-mana.

Kembali ke Jalan Kekerasan?

Kudeta militer membuat kelompok Islamis kecewa @Reuters
Kudeta militer membuat kelompok Islamis kecewa @Reuters

Penasihat keamanan nasional Mursi yakni Essam El-Haddad menulis sebuah pesan perpisahan di Facebook, ”Pesan ini akan bergema di seluruh Dunia Muslim dengan keras dan jelas: bahwa demokrasi bukan untuk kaum Muslim”.

Pada saat aparat keamanan mengawasi tokoh-tokoh paling terkenal Ikhwanul Muslimin, salah satu anggota senior kelompok itu Mohamed El-Beltagy, menelanjangi bahaya itu ketika berbicara di luar sebuah mesjid Kairo di hadapan para pendukung Mursi.

“Isunya sekarang adalah posisi dunia bebas yang mendorong negara ini menuju keadaan kacau dan mendorong kelompok lain di luar Ikhwanul untuk kembalil ke ide tentang perubahan melalui kekerasan.”

Retorika memanas sejak pertama kali militer mengatakan bakal mengintervensi setelah jutaan demonstran membanjiri jalanan menuntut pengunduran diri Mursi.

“Anda telah menciptakan Mujahidin baru, orang-orang yang ingin menjadi martir. Ketahuilah bahwa jika satu dari sepuluh orang di sini nanti meledakkan diri mereka, maka itu adalah karena anda,“ kata seseorang merujuk kepada kepala militer jendral Abdel Fattah al-Sisi, melalui sebuah video YouTube yang diambil saat demo besar pendukung Mursi pekan ini di Kairo.

Beberapa jam sebelum militer melengserkan Mursi, Mohamed Nufil, seorang pegawai pemerintah berusia 44 tahun yang ikut dalam demonstrasi yang sama mengatakan bahwa ia yakin para pendukung presiden akan berubah melakukan aksi kekerasan jika militer membatalkan apa yang mereka lihat sebagai proses demokratik yang sah.

“Jika terjadi kudeta, Mesir akan punya dua pilihan: akan menjadi Suriah, atau akan menjadi Aljazair di tahun `90an. Itulah alternatifnya. Itu akan terjadi,“ kata dia.

Hampir semua pendukung Mursi melihat intervensi militer sebagai kudeta, sementara otoritas Mesir mengatakan mereka hanya merespon tuntutan rakyat Mesir.

Preseden Kekerasan
Mesir telah menjadi wadah gerakan militan Islam selama beberapa dekade.

Tiga presiden yang berkuasa sejak 1952 didukung lewat kudeta militer, semuanya coba dibunuh oleh kelompok Islamis. Dalam kasus Anwar Sadat, yang membuat perjanjian damai dengan Israel, mereka berhasil.

Pada tahun 1990an, gerilyawan Islamis melancarkan pemberontakan berdarah melawan pasukan keamanan di sebelah selatan Mesir.
Al-Gamaa Al-Islamiya, yang melakukan sejumlah aksi paling mematikan, beberapa waktu belakangan mengumumkan meninggalkan kekerasan dan membentuk sebuah partai politik setelah Mubarak jatuh.

Tapi sejumlah anggota Gamaa telah mengatakan secara terbuka bahwa mereka akan mengangkat senjata kembali untuk membela Mursi.

“Jika tentara berani membunuh demokrasi di Mesir, kami akan melawan mereka,” kata Mohamed al-Amin, 40 tahun, salah seorang anggota Gamaa, beberapa jam sebelum dekrit militer, menunjuk kepada ribuan pendukung pro Mursi yang berkumpul dalam rapat umum di Kairo.

Sobhy Youssef, 45, pendukung Ikhwanul yang duduk di dekatnya menginterupsi: ”Tidak, tidak, saudaraku,” kata dia. “Kita tidak mengangkat senjata. Yang kita angkat adalah kesabaran kita dan iman kita pada Allah.”

Khalil al-Anani, seorang pakar politik Islam di Universitas Durham, Inggris, mengatakan kelompok seperti Gamaa telah didera kehancuran akibat bencana pemberontakan mereka pada tahun 90’an.

“Para Islamis sangat faham bahwa kekerasan bukanlah solusi,” kata Anani.

Tapi, pelengseran Mursi bisa jadi akan membantu kelompok seperti al-Qaida untuk membenarkan argumen mereka bahwa demokrasi bukanlah sebuah jalan, kata dia.

Fase Berbahaya
Potensi bagi argumen itu akan tergantung pada bagaimana militer menangani transisi dan seberapa baik kelompok Islamis yang telah menandatangani persetujuan atas “Peta Jalan“ bisa menahan kemarahan teman-teman mereka.

Partai Nour yang ultrakonservatif dan merupakan partai Islamis kedua terbesar, telah setuju dengan rencana militer. Seperti Gamaa Islamiya, mereka telah menyerukan kepada pengikutnya untuk menahan diri dari kekerasan.

“Sebelum ada yang memutuskan untuk mengorbankan diri demi posisi presiden Mursi, mereka harus berpikir bahwa pada akhirnya itu mungkin akan membuat mereka kehilangan keduanya,“ kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.

Tapi keterlibatan dengan militer juga bisa menjauhkan mereka dari para anggotanya.

Yassir al-Sirri, seorang bekas militan yang tinggal di London dan menjalankan media Islam, mengatakan bahwa “kudeta” militer atas Mursi telah mendorong Mesir menuju sebuah fase berbahaya.

“Sekarang orang-orang tidak percaya dengan aksi damai, dan mereka tidak percaya perubahan bisa datang melalui sebuah jalan yang damai. Ini adalah masalahnya,” kata dia.

Mesir punya kesempatan membawa para Islamis muda ke dalam sebuah sistem politik formal dan bekerja di masyarakat, tapi sekarang semua itu terancam.

“Kecuali situasi ini diperbaiki secepat mungkin, maka kami akan kembali mundur!“

Sumber : dw.de